Tangkapan layar dari media sosial. (Istimewa)

OPINI – Tragedi yang terjadi di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025), meninggalkan luka mendalam bagi bangsa ini. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (20), tewas usai dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob ketika aksi demonstrasi berlangsung.

Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), namun nyawanya tak tertolong. Affan menjadi korban nyata dari wajah kelam penanganan aksi yang seharusnya dijamin ruang dan keselamatannya dalam bingkai demokrasi.

Kejadian ini bukan sekadar insiden lalu lintas di tengah kericuhan, melainkan potret buram bagaimana aparat yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi ancaman. Rantis yang dirancang untuk menjaga keamanan justru menjadi alat pembunuhan.

Lebih ironis lagi, kendaraan itu dibeli dari uang rakyat, uang yang sama dengan yang dikeluarkan Affan ketika setiap hari ia membayar pajak dari penghasilannya sebagai pengemudi ojek online.

Pertanyaan besar pun muncul, masihkah polisi berdiri sebagai pelindung dan pengayom, atau justru berubah menjadi aparat yang merugikan? Setiap demonstrasi semestinya menjadi kanal sah bagi rakyat untuk bersuara.

Namun faktanya, suara itu kerap dibalas dengan gas air mata, pentungan, hingga deru ban kendaraan yang menggilas tubuh-tubuh yang lemah. Ketika rakyat datang dengan tuntutan keadilan, negara justru hadir dengan wajah beringas.

Di sisi lain, kontras mencolok terlihat di gedung parlemen. Para wakil rakyat yang mestinya memperjuangkan suara masyarakat duduk nyaman dengan gaji besar, tunjangan berlapis, dan fasilitas mewah. Mereka berbicara atas nama rakyat, namun di jalanan rakyat itu sendiri berhadapan dengan represi dan kekerasan.

Ironisnya adalah mereka yang dipilih untuk menyuarakan aspirasi, justru membiarkan suara itu dibungkam bahkan sampai meregang nyawa. Mereka tutup mata, yang katanya wakil rakyat namun diam seolah tak mendengar dan melihat.

Indonesia kini tidak hanya darurat nurani, tetapi juga darurat kepercayaan. Demokrasi yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan air mata generasi sebelumnya, kini tampak sebagai slogan kosong.

Keadilan yang digembar-gemborkan tak lebih dari mimpi yang sulit diwujudkan. Lebih menyedihkan lagi, kematian rakyat di tangan aparat menjadi hal yang berulang, seolah negara gagal belajar dari tragedi demi tragedi sebelumnya.

Affan Kurniawan bukan hanya korban. Ia adalah simbol dari betapa rentannya nyawa rakyat kecil di tengah negara yang abai menjaga martabat warganya.

Ia adalah wajah dari kekerasan pada rakyat kecil, ketika seseorang yang bekerja keras di jalanan untuk hidup layak justru kehilangan hidupnya di jalan yang sama karena kekuasaan yang kehilangan hati.

Jika keadilan tidak lagi berharga dan nurani hanya tinggal kata, maka Indonesia hanya tinggal nama yang berdiri megah di peta, tetapi runtuh di dada warganya. Katanya Indonesia negara demokrasi, namun saat bersuara, rakyat dibungkam hingga binasa. [UN]