Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming tiba di Bandar Udara Internasional O.R. Tambo, Johannesburg, Afrika Selatan, Jumat (21/11/2025). Pesawat yang membawa Wapres dan rombongan mendarat sekitar pukul 15.15 waktu setempat setelah menempuh perjalanan hampir 11 jam dari Jakarta.
Di apron VIP, suasana hangat langsung terasa. Sejumlah penari tampil dengan energi penuh, menyajikan tarian tradisional Afrika Selatan, Pantsula, sebagai bentuk penyambutan resmi. Irama cepat, hentakan kaki yang presisi, dan gerakan penuh gaya menjadi pemandangan pertama yang menyambut Gibran setibanya di Johannesburg.
Tarian Pantsula bukan sekadar hiburan. Ia adalah napas budaya kota-kota Afrika Selatan, sebagai simbol kreativitas, identitas, dan sejarah panjang perjuangan komunitas kulit hitam. Lantas, seperti apa sejarah tarian tersebut? Mari kita ulas melalui artikel ini.
Lahir dari Resistensi pada Masa Apartheid
Mengutip jukeboxcollective.com, Pantsula berakar dari era apartheid pada 1950–1960-an di Sophiatown, sebuah kawasan yang dahulu dikenal sebagai pusat budaya kaum kulit hitam di Johannesburg. Di tengah penindasan dan keterbatasan ruang ekspresi, kaum muda menciptakan bahasa tubuh baru: sebuah tarian yang bergerak cepat, sinkron, dan penuh pesan sosial.
Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, Pantsula menjelma menjadi fenomena nasional. Ia bukan hanya bentuk seni, tetapi juga ruang bagi kelompok-kelompok muda di perkotaan untuk menyuarakan identitas, protes, bahkan harapan.
Nama Pantsula sendiri berarti “berjalan seperti bebek”, merujuk pada salah satu gaya langkah khas yang ikut dibawa ke dalam tariannya.
Pantsula berkembang sebagai hasil pertemuan berbagai gaya tari. Akar dasarnya dapat ditelusuri dari tap dance, unsur jive, tari tribal Afrika, serta gumboot, tarian pekerja tambang Afrika Selatan.
Gerakan sehari-hari pun menjadi bagian dari komposisinya, seperti gestur melempar dadu atau interaksi spontan anak muda di jalanan. Namun elemen paling menonjol tetaplah pola kaki yang rumit, berlapis ritme, berputar, bergeser, dan menghentak lantai dengan akurasi tinggi.
Bagi para penarinya, Pantsula sejak lama menjadi medium untuk “berbicara” ketika suara mereka tak didengar. Gerakannya bukan sekadar estetika, tetapi narasi tentang kehidupan di kawasan urban, tentang tekanan sosial, pencarian jati diri, hingga semangat perlawanan.
Pantsula merupakan bentuk kebebasan: bebas bergerak, bebas bersuara, bebas mengekspresikan kisah sebagai anak muda kulit hitam dalam lingkungannya sendiri. Melalui tubuh, mereka menceritakan realitas yang tak selalu terwakili di ruang publik.
Popularitas Pantsula terus berkembang hingga akhirnya diangkat ke layar lebar. Film tari pertama Afrika Selatan yang mengisahkan seni ini berjudul “Hear Me Move”, sebuah tonggak penting dalam perjalanan budaya Pantsula menuju panggung internasional. [UN]




