Ilustrasi Pertempuran Bannockburn - Bruce berbicara kepada pasukan. (Sumber: War History Online)

Kemenangan bukan selalu milik mereka yang paling kuat, tetapi milik mereka yang paling memahami kapan dan di mana harus bertarung. Di medan Bannockburn, kebenaran itu terbukti. Di sinilah sejarah mencatat bagaimana sebuah bangsa yang terkepung, di bawah kepemimpinan seorang raja yang dulu diragukan, justru bangkit menantang kekuasaan besar dari selatan.

Bagaimana kisahnya terjadi? Mari kita telusuri kembali dua hari yang menentukan takdir Skotlandia pada musim panas tahun 1314, sebagaimana dilansir dari laman Historic-UK dan War History Online.

Tanggal 23 dan 24 Juni 1314 akan selalu dikenang sebagai dua hari ketika Skotlandia melalui keberanian, strategi, dan kepemimpinan membalikkan dominasi Inggris dalam Perang Kemerdekaan Skotlandia Pertama.

Di medan berawa dekat Stirling, pasukan yang dipimpin Robert the Bruce menghancurkan kekuatan militer Raja Edward II dari Inggris, meski kalah jumlah dua banding satu.

Robert the Bruce: Dari Buronan ke Raja

Keberhasilan Robert the Bruce tidak terjadi dalam semalam. Dalam delapan tahun sejak mengangkat pedang melawan Inggris, ia perlahan-lahan membangun kekuatannya dari sekadar sekelompok kecil pemberontak menjadi pasukan nasional yang militan dan terlatih.

Ia adalah pemimpin yang tak hanya ahli strategi, tetapi juga inspirator. Ia memahami betul medan negaranya, dan menggunakan keunggulan geografis Skotlandia sebagai senjata tak terlihat.

Taktik gerilya yang ia jalankan selama bertahun-tahun telah mengasah nalurinya dalam menyusun pergerakan, memilih waktu, dan memecah kekuatan lawan. Pasukannya mencintainya bukan hanya karena keberhasilannya, tetapi karena ketenangannya dalam menghadapi tekanan dan keberaniannya memimpin dari garis depan.

Edward II: Bayang-Bayang Ayahnya, Kegagalan Dirinya

Di sisi lain, Inggris dipimpin oleh Edward II, raja yang hidup dalam bayang-bayang kebesaran ayahnya, Edward I. Tidak seperti ayahnya yang dijuluki “Hammer of the Scots”, Edward II tidak memiliki kekuatan moral, kemauan keras, atau keterampilan militer yang dibutuhkan untuk memimpin perang. Ia lemah secara politik, dan perselisihannya dengan para bangsawan membuat pemerintahannya goyah bahkan sebelum pasukannya menjejakkan kaki di medan Bannockburn.

Perselisihan paling merusak terjadi antara Edward dan Thomas dari Lancaster, Duke of Lancaster. Konflik mereka menyebabkan kematian salah satu orang terdekat Edward, dan membuat Lancaster enggan memberikan dukungan militer penuh.

Beberapa bangsawan besar yang berpihak padanya seperti Earl of Arundel, Norfolk, Oxford, Surrey, dan Warwick juga hanya mengirim pasukan minimum, sehingga memperlemah kekuatan Edward secara signifikan.

Ketika pasukan Inggris akhirnya dikumpulkan, bahkan di antara mereka terjadi keretakan. Dua tokoh penting, Earl of Hereford dan Gloucester, terlibat dalam perdebatan sengit soal siapa yang harus memimpin barisan depan.

Gloucester yang ingin menunjukkan otoritas, justru memimpin serangan sembrono ke posisi Skotlandia dan gugur dalam upaya sia-sia tersebut.

Bruce dan pasukannya telah memilih lokasi pertempuran dengan cermat. Bannockburn adalah wilayah yang berawa dan sempit, tidak ideal untuk gerak cepat pasukan besar terutama kavaleri berat Inggris yang menjadi andalan mereka.

Tanah seperti ini tidak hanya memperlambat gerakan, tetapi juga menghancurkan momentum serangan berkuda yang biasanya menentukan dalam pertempuran abad pertengahan.

Selain itu, pasukan Skotlandia menerapkan formasi schiltron, sebuah barisan rapat para prajurit tombak yang membentuk lingkaran pertahanan, sangat efektif melawan serangan frontal kavaleri. Ini bukan pertama kalinya infanteri berhasil menahan kavaleri dalam sejarah militer, tetapi di Bannockburn, taktik ini dipadukan dengan medan yang menguntungkan, menjadikannya pukulan mematikan bagi kekuatan Inggris.

Ironisnya, Inggris yang memiliki pemanah dalam jumlah besar, gagal memanfaatkannya dengan optimal. Pasukan pemanah dibiarkan di belakang, dan ketika mereka akhirnya diberi perintah menembak, posisi mereka sudah terlalu terdesak untuk efektif. Parahnya lagi, mereka tidak dijaga dan segera dihancurkan oleh kavaleri ringan Skotlandia yang bergerak cepat.

Runtuhnya Kekuasaan dan Martabat

Puncak kekacauan terjadi ketika Edward II terlempar dari kudanya dalam kekacauan pertempuran. Alih-alih mengatur ulang barisannya atau memimpin dari tengah medan, sang raja panik dan melarikan diri. Tindakan pengecut ini memicu runtuhnya semangat pasukan Inggris. Ketika seorang raja lari dari pertempuran, tidak ada lagi moral yang bisa dipertahankan. Yang tersisa hanyalah kekalahan total.

Dari sekitar 13.000 pasukan Inggris yang dikirim, hanya sekitar 3.000 yang berhasil kembali ke tanah air. Sementara itu, pasukan Skotlandia, meski mengalami korban jiwa antara 500 hingga 4.000 orang, telah mencetak kemenangan yang tak hanya bersifat militer, tetapi juga politis dan moral.

Bannockburn bukan akhir dari perjuangan, tetapi menjadi tonggak perubahan. Meski Inggris baru mengakui kemerdekaan Skotlandia secara resmi pada 1328, pertempuran ini memaksa dunia melihat bahwa Skotlandia bukan sekadar tanah jajahan, melainkan bangsa dengan raja, rakyat, dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Robert the Bruce pun tak lagi hanya dikenal sebagai seorang bangsawan yang dulu terpecah oleh konflik internal. Ia kini menjadi lambang nasionalisme Skotlandia, pemimpin medan perang, dan tokoh sejarah yang melampaui zamannya. Sedangkan Edward II… dikenang oleh sejarah sebagai salah satu jenderal paling gagal yang pernah memimpin tentara Inggris. [UN]