Ilustrasi/bantuanhukum.or.id

Koran Sulindo – Kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo soal hak asasi manusia dinilai mengandung banyak kontradiksi.

“Selama dua tahun memimpin, janji-janji dalam Nawacita terkait dengan hak asasi manusia belum satu pun dijalankan Jokowi. Ada banyak kontradiksi dalam kebijakan pemerintah terkait dengan hak asasi manusia,” kata Ketua Setara Institute Hendardi, melalui rilis media.

Menurut Hendardi  pernyataan Presiden Jokowi dalam forum internasional Bali Democracy Forum yang membanggakan kemampuan Indonesia mengelola kemajemukan berbanding terbalik dengan kenyataan.

“Fakta lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Pemerintah masih abai dalam memajukan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan,” katanya.

Setara Institute menilai pemerintah nyaris tidak punya sikap dan roadmap bagaimana pemajuan, penghormatan, dan pemenuhan HAM akan dijalankan serta diintegrasikan dalam proses pembangunan negara.

Sedangkan janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu juga dinilai tidak pernah memperoleh perhatian Jokowi, padahal eksplisit disebutkan dalam Nawacita. Bahkan, ketika berbagai elemen mendorong penuntasan kasus 1965, misalnya, Jokowi justru membiarkan kampanye negatif tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menurut Hendardi, pemerintah giat melakukan deregulasi pada bidang ekonomi, namun abai memastikan pengawasan pada produk legislasi yang berpotensi merampas HAM warga negara.

Delegitimasi Lembaga HAM

Herdardi juga menilai lembaga di bidang HAM saat ini mengalami delegitimasi dari publik. Komnas HAM, misalnya, dinilai gagal menjalankan Paris Principles karena terindikasi gagal mengelola akuntabilitas keuangan. Selain juga dianggap terjebak pada agenda rutin seremonial tanpa memberikan dampak yang nyata pada perlindungan HAM.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia justru dianggap semakin menunjukkan konservatisme dalam perspektif dan pembelaannya pada hak-hak anak Indonesia. Menurut Hendardi, populisme yang dipupuk melalui liputan media menjadi orientasi kerja KPAI, meski menimbulkan efek psikologis yang buruk pada korban.

Hendardi menilai hanya Komnas Perempuan masih tetap instrumen cukup efektif bagi advokasi dan pemajuan hak-hak perempuan meskipun dengan segala keterbatasan mandatnya. Komnas Perempuan dinilai fokus pada sejumlah terobosan dan intervensi legislasi, yang kondusif bagi penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.

Tak Berdaya

Sementara itu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ‎(KontraS) bersama orangtua korban pelanggaran HAM mempertanyakan janji Jokowi menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Feri ‎Kusuma, mengatakan banyak agenda impunitas baik secara terang-terangan ataupun malu-malu yang dibela Jokowi. Jokowi juga dinilai melakukan tindakan yang bertentangan dengan agenda penyelesaian pelanggaran HAM.

Presiden Jokowi  dinilai kehilangan otoritas dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan membiarkan para pembantunya seperti Menkopolhukam, Jaksa Agung, dan Menteri Pertahanan mengambil tindakan sepihak, dengan mempromosikan musyawarah dan rekonsiliasi untuk memutus pertanggungjawaban negara.

“Jokowi menunjukkan ketidakberdayaan terhadap aktor-aktor dan institusi kekerasan serta pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya dengan memilih Wiranto menjadi Menkopolhukam dan terpilihnya Hartomo menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS),” kata kata Feri, saat konferensi pers di kantor KontraS, Jakarta, Kamis (8/12).

Menurut KontraS, Jokowi memiliki akses kepada Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan sejumlah mantan aktivis pro demokrasi yang hari ini memiliki akses di Istana Kepresidenan.

Polemik Hukuman Mati

Sementara itu polemik hukuman mati menjadi isu terbesar Hak Asasi Manusia yang disorot media massa sepanjang 2016. Hasil analisis Indonesia Indicator (I2), pemberitaan polemik hukuman mati mencapai 20 persen dari ekspose isu HAM di media atau sekitar 5.152 pemberitaan. Dominasi isu ini masih belum bergeser sejak 2015.

“Hukuman mati disorot sebagai persoalan HAM mengingat hukuman mati langsung menyentuh pada jantung hak paling mendasar dari manusia yaitu hak hidup,” kata Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2), Rustika Herlambang, pada acara  “Paparan HAM Dalam Sorot Media”, di Jakarta, Sabtu (10/12).

I2 adalah perusahaan di bidang intelijen media, analisis data, dan kajian strategis dengan menggunakan software AI (Artificial Intelligence).

I2 mencatat sepanjang 2016 pemberitaan mengenai isu HAM di media mencapai 26.333 berita.

Menguatnya ekspos hukuman mati mencapai puncaknya pada momentum kasus Freddy Budiman. Berbagai pihak pendukung HAM mendorong pemerintah mengkaji ulang penerapan sistem hukuman mati hingga menyuarakan moratorium.

Sedangkan kasus terorisme dan separatisme menjadi isu HAM kedua yang paling mendominasi ruang pemberitaan media, yakni mencapai 17 persen atau 4.448 berita.

“Kasus terorisme dan separatisme juga secara aktif dikaitkan oleh media dengan kasus pelanggaran HAM,” katanya.

Isu HAM masa silam juga menjadi sorotan media pada 2016. Kedua kasus itu adalah pembunuhan aktivis Munir dan kasus korban 1965.

Kasus pembunuhan Munir mendapat ekspose di media sebesar 12 persen (3.604 berita). Sedangkan kasus korban 1965 sebanyak 11 persen (3.022 berita). Kedua kasus lama ini masih konsisten diangkat media karena dianggap belum menemui titik penyelesaian,” kata Rustika.

Kasus Munir masih menarik perhatian media bukan hanya dalam hal tuntutan menyelesaikan kasus, namun juga diramaikan dengan hilangnya dokumen TPF yang menyajikan saling lempar argumen antara elite pemerintahan SBY dan Jokowi.

Secara umum kemunculan beberapa kasus pelanggaran HAM sepanjang 2016, beriringan dengan kembali mencuatnya beberapa kasus HAM yang terjadi di masa lalu.

Menurut I2, pemerintah terlihat proaktif dalam menanggapi berbagai wacana dan isu HAM di ruang publik.

Hal ini disimpulkan dari sebanyak 20 figur tertinggi yang memberikan pernyataan berasal dari pemerintah, ketimbang aktivis pegiat HAM.

“Tiga sosok tertinggi dalam memberikan pernyataan tentang HAM adalah Yasonna Laoly (24.945 pernyataan), Presiden Joko Widodo (11.182 pernyataan) dan Luhut Panjaitan (9.469 pernyataan),” kata Rustika.

Sementara dalam hal pernyataan tokoh-tokoh aktivis pegiat HAM, Haris Azhar (5.415 pernyataan), Hendardi (4.404 pernyataan), dan Al Araf (1.022 pernyataan) menjadi tiga figur teratas mewacanakan topik HAM.

Dari sisi kelembagaan, Komnas HAM paling banyak diberitakan (9.719 berita), diikuti Kontras (2.927 berita), YLBHI (969 berita), dan Setara Institute (947 berita).

Beberapa lembaga HAM internasional juga mengisi ruang berita media nasional, di antaranya Amnesty Internasional (1.206), Human Rights Watch (683 berita) dan Human Rights Working Group, atau HRWG (23 berita). Amnesty Internasional, menyoroti masalah UUD Terorisme dan fenomena pekerja anak di perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan. [DAS]