Presiden Barrack Obama menghentikan sementara pembangunan pipa minyak di Dakota [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Perjuangan itu membutuhkan pengorbanan. Tidak sekadar pengorbanan tenaga dan harta, tapi terkadang menuntut pengorbanan nyawa. Akan tetapi, perjuangan tampaknya tidak ada yang sia-sia.

Kegigihan dan keteguhan masyarakat adat Amerika Serikat (AS) di Dakota menjadi bukti bahwa sebuah perjuangan tidak ada yang sia-sia. Berawal dari penolakan mereka terhadap pemasangan pipa sepanjang  1.200 mil (1.931 kilometer) yang akan menyalurkan minyak dari North Dakota ke titik pengiriman di Illinois.

Masyarakat adat melihat pipa-pipa ini akan menyebabkan kebocoran dan bisa mencemari air minum suku Standing Rock Sioux. Juga dianggap mengancam tempat suci dan kuburan keramat. Suku ini lalu mendirikan “kemah spiritual” di tepi Sungai Missouri sejak bulan April 2016.

Pihak pengembang Energy Transfer Partners lantas dengan jumawa memastikan tidak akan ada situs yang terganggu dengan pemasangan pipa. Terlebih pipa disebut memiliki perlindungan terhadap kebocoran dan lebih aman ketimbang menggunakan pengiriman minyak dengan kereta api atau truk.

Pro dan kontra ini kemudian berujung bentrokan. Pengusaha yang mendapat dukungan dari aparat polisi dan tentara AS lantas melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat Dakota. Mereka menembaki masyarakat dengan berbagai senjata mulai dari gas air mata hingga peluru karet. Masyarakat bertahan dan terus melawan.

Perjuangan masyarakat ini nampaknya menemui titik terang setelah sebelumnya pada 4 Desember 2016, pemerintah federal AS menghentikan pembangunan pipa Dakota itu setelah meningkatnya protes masyarakat adat dalam sebulan terakhir. Masyarakat juga mendesak pemerintah agar menarik sekitar dua ribu pasukan militer AS yang ditempatkan di sana.

Korps Insinyur Angkatan Darat AS membantah penghentian proyek yang menelan biaya hingga US$ 3,8 miliar itu. Asisten Sekretaris Angkatan Darat unutuk Pekerjaan Sipil Jo-Ellen Darcy mengatakan, pihaknya saat ini sedang berdialog dengan masyarakat adat Standing Rock Sioux. Dialog itu untuk mencari jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan masalah dalam pembangunan pipa minyak di Dakota. Ia juga mengindikasikan pemerintah akan mempertimbangkan hasil dialog tersebut.

Ketua masyarakat adat Standing Rock Sioux Dave Archambault II mengatakan, pihaknya mendukung sepenuh hati keputusan pemerintah dan memuji keberanian Presiden Barrack Obama dan semua pihak terkait dalam masalah tersebut. Keputusan tersebut akan memperbaiki jalannya sejarah menuju ke arah yang benar.

“Kami juga berterima kasih kepada dukungan suku bangsa lainnya yang telah mendukung kami. Hal yang sama juga akan kami lakukan kepada suku-suku bangsa lainnya,” kata Archambault seperti dikutip democracynow.org pada Minggu 4 Desember 2016.

Rembang
Seperti masyarakat adat Dakota, ratusan kaum tani Kabupaten Rembang, Pati, Blora, Kudus hari ini juga tengah berjuang untuk tanah kelahiran dan sumber penghidupan mereka. Kaum tani itu akan longmarch sejauh sekitar 150 kilometer ke Semarang untuk menemui Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo agar segera mencabut izin lingkungan PT Semen Indonesia Tbk.

Kaum tani meminta agar para pihak yang bersengketa dalam pendirian pabrik semen di kawasan tersebut menaati dan menjalankan putusan Mahkamah Agung. Amar putusan Peninjauan Kembali MA mengabulkan gugatan kaum tani seluruhnya antara lain membatalkan surat keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Indonesia.

Kaum tani ini berjuang sejak Juni 2014 dengan mendirikan tenda perjuangan di jalan pintu masuk pabrik PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah. Itu sebagai bentuk perlawanan dan penolakan mereka atas pendirian pabrik semen di Rembang. Pendirian pabrik semen dianggap mengancam ketersediaan air yang merupakan sumber bahan utama kehidupan mahluk. Mereka berjanji akan terus berjuang hingga cita-cita tercapai.

Kendati sudah menang di MA, tak lalu pemerintah tunduk pada putusan tersebut. Karena itu, mereka memilih untuk longmarch ke Semarang. Sebelum berangkat, kaum tani itu terlebih dulu bertemu ulama Rembang KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin, Leteh asuhan Gus Mus akan menjadi titik tolak perjalanan kaum tani itu. Akankah perjuangan kaum tani Rembang akan senasib dengan kemenangan yang diraih masyarakat adat Dakota itu? [KRG]