Jakarta, 28 Juli 2025 – Dua vonis terbaru terhadap Hasto Kristiyanto dan Thomas Trikasih Lembong membuka tabir tentang realitas baru penegakan hukum di Indonesia. Di tengah narasi supremasi hukum, justru tampak gejala bahwa hukum kian menjauh dari keadilan substantif dan bergeser menjadi alat dari permainan politik penguasa.

Hasto Kristiyanto dijatuhi hukuman atas dugaan suap dalam skema pergantian antarwaktu anggota DPR, meskipun tidak terbukti melakukan obstruction of justice. Sementara Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, dijatuhi vonis 4 tahun 5 bulan penjara atas kebijakan impor gula yang disebut merugikan negara, meskipun tidak ada bukti bahwa ia memperoleh keuntungan pribadi. Dua vonis ini menunjukkan satu pola yang semakin mencemaskan: hukum tak lagi semata soal legalitas, tetapi menjadi ekspresi dari peta dominasi politik.

“Vonis hari ini bukan lagi persoalan hitam dan putih antara benar atau salah, melainkan soal siapa yang berada di dalam atau di luar lingkaran kekuasaan,” tegas Ericko Pandu Sumbogo.

Sebagai Ketua Departemen Kepemudaan dan Mahasiswa DPP Gerakan Pemuda Marhaenis, Ericko menyampaikan keprihatinan mendalam atas gejala kriminalisasi terhadap ekspresi politik alternatif. Bila keberanian intelektual terus-menerus ditekan lewat instrumen hukum, maka pemuda Indonesia akan terjebak dalam budaya ketakutan yang sistemik.

“Kita tengah menciptakan generasi yang lebih takut daripada sadar. Demokrasi pun berubah wujud, bukan lagi sebagai ruang ekspresi bebas, tapi sebagai instrumen kontrol sosial yang membungkam,” lanjutnya.

Ericko memandang bahwa hukum harus berpijak pada nilai etika dan keadilan sosial. Marhaenisme, sebagai fondasi ideologis gerakan, menolak segala bentuk penyalahgunaan hukum untuk kepentingan kekuasaan. Hukum harus menjadi alat pembebas rakyat, bukan alat represi terhadap pikiran kritis.

Dalam konteks ini, Ericko menyerukan kepada seluruh elemen pemuda dan mahasiswa di Indonesia untuk tidak menormalisasi penyimpangan hukum dan pembungkaman intelektual. Demokrasi tidak akan berkembang dalam ruang steril yang hampa kritik. Justru dalam keberanian moral dan akal sehat publik-lah demokrasi menemukan daya hidupnya.

“Pemuda bukan pelengkap, apalagi objek pembungkaman. Kita adalah benteng terakhir dari akal sehat bangsa ini. Ketika hukum kehilangan keseimbangan etik, maka keberanian pemuda untuk bersuara adalah satu-satunya cara menjaga integritas demokrasi,” pungkasnya.

Sebagai penutup, Ericko menegaskan bahwa bangsa ini tidak kekurangan hukum, yang kurang adalah keberanian untuk menegakkan keadilan. Jika hukum dibiarkan menjadi alat kekuasaan yang membungkam suara rakyat, maka sejarah akan mencatat bahwa pemerintah hari ini gagal menjaga cita-cita reformasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.