Koran Sulindo – Untuk kesekian kalinya Indonesia terutama Yogyakarta menghadapi ujian sekaligus tantangan mengarah disintegrasi bangsa. Apabila hal ini tidak direspons segera, maka bukan hanya kita, tapi anak cucu nanti yang menjadi korbannya. Oleh karena itu tidak boleh mentolerir sedikitpun segala bentuk usaha yang ingin memecah belah, segala bentuk anasir yang akan merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Suka atau tidak, kita ini hidup di negeri yang multietnik dan multibudaya. Kalau kita ingin survive sebagai bangsa, maka kita wajib mempunyai pandangan yang multikultural, atau pandangan yang menghargai segala perbedaan yang ada,” kata GKR Hemas, saat peluncuran buku “Memaknai Tumbuk Ageng GKR Hemas” (Ulang tahun ke-64 GKR Hemas) yang digelar di Hotel Ambarukmo Yogya, Rabu (21/12).
Menurut Wakil Ketua DPD RI ini, langkah paling penting yang harus dilakukan untuk mencari solusi terbaik mengatasi masalah tersebut adalah meredam berbagai konflik atau memelihara kehidupan keragaman yang sudah kondusif.
Dalam pemikiran Hemas, program paling strategis untuk menjaga atau memelihara kehidupan keragaman di Yogya, tidak hanya untuk hari ini tetapi juga di masa mendatang, adalah program-program berbasis pendidikan “keragaman”.
“Saya sangat sedih kalau ada sekolah-sekolah di Yogyakarta ini yang malah mengajarkan perbedaan. Menurut hemat saya model sekolah seperti ini tidak kondusif bagi bangunan kerukunan di Yogyakarta ke depan,” kata Hemas di hadapan para undangan yang hadir, antara lain Kapolda DIY dan mantan Ketua MK Prof. Dr. Mahfud MD.
Hemas mengungkapkan, telah banyak hasil penelitian yang menegaskan bahwa faktor penting penyebab rusaknya kerukunan kehidupan masyarakat Indonesia dalam bingkai keberagaman adalah tidak diterapkannya pendidikan berbasis multikulturalisme sejak dini. Sistem pendidikan nasional kita dinilai Hemas kurang memperhatikan model pendidikan berbasis multikultural. Akibatnya sampai hari ini bangsa ini belum terbebas dari kasus-kasus yang berbau SARA.
“Inilah sebenarnya dasar gagasan munculnya buku ini, yakni para anggota Komunitas Peduli Pluralisme Yogyakarta, meminta saya untuk mau dijadikan semacam ikon sekaligus role model bagi proses sosialisasi atau penyadaran akan sikap dan perilaku yang multikultural itu. Saya menghargai inisiatif dan jerih payah mereka semoga buku ini memenuhi harapan mereka dan harapan kita semua,” ujar Hemas.
Harapan Hemas, buku ini akan menjadi buku yang sangat kritis yang dapat memberikan masukan buat dirinya dan juga bagi peningkatan perjuangan kebhinekaan.
“Sayangnya, awan budaya ewuh pakewuh masih sangat tebal menyelimuti kaum intelektual kita, sehingga nyaris saya tidak menemui kritik sedikitpun kecuali saya diminta untuk sabar dan hati-hati dalam melangkah serta mempertimbangkan untuk kembali menjadi Payung Untuk Rakyat Yogya,” tuturnya.
Regenerasi itulah makna dari Tumbuk Ageng yang, menurut Hemas harus dilakukannya penuh kearifan. Menunaikan tugas among wayah, agar putra-wayah tetap bisa napak laku dan meneladani para leluhur Mataram.
“Regenerasi ini tidak hanya saya persembahkan kepada keluarga saya tetapi kepada seluruh anak, remaja dan pemuda DIY untuk dapat belajar, belajar dan belajar akan makna hidup yang diwariskan nenek moyang kita. Semoga,” kata Hemas mengakhiri sambutannya.
Soroti Kiprah Hemas
Buku “Memaknai Tumbuk Ageng GKR Hemas” ini memuat tulisan-tulisan yang menyoroti kiprah GKR Hemas selama ini. Di antara para penulis adalah tokoh budayawan Romo G Budi Subanar, Prof. Dr. Partini sosiolog dari UGM, dan aktivis perempuan Budi Wahyuni.
Partini menilai GKR Hemas merupakan sosok perempuan ningrat yang memiliki ketokohan multidimensional, baik sebagai isteri, ibu biologis, ibu sosial maupun ibu kultural. “Beliau dapat menjadi role model dan layak diidolakan oleh para perempuan di Indonesia,” ujar Partini.
Saat pembahasan buku tersebut yang dipandu oleh Dr. Zuli Qodir, secara tegas Mahfud MD mengatakan bahwa banyak orang mengira bahwa keberadaan kraton di Yogya menumbuhkan sikap feodal. “Tapi ternyata pemerintah justru menetapkan Yogya sebagai kota yang indeks demokrasinya paling tinggi,” kata Mahfud.
Sementara itu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yang juga suami GKR Hemas mengungkapkan bahwa permaisurinya adalah sosok yang mandiri. Pernah, cerita Sultan, saat berkunjung ke Singapura menengok anaknya yang sekolah di sana, Hemas sempat memanjat atap untuk memperbaiki genting yang bocor. Akibatnya, Sultan dilapori oleh sopir yang notabene warga Singapura.
“Saya sempat marah kepada ibu ratu karena memanjat atap,” ujar sang sopir kepada Sultan. Seraya santai dan tersenyum Sultan menjelaskan bahwa permaisurinya itu adalah sosok yang mandiri. “Jangan disamakan dengan Ratu Elizabeth. Beliau itu adalah anak tentara yang kalau ada yang bisa dikerjakan aendiri maka akan dikerjakan sendiri,” kata Sultan.
Cerita Sultan itu mengundang tawa dan tepuk tangan para tamu undangan yang hadir dalam peluncuran buku itu. [YUK]