Para pendukung Presiden Mohamed Moursi yang dilengserkan, saat berunjuk rasa di Kairo Mesir pada 07 Juli 2013. (Foto: REUTERS/Mohamed Abd El Ghany)

‎“Demokrasi bukan hanya soal pemilu,” ujar seorang jenderal Mesir bernama Abdel Fattah el-Sisi, beberapa hari setelah dirinya memimpin penggulingan Presiden Muhammad Mursi pada 3 Juli 2013.

‎Tepat 12 tahun lalu, dunia menyaksikan runtuhnya satu-satunya pemerintahan sah hasil pemilu pasca-Arab Spring. Kudeta terhadap Mursi bukan hanya membungkam Ikhwanul Muslimin, tetapi juga menandai kembalinya militer ke tampuk kekuasaan dan menjadi isyarat bahwa musim semi di dunia Arab telah berubah menjadi musim dingin yang panjang.

‎Demokrasi Mesir yang Singkat

‎Muhammad Mursi terpilih sebagai presiden Mesir pada Juni 2012 melalui pemilu yang relatif bebas pascarevolusi 2011 yang menjatuhkan Hosni Mubarak. Ia menjadi presiden sipil pertama yang dipilih secara demokratis dalam sejarah Mesir modern.

‎Namun masa kekuasaan Mursi penuh gejolak. Kritikus menuduhnya terlalu dekat dengan kelompok Islamis, termasuk Ikhwanul Muslimin, dan gagal membangun konsensus nasional. Ekonomi Mesir terus memburuk, protes massal pecah, dan oposisi sekuler serta Kristen Koptik merasa diabaikan.

‎Krisis politik semakin dalam ketika pada 30 Juni 2013, jutaan orang turun ke jalan menuntut Mursi mundur. Tiga hari kemudian, militer mengambil alih kekuasaan.

‎Rezim Baru dan Represi Lama

‎Setelah kudeta, militer Mesir meluncurkan tindakan keras terhadap Ikhwanul Muslimin. Ribuan anggota dan simpatisannya ditangkap, termasuk Mursi sendiri yang kemudian dihukum penjara seumur hidup. Ribuan lainnya terbunuh dalam pembantaian Rabaa al-Adawiya, termasuk perempuan dan anak-anak.

‎Jenderal Abdel Fattah el-Sisi, yang menjadi tokoh utama kudeta, kemudian mencalonkan diri sebagai presiden dan menang pada 2014. Sejak saat itu, kebebasan sipil, media independen, dan oposisi politik di Mesir praktis lumpuh.

‎Gelombang Kontra-Arab Spring

Apa yang terjadi di Mesir menjadi sinyal bagi negara-negara lain. Setelah semangat Arab Spring menyapu Tunisia, Libya, Suriah, Yaman, dan Mesir pada 2011, kudeta 2013 dianggap sebagai titik balik yang mengawali era kontrarevolusi.

‎Tunisia, satu-satunya negara yang relatif berhasil menjalani transisi demokrasi, juga kini menghadapi kemunduran setelah presiden Kaïs Saïed membekukan parlemen dan mengambil alih kekuasaan eksekutif sejak 2021.

‎Arab Spring telah berubah menjadi ironi. Alih-alih membawa demokrasi, banyak negara justru kembali ke bentuk otoritarianisme yang lebih represif—dengan restu internasional.

‎Akhir yang Tragis

Muhammad Mursi wafat pada 17 Juni 2019 dalam sebuah sidang di pengadilan Kairo. Ia jatuh pingsan dalam kandang terdakwa dan tak pernah bangun lagi. Penjara dan isolasi panjang telah merenggut hidupnya.

‎Hingga hari ini, perdebatan soal kudeta terhadap Mursi terus hidup. Bagi sebagian rakyat Mesir, itu adalah langkah perlu untuk menyelamatkan negara. Bagi yang lain, itu adalah pengkhianatan terhadap demokrasi yang baru tumbuh.

‎Namun sejarah mencatat: peristiwa 3 Juli 2013 bukan sekadar penggulingan presiden, melainkan awal dari fase panjang pembungkaman demokrasi di dunia Arab. Sebuah pelajaran pahit bahwa demokrasi tidak akan bertahan tanpa perlindungan institusi, budaya politik yang sehat, dan kehendak kolektif rakyat. [IQT]