Megawati Soekarnoputri ketika berpidato di Aljazair/pdiperjuangan.id

Koran Sulindo – Pidato Kebudayaan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri pada Konferensi Internasional Arsip Gerakan Non Blok sebagai MOW Unesco di Aljazair

23 Oktober 2016

Penasehat Presiden,

Para Anggota Kabinet,

Para Pejabat Tinggi Negara,

Rektor Universitas dan Akademisi,

Para Diplomat dari Negara-negara Gerakan Non Blok,

Kepala Arsip Nasional Aljazair.

Duta Besar RI untuk Aljazair

Kepala ANRI,

Saudara-saudara semua para Undangan yang berbahagia

Assalamualaikum, wr, wb.

Salam cinta dan persahabatan untuk seluruh rakyat Aljazair

Sungguh suatu kehormatan bagi saya, menerima undangan dari Presiden Aljazair, Abdelazis Bouteflika. Saya mohon maaf jika baru sekarang ini akhirnya saya dapat menginjakkan kembali kaki saya di bumi Aljazair. Saya sempat datang ke Aljazair saat saya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, pada tahun 2002. Kunjungan tersebut adalah kunjungan pertama kenegaraan Presiden Indonesia semenjak Aljazair merdeka pada tahun 1962. Kunjungan kedua setelah saya tidak menjabat Presiden, pada tahun 2007.

Sama seperti kunjungan saya sebelumnya, kunjungan ketiga saat ini pun tidak untuk membawa misi personal. Tetapi, untuk melanjutkan kembali relasi bilateral dua negara, Indonesia – Aljazair, yang pondasinya telah diletakkan oleh Bapak Bangsa Indonesia, Presiden Pertama Republik Indonesia, yang juga ayah saya, yaitu Dr. Ir. Soekarno, yang oleh  rakyat Indonesia dipanggil Bung Karno. Saya sangat tahu, bagaimana beliau dengan sekuat tenaga telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika dari imperialisme-kolonialisme. Pada tahun 1951, Bung Karno membentuk Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Afrika Utara, khususnya Tunisia, Maroko dan Aljazair, yang berkantor di Jakarta. Pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 18-24 April 1955, melalui undangan khusus dan rahasia (karena Aljazair masih di bawah koloni Perancis), delegasi Aljazair hadir dipimpin oleh Hussein Eit-Ahmed. Khusus untuk kemerdekaan Aljazair, Bung Karno bahkan memperjuangkannya di hadapan Sidang Umum PBB tahun 1960. Tanpa ragu, Bung Karno, “menuntut” kemerdekaan bagi Aljazair.

Saudara-saudara

Ijinkan saya mengutip pidato Bung Karno tahun 1960 tersebut:

“Sebelum meninggalkan persoalan-persoalan ini, saya hendak menyinggung pula suatu persoalan besar lain yang kira-kira sama sifatnya. Yang saya maksud ialah Aljazair. Di sini terdapat suatu gambaran yang menyedihkan, dimana kedua belah pihak sedang berlumuran darah dan dihancurkan karena ketiadaan penjelasan. Itu merupakan tragedi!

Sudah jelas sekali bahwa rakyat Aljazair menghendaki kemerdekaan. Hal itu tidak dapat dibantah lagi. Andaikata tidak demikian, maka perjuangan yang lama dan pahit dan berdarah itu sudah bertahun-tahun berlalu. Kehausan akan kemerdekaan serta ketabahan untuk memperoleh kemerdekaan itu merupakan faktor-faktor pokok dalam situasi ini.”

Apa yang disampaikan oleh Bung Karno tersebut menunjukkan kemerdekaan Aljazair menempuh jalan perjuangan yang panjang. Saya bahkan sangat mengagumi perjuangan seorang pahlawan wanita Aljazair, pejuang revolusioner semasa Revolusi Aljazair, bernama Djamila Bouhired.

Hadirin yang saya hormati,

di hadapan Sidang Umum PBB, Bung Karno mendesak agar rakyat Aljazair diberi haknya untuk melakukan plebisit (referendum) untuk menentukan pilihannya sendiri. Plebisit tersebut ia dorong untuk segera dijalankan dengan berada di bawah pengawasan PBB. Lalu, pada tanggal 1 Juli 1962 diadakan referendum di Aljazair untuk mendukung kemerdekaan bagi Aljazair. Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1962, Ajazair memproklamasikan diri sebagai negara merdeka. Indonesia adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Aljazair, dan Kedutaan Besar Indonesia adalah kedutaan pertama yang dibuka di negara ini, yaitu pada tahun 1963.

Saudara-saudara,

sekelumit sejarah di atas sengaja saya sampaikan pada kesempatan ini, bukan untuk mengklaim bahwa kemerdekaan Aljazair karena jerih payah Bung Karno. Tidak sama sekali. Kemerdekaan Aljazair adalah hasil perjuangan dan pengorbanan rakyat Aljazair. Saya menceritakannya kembali untuk mengingatkan kita semua, bukan hanya rakyat Aljazair, tetapi juga rakyat Indonesia, bahwa hubungan dua negara, tidak boleh keluar dari semangat kemerdekaan tersebut. Kerjasama yang ada sudah pasti akan menjadi penyimpangan dari amanat para pendiri bangsa kita, jika bertujuan untuk kepentingan modal dan keuntungan ekonomi semata. Karena itu, tujuan menjadi negara merdeka tidak boleh hilang dari semua perjanjian yang dibangun pasca kemerdekaan. Seperti apa negara yang sungguh-sungguh merdeka, atau merdeka sejati itu apa saja ciri-cirinya? Pertama, berdaulat di bidang politik. Kedua, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi. Ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan. Itulah yang Bung Karno sebut dengan TRISAKTI. Silakan tanya kepada Presiden Abdelaziz Bouteflika dan sahabat saya mantan Duta Besar Aljazair untuk Indonesia (1996-2004), Bapak Soufiane Mimouni, tentang persahabatan antara Presiden Abdelaziz Bouteflika dengan Bung Karno, sejak masa perjuangan kemerdekaan masing-masing kedua negara. Saya yakin bukan hanya Bung Karno, tapi Presiden Bauteflika, mempunyai cita-cita yang sama, menginginkan terwujudnya Trisakti untuk bangsa Indonesia, maupun Aljazair. Bahkan, saya yakin Trisakti itu pula yang mendorong keduanya terlibat aktif dalam membangun Gerakan Non Blok, pada saat dunia “terbelah” dalam Blok Barat dan Blok Timur.

Saudara saudara,

Hubungan persahabatan antara Indonesia dan Aljazair, yang diikat oleh tali sejarah yang kuat, dapat dilihat dari koleksi arsip yang disimpan di masing-masing negara. Ada begitu banyak tentang Indonesia di Arsip dan Memori Aljazair. Demikian pula ada begitu banyak tentang Aljazair di Arsip dan Memori  Indonesia.  Oleh karena itu, saya secara pribadi mendukung sepenuhnya kerja sama kearsipan antara Indonesia dan Aljazair untuk membangun poros sejarah perjuangan untuk mencapai kesejahteraan dan kegemilangan bersama.

Poros sejarah itu diantaranya dilakukan melalui upaya-upaya penggalian dan penyebarluasan sejarah, bagaimana para founding fathers kita bekerja sama meraih kemerdekaan dan membangun negara kita mencapai kemerdekaan dan membangun kerjasama antar bangsa yang berbasis pada persaudaraan dalam kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Keberhasilan kita menjadikan arsip KAA sebagai Memory of The World (MoW) oleh UNESCO pada tahun 2015 dan pengajuan arsip Gerakan Non Blok sebagai MoW pada tahun 2016 – 2017 adalah wujud poros kerja sama sejarah dan kebudayaan antara Indonesia dan Aljazair yang harus kita dukung dan perjuangkan bersama.

Saudara-saudara

Konferensi Asia Afrika yang diikuti oleh 200 delegasi yang berasal 29 negara, menghasilkan sebuah komunike akhir yang sangat bersejarah yaitu DASA SILA BANDUNG, yang sangat inspiratif dan menjadi tonggak sejarah dunia. 10 Prinsip KAA telah lahirkan kemerdekaan negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Hanya 10 tahun setelah KAA berlangsung, terdapat 41 negara di Asia dan Afrika yang mendeklarsikan kemerdekaannya, termasuk negara Aljazair.

Saudara-saudara

Kerja sama untuk membangun kebudayaan dan peradaban dunia yang lebih berkeadilan adalah sesuatu yang luhur dan harus selalu kita perjuangkan. Penominasian arsip KAA dan GNB sebagai Memory of The World UNESCO adalah upaya yang sangat penting bagi bangsa-bangsa di dunia untuk menunjukkan bagaimana seharusnya sebuah kerjasama antar bangsa dibangun. Para pejuang dan pendiri bangsa kita berhadap-hadapan dengan para pemimpin dari negara-negara penjajah. Bung Karno  dan  Ali Sastroamidjojo dari Indonesia, U Nu dari Burma, Sir John Kotelawala dari Sri Lanka, Gamal Abdul Nasser dari Mesir,  Jawarhalal Nehru dari India, Mohammed Ali dari Pakistan, Chou En Lei dari China, Norodom Sihanouk dari Kamboja, dan lain-lain, termasuk Hussein Eit-Ahmed dari Aljazair, adalah tokoh-tokoh KAA yang kemudian mendunia.

Bung Karno (Indonesia), Tito (Yugoslavia), Nehru (India), Nasser (Mesir), and Nkrumah (Ghana) memainkan peranan penting dalam Sidang Umum PBB ke XV (lima belas) pada tahun 1960 yang dihadiri oleh 17 negara yang baru merdeka dari Asia dan Afrika. Mereka berlima kemudian menjadi tokoh-tokoh pendiri GNB. Demikian pula Presiden Houari Boumedienne yang menjadi Sekjen GNB pada tahun 1976 – 1978 adalah salah satu tokoh besar dunia yang mewarnai perjuangan Negara-negara GNB.

Saudara-saudara

Pemikiran dan perjuangan para tokoh di atas terdokumentasi dalam arsip sejarah negara-negara yang terlibat dalam KAA maupun GNB. Saatnya kita mengkonsolidasikan keseluruhan arsip tersebut. Saatnya kita memperjuangkan dengan lebih serius agar arsip Gerakan Non Blok ditetapkan sebagai Memory of The World oleh UNESCO. Menjadikannya bukan hanya sebagai memori kolektif rakyat Indonesia, Aljazair, maupun negara-negara yang terlibat KTT Non Blok Pertama. Namun, menurut saya memang sudah menjadi tugas sejarah kita, kewajiban sejarah yang kita emban, agar menjadikannya memori dunia.

Dunia saat ini, telah masuk abad ke 21. Menjadi sebuah pertanyaan mendasar: apa tujuan konsolidasi kita ke depan? Akankah kita melupakan ikatan sejarah, lalu semua relasi yang kita bangun hanya didasarkan pada untung rugi ekonomi semata? Dapatkah kita kembali menumbuhkan ikatan emosional agar kita dapat membangun kerjasama yang dapat menciptakan kesejahteraan rakyat di masing-masing negara? Oleh karena itu, kita membutuhkan memori atas peristiwa penting peradaban manusia, yang terjadi pada abad 20 yang dipelopori para pendiri bangsa-bangsa di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin, dari memperjuangkan kemerdekaan, maupun membangun kerjasama untuk mengisi kemerdekaan. Kesemua arsip KAA dan Gerakan Non Blok, tidak boleh lagi hanya menghuni ruang-ruang kertas dan dokumentasi yang dingin dan terabaikan. Menjadikannya memori dunia adalah sebuah upaya kolektif antar bangsa untuk melahirkan generasi-generasi yang tidak buta sejarah, generasi-generasi yang tidak kehilangan semangat nasionalisme, namun tetap terlibat dalam hubungan internasional yang bebas aktif. Hubungan yang juga seharusnya tetap berdiri tegak dalam era globalisasi. Pasar bebas di era modern sekarang ini, perlu memori pengingat, agar dunia tidak menjadi tempat tumbuh suburnya eksploitasi atas nama investasi, atau menumbuhkan semangat nasionalisme sempit seperti fasisme, termasuk kekerasan yang mengatasnamakan apa pun.

Terima kasih untuk rakyat, bangsa dan negara Aljazair. Kita akan melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa kita. Kita berjuang menjadikan perjuangan mereka sebagai memori dunia, memori yang menjadi landasan berpijak dalam semua relasi antar bangsa. Sebuah pondasi, pedoman, sekaligus arah kita sebagai warga dunia dalam bekerjasama. Seperti Bung Karno tegaskan dalam KTT Non Blok Pertama: “Politik Non-Blok adalah pembaktian kita secara aktif kepada perjuangan yang luhur untuk kemerdekaan, untuk perdamaian yang kekal, keadilan sosial dan kebebasan untuk Merdeka. [pdiperjuangan.id/DAS]