Ilustrasi/Pramudya Ananta Toer

Koran Sulindo – Seperti halnya perjalanan kesusastraan di banyak negara, perjalanan kesusastraan Rusia pun terbagi dalam beberapa pembabakan atau periodisasi. Dimulai dari kesusastraan Rusia Kuno, Kesusastraan Abad XVIII, Kesusastraan Rusia Abad XIX, Kesusastraan Rusia Peralihan (zaman Tsar ke masa komunisme) lalu Kesusastraan Uni Soviet. Pada era masa peralihan ini ada satu aliran sastra yang berkembang hingga mendunia. Aliran sastra tersebut dikenal dengan nama realisme sosialis.

Aliran sastra tersebut lahir pertama kali di Uni Soviet (sekarang Rusia) sebagai penerapan sosialisme di bidang kreasi-sastra. Sastra yang mempergunakan metodaditujukan untuk memenangkan sosialisme dan lebih penting lagi adalah dengan sikap politik yang tegas, militan, kentara, tidak perlu malu-malu kucing atau sembunyi-sembunyi, sesuai dengan nama yang dipergunakannya.

Istilah itu digunakan pertama kali pada tahun 1905 di Uni Soviet. Realisme sosialis muncul dalam sebuah artikel anonim, yang berjudul “Catatan tentang Philistinisme”. Setelah munculnya tulisan tersebut—yangdisebarluaskan untuk menentang pemerintah berhubungan dengan peristiwa “Minggu Berdarah” pada tanggal 22 Januari 1905—satrawan Maxim Gorky kemudian ditangkap, tetapi tidak lama kemudian dilepas karena membanjirnya protes-protes internasional atas penangkapannya.

Kajian realisme sosialis menggambarkan pertentangan antara kelas proletar dan kelas borjuasi. Menurut tokoh-tokohnya, realisme sosialis merupakan bagian integral dari kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan pengisapan atas rakyat pekerja, yakni buruh dan tani, dalam menghalau imperialisme (penjajahan) dan kolonialisme (golongan), untuk meningkatkan kondisi dan situasi rakyat pekerja diseluruh dunia.

Aliran sastra ini berdasarkan filsafat Karl Marx, khususnya teorinya mengenai materialisme. Menurut Marx, susunan masyarakat dalam bidang ekonomi, yang dinamakan bangunan bawah, menentukan kehidupan sosial,politik, intelektual, dan kultural bangunan atas. Sejarah dipandangnya sebagai suatu perkembangan terus-menerus, daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif mereka dan ini semua untuk menuju masyarakat yang ideal tanpa kelas.

Evolusi yang diharapkan tidak berjalan dengan halus, tetapi berjalan tersendat sendat, danhubungan-hubungan ekonomi yang menimbulkan berbagai kelas yang saling memusuhi mengakibatkan pertentangan kelas, yang akhirnya dimenangkan oleh kelas tertentu.

Sementara itu, dalam teori ekonominya, Karl Marx menerangkan bagaimana pertentangan antara kaum borjuis dan proletar bisa membawa revolusi yang bisa  menghancurkan sistem kapitalis dan kaum proletar yang jaya akan melaksanakan masyaraka tanpa kelas. Perubahan dalam bangunan bawah  mengakibatkan perubahan dalam bagunan atas.

Bagi Marx, sastra sama dengan gejala-gejala kebudayaan lainnya, mencerminkan hubungan ekonomi.Sebuah karya sastra hanya dapat dimengerti kalau dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut.

Dalam sebuah artikel yang di tulis pada tahun 1905, Lenin memaparkan apa yang diharapkan dari sastra. Tulisan itu berjudul “Organisasi Partai dan Sastra Partai”.Dia meneropong tulisanya dari sudut pandang jurnalis dan publistik. Dalam karangan itu, Lenin mengutarakan pengertian mengenai “ikatan partai” yang menerapkan tiga sarat bagi sastra, yaknisastra harus punya suatu fungsi sosial;sastra harusmengabdi kepada rakyat banyak, dan;sastra harus merupakan suatu bagian dalam kegiatan partai komunis.Dengan demikian, sastra dijadikan suatu bagian didalam mekanisme sosial-demokratik, yang digerakkan oleh gugus depan segenap kelompok ”kelas” kaum pekerja yang sadar akan politik, sebuah unsur organik dan sebuah senjata ampuh di dalam perjuangan sosialistis.

Karena itu, aliran realisme sosialis sesuai dengan pandangan Lenin mengandaikan adanya suatu hubungan dialektik antara sastra dan kenyataan. Dari satu pihak, kenyataan tercermin dalam sastra, sehingga sastra dianggap menyajikan suatu tafsiran yang tepat mengenai hubungan-hubungan di dalam masyarakat (realisme).Di lain pihak, sastra juga memengaruhi kenyataan sehingga punya tugas mendampingi partai komunis dalam perjuangan membangun suatu masyarakat baru yang lebih baik (sosialistis).

Pendapat lain diungkapkan oleh Jan van Luxembrug, Mikel Bal, dan Willem G Weststeijin (1982). Mereka berpendapat, “realisme sosialis menuntut dari para pengarang agar melukiskan kenyataan dalam perkembangan revolusionernya, selaras dengan kebenaran dan fakta sejarah. Selain itu, pelukisan yang bersifat artistik hendaknya digabungkan dengan tugas mendidik kaum buruh sesuai dengan semangat komunis.”

Bapak Realisme Sosialis Dunia

Aleksei Maksimovich Peshkov (dalam bahasa Rusia Алексей Максимович Пешков) lahir pada tanggal 14 Maret 1869 di Kota Nizhny Novgorod. Peshkov menjadi anak yatim pada usia sembilan tahun dan dibesarkan oleh neneknya, seorang pencerita yang luar biasa. Kematian neneknya sangat memengaruhi kehidupan dia selanjutnya. Pernah sekali dia berusaha bunuh diri akibat selalu mengalami kegagalan dalam hidupnya, Desember 1887.

Hingga suatu ketika, dia bekerja sebagai jurnalis yang bekerja di koran-koran daerah dan menggunakan nama samaran Иегудиил Хламида (Yehudiel Khlamida). Kisah pertama Alexei muncul di surat kabar Kaukasus itu disebut “Makar Chudra”. Saat itulah ia mulai menggunakan nama samaran Gorky (Максим Горький, harafiah berarti “pahit”) pada 1892, ketika ia bekerja di sebuah koran di Tiflis, Кавказ (Kaukasus). Buku pertama Gorky, Очерки и рассказы (Esai dan Cerita) pada 1898 mendapatkan sukses luar biasa dan karirnya sebagai seorang pengarang terkenal pun dimulai.

Gorky secara terbuka menentang rezim Tsar dan beberapa kali ia ditangkap. Gorky bersahabat dengan banyak revolusioner profesional yang dijumpainya dan menjadi sahabat pribadi Lenin setelah mereka berjumpa pada 1902. Ia mengungkapkankontrol pemerintah terhadap pers. Pada 1902, Gorky terpilih sebagai anggota kehormatan Akademi Sastra, namun Nicholas II memerintahkan agar pemilihan ini dibatalkan. Sebagai protes, Anton Chekhov dan Vladimir Korolenko meninggalkan akademi itu.

Ketika ia dipenjarakan sebentar di Benteng Petrus dan Paulus selama Revolusi Rusia 1905 yang gagal, Gorky menulis drama “Anak-Anak Matahari”, yang ceritanya berlangsung ketika terjadi wabah kolera tahun 1862, tetapi secara universal dipahami berkaitan dengan kejadian-kejadian masa kini. Pada 1905, ia secara resmi bergabung dengan barisan fraksi Bolshevik dalam Partai Buruh Demokratis Sosial Rusia.

Selama Perang Dunia I, apartemennya di Petrograd dijadikan sebagai ruang staf Bolshevik, tetapi hubungannya dengan kaum komunis berubah menjadi buruk. Dua minggu setelah Revolusi Oktober tahun 1917, ia menulis: “Lenin dan Trotsky tidak tahu apa-apa tentang kebebasan atau hak-hak asasi manusia. Mereka sudah dirusakkan oleh racun kotor kekuasaan. Hal ini tampak dari sikap mereka yang memalukan dan tidak menghormati kebebasan berbicara dan semua kebebasan sipil lainnya yang diperjuangkan oleh demokrasi.” Setelah surat kabarnya,Novaya Zhizn (Новая Жизнь, ‘Hidup Baru’), menjadi korban penindasan Lenin, Gorky menerbitkan kumpulan esainya yang kritis terhadap kaum Bolshevik, yang diberinya judul ‘Pikiran pada Waktu yang Keliru’ pada tahun 1918. Buku ini baru diterbitkan kembali setelah runtuhnya Uni Soviet.

Esai-esai ini menyebut Lenin seorang tirani karena ia melakukan penangkapan-penangkapan yang sewenang-wenang dan menindas kebebasan berbicara, dan seorang anarkis karena taktik-taktik persekongkolannya. Gorky membandingkan Lenin dengan Tsar dan Nechaev. Surat-surat Lenin pada tahun 1919 kepada Gorky mengandung ancaman-ancaman: “Nasihat saya kepadamu: ubahlah lingkunganmu, pandanganmu, tindakanmu, kalau tidak hidup akan berpaling melawanmu.”

Pada Agustus 1921, Nikolai Gumilyov, sahabatnya, rekan sesama penulis, dan suami dari Anna Akhmatova, ditangkap oleh Cheka Petrograd karena pandangan-pandangan monarkisnya. Gorky bergegas ke Moskwa, mendapatkan perintah pembebasan Gumilyov dari Lenin secara pribadi, namun sekembalinya ke Petrograd ia baru mengetahui bahwa Gumilyov sudah dieksekusi mati.

Pada bulan Oktober-nya, Gorky pindah ke Italia dengan alasan-alasan kondisi kesehatan yang buruk. Ia mengidap tuberkulosis.

Menurut Aleksandr Solzhenitsyn, kepulangan Gorky didorong oleh kepentingan-kepentingan materi. Di Sorrento, Gorky tidak punya uang ataupun kehormatan. Ia berkunjung beberapa kali ke Uni Soviet setelah 1929 dan pada 1932 Joseph Stalin secara pribadi mengundang dia kembali dari emigrasi untuk selama-lamanya. Gorky menerima undangan tersebut.

Pada Juni 1929, Gorky mengunjungi Solovki dan menulis sebuah artikel positif tentang kamp Gulag yang sudah mulai jelek namanya di Barat. Pengakuan resmi dari aliran sastra ini diungkapkan pada saat Kongres I Satrawan Soviet di Moskwa, melalui ucapan Andrei Zhdanov:“Dalam pada itu kenyataan dan watak historis yang konkret dari lukisan artistik mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metoda kerja sastra dan kritik sastra ini kita namakan metoda realisme sosialis.”

Karya fenomenal Gorky yang terkenal adalah triloginya yang merupakan biografi kehidupan dia. Buku pertama berjudul My Childhood (Детство), My Apprenticeship  (В людях), dan My Universities  (Мои университеты). Selain itu, ada salah satu novelnya yang cukup fenomenal, yaitu Mother (Мать).

Pada tahun 1935, Maksim Gorky mengalami antaman keras dalam kehidupannya: anak laki-lakinya, Maksim Peshkov, meninggal dunia. Kesedihan melanda kehidupan dia selanjutnya, sehingga setahun kemudian (1936) Maksim Gorky meninggal dunia. Keduanya meninggal secara mencurigakan, namun spekulasi yang mengatakan bahwa mereka diracuni tidak pernah terbukti. Stalin dan Molotov ikut mengangkat peti mati Gorky pada penguburannya.

Realisme Sosialis di Indonesia

Penyebaran aliran sastra ini sampai ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Indonesia,terlebih lagi dengan adanya Partai Komunis di Indonesia (PKI). Para sastrawan yang beraliran ini berkumpul di bawah bendera Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organ PKI. Salah satu sastrawan yang bisa dikenal sebagai Bapak Realisme Sosialis Indonesia adalah Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya sendiri mendefinisikan realisme sosialis sebagai “metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah.” Dalam menghadapi persoalan masyarakat, katanya lagi, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental.

Putra sulung dari seorang kepala sekolah Institut Boedi Oetomo ini telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing. Pram yang pernah bekerja sebagai juru ketik dan korektor di kantor berita Domei pada masa pendudukan Jepang memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis. Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia.

Karya Pram yang penuh dengan kritik sosial membuat dirinya sering masuk penjara. Pram pernah ditahan selama tiga tahun pada masa kolonial dan setahun pada masa Orde Lama. Kemudian, selama Orde Baru, ia ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan. Hampir semua karya sastra hasil pemikirannya menjadi best seller. Karya Pram yang terkenal antara lain tetraloginya yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Beberapa pengamat sastra menyatakan, tetralogi karya Pramoedya terinspirasi dari trilogi Maksim Gorky.

Ketika Pramoedya mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay pada 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes ke Yayasan Ramon Magsaysay. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, dan H.B. Jassin. Tokoh-tokoh tersebut protes karena Pram dianggap tidak pantas menerima penghargaan Ramon Magsaysay. Dalam berbagai opini-opini di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Mereka menuntut pertanggungjawaban Pram untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran “tidak terpuji” pada “masa paling gelap bagi kreativitas” pada zaman Demokrasi Terpimpin.

Hanya saja, keadaan menjadi terbalik saat Orde Baru. Tampak seperti ada dendam atas perlakuan pada masa orde sebelumnya. Semenjak Orde Baru, Pram memang tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan pikirannya sendiri dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Sampai akhir hayatnya, ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Tepatnya pada 27 April 2006, kesehatan Pram memburuk. Ia didiagnosa menderita radang paru-paruditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Upaya keluarga untuk merujuknya ke rumah sakit tidak membawa banyak hasil, malah kondisinya semakin memburuk dan akhirnya meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta. [Noor Yanto]