Koran Sulindo – Frasa gotong-royong sudah semestinya diaktualisasi kembali sekarang ini, ketika ikatan kita sebagai suatu bangsa terus merenggang akibat bermacam ihwal, yang datang dari berbagai penjuru mata angin dan begitu masifnya. Aktualisasinya tentu saja bukan sekadar menjadi sederet huruf yang berdesak-desakan di baliho, spanduk, poster, atau materi propaganda lain. Tapi, gotong royong harus diwujudkan sebagai bentuk nyata, konkret, dalam berbagai skala, mulai dari yang paling kecil di tingkat rukun tetangga sampai di tingkat kenegaraan dan nasional.
Kita pun perlu membaca dan mengingat kembali pidato tanpa teks (voor de vuist) Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang membahas Dasar Negara Indonesia. “Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harusmendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yangkaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia.Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satukan perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!Alangkah hebatnya! Negara gotong-royong!” demikian antara lain dikatakan Bung Karno dalam kesempatan tersebut,
Gotong-royong, tambahnya, adalah paham yang dinamis.“Lebih dinamis dari kekeluargaan, Saudara-Saudara!Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karya, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karya, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama,” ungkap Bung Karno lagi.
Namun, bagaimana mengaktualisasi kembali gotong-royong sekarang ini? Mungkin perlu ada rekayasa sosial. Apalagi, sekarang ini, media sosial di Internet, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari begitu banyak orang di Indonesia. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi,mayoritas orang Indonesia menggunakan Internet untuk menikmati konten media sosial. Hampir setiap hari penggunaan internet di Indonesia didominasi penggunaan media sosial.
Padahal, penggunaan media sosial di Internet, selain menyita banyak waktu orang Indonesia, juga menciptakan segregasi sosial. Karena, selain memang bermanfaat menghubungkan kita dengan teman lama dan baru di berbagai penjuru dunia, media ini juga sebenarnya membuat kita terisolasi dalam gelembung yang kita buat sendiri, misalnya dari kesamaan minat dan “ideologi”.
Kita—baik disadari maupun tidak—kemudian “terjebak” dalam pengondisian untuk menciptakan “mereka”, bagi yang berada di luar gelembung kita. Pluralisme pun akhirnya melemah dan pada gilirannya kita secara sistematis kehilangan kemampuan untuk berempati kepada orang-orang di luar gelembung kita.
Sekarang ini, bahkan banyak orang yang jarang bertemu satu sama lain di dunia nyata, terutama bagi yang memiliki perbedaan latar belakang, pandangan, budaya, agama, dan sebagainya—meskipunkenal atau bahkan bertetangga dekat. Akibatnya, prasangka pun menjadi tumbuh subur di antara “kita” dan “mereka”. Padahal, faktanya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbentuk dari keragaman perbedaan, bhinneka.
Karena itu, gerakan gotong-royong dalam kehidupan nyata bukan saja relevan sekarang ini, tapi juga mendesak untuk segera diwujudkan dalam berbagai lapisan masyarakat. Seperti diungkapkan teori psikologi sosial, semakin seringnyaorang menghabiskan waktu dengan orang lain yang berbeda dalam suatu lingkungan akan mendatangkan keuntungan satu sama lain: terbangunnya rasa saling memahami. Kalau sudah begitu, prasangka dan bias juga akan semakin berkurang.
Ayo, gotong royong! []