Ilustrasi: Potongan kartun Indonesia Rasa Cina - karya Andi Pensilterbang/YUK

Koran Sulindo – Persoalan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang digelar 15 Februari ini – di samping korupsi – banyak disoroti oleh para kartunis. Hal ini bisa kita nikmati pada pameran ‘Kartunistimewa – Jogja Cartoon Exhibition’ yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) sejak 11 Februari dan akan berakhir 19 Februari.

Asita, misalnya, menampilkan karya yang berjudul ‘Bung Ayo Bung’ – yang mungkin terinspirasi judul karya maestro Affandi. Lelaki yang menjadi ilustrator buku anak karya Margaret and Milton Blanch Australia (2013) itu menampilkan gambar yang menunjukkan poster 2 paslon dengan tagline ‘Peduli Wong Cilik’ untuk paslon 1, sementara pada paslon 2 terpampang tagline ‘Bangkit Bersama Rakyat’. Sedangkan di bawah poster paslon itu terlihat seorang tukang sampah tertidur di antara sampah-sampah berserakan.

Di sini Asita terlihat ingin mempertanyakan atau bahkan menggugat apakah bisa dipercaya jika nantinya terpilih akan menperhatikan rakyat kecil? Atau hanya sekedar jargon untuk mendulang suara?

Soal pilkada juga ditampilkan Gatot Eko Cahyono. Karyanya, ‘Untitled’ memperlihatkan seseorang tengah membaca berita-berita Pilkada DKI Jakarta. Terlihat dari kepalanya yang botak keluar asap, sementara di atasnya ada seseorang yang tengah menggoreng telor mata sapi. “Pikiran boleh panas, hati tetap dingin ya pak”.

Masih soal pilkada juga ditampilkan oleh Herpri Kartun dengan judul karya ‘Ular Tangga Berhati Binangun’ yang menyoroti pilkada di kota Yogya. Sedangkan Titiek Concat menampilkan ‘Pemilih Ganda’.

Dalam kasus korupsi yang masih menggurita di negeri ini juga tak kalah mendapatkan sorotan dari para kartunis. Ini bisa kita lihat pada karya Alex Pracoyo yang menampilkan kartun seekor tikus besar berkepala tokoh pewayangan Cakil yang berhadapan dengan seekor kucing kecil. Demikian pula I Made Arya Dwita Denok dengan judul ‘Say No to Corruption’ menampilkan sosok tokoh superhero seperti Superman, Batman dan bahkan Gatotkaca.

Hal lain yang tak kalah menarik untuk dilihat adalah karya Andi Pensilterbang. Di sini, Andi menampilkan gambar teko dengan ornamen peta Indonesia. Dan pada teko itu terlihat sebuah label berwarna merah bergambar bintang berwarna kuning. ‘Indonesia Rasa Cina’, demikian judul karyanya.

Sangat jelas Andi, lulusan pasca sarjana ISI Yogya, ini menyoroti ihwal maraknya pemberitaan imigran China di media mainstream maupun di sosial media baru-baru ini. Bahkan soal pekerja asing dari China ini membuat Presiden Joko Widodo harus berbicara.

Itulah beberapa karya yang dipamerkan di BBY. Pada pameran yang diselenggarakan Paguyuban Kartunis Yogya (Pakyo) melibatkan 43 kartunis, di antara mereka adalah Gesigoran, Ashady, Pramono R Pramoedjo, Pandu Mahendra dan masih banyak yang lainnya.

Menurut Kuss Indarto – kurator senirupa – dunia kartun di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini masih memiliki problem mendasar yang menyebabkan tidak cukup berkembang. Ada 3 hal yang ditengarainya. Pertama dugaan adanya problem daya akomodasi dan daya resepsi yang minim pada diri kartunis lokal masa kini dengan disiplin ilmu lain semisal sastra, antropologi, sejarah dan lain sebagainya.

“Sehingga belum banyak kartun yang menghasilkan cerita memikat dan berkarakter sangat kuat. Tidak sedikit karya kartun yang masih bergelut dengan problem teknis, belum sampai ke soal substansial,” ujar Kuss.

Kedua, untuk jenis karya tertentu, ada dugaan perihal problem proses kreatif yang masih mengedepankan pola kerja individual dan bukan kolektif atau komunal. Realitas ini, menurut Kuss, dalam perspektif industrial mengakibatkan kartun (juga komik) Indonesia gagal masuk dalam jaringan mata rantai sistem produksi massa, karena tidak mampu melakukan kontinuitas produksi dengan jangka waktu dan kualitas yang relatif baik dan terjaga.

Ketiga, lanjut Kuss, dugaan adanya problem lambatnya kartunis Indonesia untuk melakukan percepatan atas pola dan sistem pengetahuan serta teknologi yang begitu cepat berkembang. Poin ini terlihat dengan jelas pada kartunis dan juga komikus tahun 1980-an. “Sementara kecenderungan sekarang ini berkebalikan, yakni pada persoalan pengaplikasian teknologi yang relatif kurang menemukan efektivitasnya,” ujar Kuss.

Dalam tulisannya di katalog pameran ini Kuss mengakui bila pada tahun-tahun terakhir ini kecenderungan memasukkan unsur kartun dan komik dalam karya senirupa, khususnya seni lukis, kian menderas. Hal ini, katanya, bisa disimak dari karya-karya yang digubah para seniman muda di beberapa kota seperti Yogya, Jakarta ataupun Bandung. Misalnya karya Indieguerillas yang terdiri dari sepasang suami-istri Santi dan Tom.

Gejala ini, menurut Kuss, ternyata bukanlah gejala lokal dan parsial, namun telah mengglobal dan multidisipliner dalam praktiknya. Cuilan gejala global ini bisa disimak dan ditengarai dalam majalah Juxtapoze – sebuah media seni rupa “berbasis ilustrasi dan komik” yang terbit di Amerika Serikat. Lewat perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, situs majalah ini banyak diserap dan mempengaruhi sekian banyak seniman dari berbagai negara untuk mengikuti trend visual yang berkembang di dalamnya. Para perupa di Indonesia, kata Kuss, juga tak lepas dari gejala Juxtapoze – mania ini dengan segala kelebihan dan ke-lebay-annya.

“Sekarang, sungguh, tidak mudah untuk melucu, karena dunia dan negara kita ini justru semakin lucu. Mungkin nasib kita juga makin lucu,” tutur Kuss dalam pengantar katalog pameran Kartunistimewa – Jogja Cartoon Exhibition’. [YUK]