Koran Sulindo – Makam berkeramik hitam itu berada di komplek pemakaman umum Sirnaraga, Jalan Pajajaran, Bandung. Berada persis di jalan masuk pintu timur. Catatan di nisan: Perintis Kemerdekaan RI, Bapak Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, Rd Gatot Mangkoepradja. Lahir 1901 wafat 4 Oktober 1968. Juga ada empat huruf besar terpampang disana: PETA.
PETA adalah tentara sukarela yang dibentuk penjajah Jepang untuk persiapan perang Pasific melawan Sekutu. PETA adalah cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam buku “Gatot Mangkoepradja (1898-1969)” (2003; editor Nina H. Lubis), yang disusun dalam rangka seminar pengusulan pahlawan nasional pada 2 Juni 2003 di Bandung, Jawa Barat terlihatlah sosok Gatot Mangkoepradja menurut pandangannya sendiri.
Buku itu disusun sebagian besar berdasar riwayat hidup Gatot yang ditulis sendiri, lebih semacam memoar, Juga ada riwayat hidup singkat isterinya, dilengkapi pula surat-surat keterangan yang ditulis oleh teman-teman seperjuangannya, surat-surat dari pemerintah militer Jepang, dan foto-foto.
Dokumen itu disimpan Gatot Rusdaryanto, cucu Gatot Mangkoepradja.
Gatot lahir pada 15 Desember 1898 di Kampung Citamiang, Desa Panjunan Kabupaten Sumedang. Dari silsilahnya ia adalah seorang keturunan Menak Galuh (Ciamis). Ayahnya, dr. Saleh Mangkoepradja adalah putra Rd. H. Moehammad Tajib, Hoofdpenghulu di Landraad Ciamis dengan Nyimas Soewarta, keturunan Prabu Wastukancana.
Ayahanda Gatot, dr. Saleh, adalah dokter yang cukup terkenal di Sumedang karena dalam prakteknya selain menggunakan obat-obat farmasi juga menggunakan obat tradisional dari tumbuh-tumbuhan di Indonesia. Penghasilannya sebagai dokter cukup besar sehingga bisa membeli rumah, sawah, dan kebun.
Menurut tulisan Gatot, The PETA and My Relatons with The Japanese (yang dimuat jurnal Indonesia, terbitan Cornell University AS; 1968), ketika meninggal ayah Gatot juga meninggalkan warisan armada angkutan jurusan Sumedang-Cirebon. Seluruh kekayaan dibagikan pada keenam anaknya, dan sejak itu Gatot tak pernah bekerja untuk mencari nafkah lagi.
Gatot pertama memasuki sekolah Frobel School Ny. Westenenk di Sumedang. Pada 1905 ia melanjutkan sekolahnya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung. Ketika usianya tujuh tahun, ibunya meninggal dunia.
Pada 1912 Gatot melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter) namun hanya bertahan tiga tahun. Ia pindah ke Hogere Burger School (HBS) yang lagi-lagi tidak dirampungkannya. Pada 1922 ia bekerja di Jawatan Kereta Api dan berhenti 1925, karena ayahnya meninggal dunia.
Sejak di STOVIA itulah Gatot mulai berkenalan dengan dunia politik. Ia membentuk Paguyuban Pasundan antara lain bersama D.K. Ardiwinata, E. Poerawinata, dan Djoendjoenan Setiakoesoemah.. Pada 1918, dalam usia 17 tahun, Gatot sudah dipercaya menjadi anggota pimpinan Bond van Inheemsche Studeerenden di Bandung. Perkumpulan ini mengkoordinasikan pelajar-pelajar STOVIA, Kweekschool, AMS. Kelak perkumpulan ini berfusi menjadi Jong Java.
Pada 1926 Gatot Mangkoepradja aktif dalam Algemene Studie Club Bandung. Di sinilah ia pertama kali bertemu Soekarno. Walau mereka sebaya, Gatot sangat mengidolakan Bung Karno.
Setahun kemudian, ia membantu Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, kelak berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Soekarno menjadi ketua, sedangkan Gatot menjadi sekretaris pusat
“Karena partai tidak mempunyai keuangan yang cukup untuk mengongkosi cetakan-cetakan, balai pertemuan, dan ongkos-ongkos bagi propagandis, maka saya rela untuk memberikan sumbangan-sumbangan. Dan karena saya tidak mempunyai sumber penghasilan yang lain, maka sedikit demi sedikit dijuallah kekayaan peninggalan orang tua saya baik berupa sawah, kebun, maupun otomobil yang ada di Sumedang,” tulis Gatot dalam catatan hariannya yang kemudian dibukukan pada 2003 itu.
Gatot adalah propagandis yang handal. Salah satu berkat kerja kerasnya, PNI makin masif dan mengundang banyak simpatisan baik di Bandung maupun di berbagai daerah. Pada awal 1929 itui anggota terdaftar PNI sudah sekitar 6 ribu orang.
Gatot dan Soekarno ditangkap pemerintah kolonial di Yogyakarta ketika kampanye keliling memperkenalkan PNI. Mereka dipenjara di Banceuy. Kelak pada fase ini Soekarno terkenal karena pidato pembelaannya di pengadilan Landraad, Indonesia Menggugat.
PNI dibubarkan setelah Soekarno dipenjara (4 tahun, kemudiam dipotong jadi 2 tahun).
Setelah bebas, Gatot menerjunkan diri ke Partai Indonesia (Partindo), pengganti PNI yang dipimpin Mr. Sartono. Soekarno selepas pembebasannya juga ikut melibatkan diri dalam partai ini tapi tidak berlangsung lama karena ia segera dibuang pemerintah kolonial ke Ende.
Kegiatan Partindo menurun tanpa Bung Karno. Gatot memutuskan keluar dari dunia politik. Ia lalu mendirikan perusahaan rumah obat “Dispensary” di Bandung.
Rumah obat itu memperkenalkan Gatot kepada orang-orang Jepang yang menjadi rekan bisnisnya. Pada 1933 Gatot pergi ke Jepang untuk menjalin hubungan bisnis sekaligus menghadiri Kongres Pan Asia di Tokyo. Di sana ia banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Jepang.
Sekembalinya ke Indonesia hubungan dengan orang-orang Jepang yang membuka toko di Bandung, Jogja dan Solo pun semakin intens. Kegiatan Gatot yang sering keluar masuk toko milik orang Jepang ini mendapatkan pengawasan dari aparat pemerintah. Karena merasa tidak nyaman, akhirnya Gatot memutuskan untuk pindah ke Cianjur. Di sama ia mendirikan Rumah Obat Kruidenhandel De Erden Dr. Saleh.
Membentuk PETA
Pada masa penjajahan Jepang. Ia menjadi orang kepercayaan aparat pemerintah militer Jepang, terbukti dari pengangkatannya sebagai ketua “Gerakan 3 A” cabang Cianjur.
Pada 1943 surat kabar Tjahaja di Bandung memuat berita kunjungan Rd. Soetarjo Kartohadikoesoemo ke Jepang mengajurkan Jepang membentuk milisiplicht (wajib militer) di Indonesia. Gatot menyesalkan usulan tersebut karena PNI pernah menentang konsep yang sama di zaman kolonial Belanda.
Merasa resah atas wacana itu, Gatot segera mengirimkan surat ke redaksi Tjahaja yang isinya tidak menyetujui ide itu. ”Lebih baik di Indonesia diadakan barisan sukarela,” tulis Gatot.
Beberapa hari kemudian Gatot dibawa ke kantor Bepang di Batavia yang tingkatannya lebih tinggi dari Kempeitai. Di sana ia disuruh membuat surat permohonan pembentukan Barisan Sukarela. Saat itulah peristiwa “tinta darah” Gatot Mangkoepradja terjadi. “Di hadapan Letnan Yanagama dan Kapten Maruzaki, saya menyatakan lagi kesanggupan saya, jikalau adanya Barusan Sukarela ini diterima dan untuk menunjukan kesanggupan saya itu, dengan ujung pena saya menusuk lengan kiri saya sehingga keluar darah dan dengan tinta darah ini saya menulis surat permohonan yang saya tujukan kepada Pemerintah Dai Nippon di Tokyo.”
Akhirnya Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan PETA dipusatkan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.
Seruan-seruan untuk bergabung di dalamnya segera dimuat di surat kabar. Sarana-sarana pelatihan kader tentara sukarela pun dibangun di mana-mana.
Namun nama “PETA” untuk barisan ini baru muncul pada 1944 atas inisiatif Oto Iskandar Dinata dan Jusuf Jahja.
Sejarah membuktikan tentara-tentara terlatih PETA berhasil menjadi senjata pergerakan yang sangat diandalkan, baik dalam masa sebelum kemerdekaan, maupun pada masa revolusi. Alumnus-alumnus PETA pula yang menjadi tonggak berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Selain terlibat dalam pembentukan PETA, Gatot juga terlibat dalam pendirian Barisan Pelopor dan Hizbullah. Ia menolak tuduhan sebagai kolabolator atas semua aksinya itu.
“Nyatanya, aksi pemberontakan yang dipimpin Alm. Soepriadi, Dr. Ismangil, Moeradi Soeparjono, Halim, Soenanto, Soedarmo dan lain-lain terjadi setelah tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) terbentuk. Begitu pula riwayat perjuangan perwira-perwira PETA di Purwakarta, Rengasdengklok, Sagalaherang, Pagaden, dan Pangkalan. Semua itu terjadi setelah ada PETA, bukan satu kejadian menurut rencana dari sebelum terbentuknya PETA,” tulis Gatot dalam catatan hariannya.
Setelah Indonesia merdeka, Gatot yang menjadi pimpinan BKR ditahan oleh sekutu di Pulau Onrust atas tuduhan kejahatan perang dan kolaborator perang. Ia dijatuhi hukuman 15 tahun. Ia baru dibebaskan setelah diadakannya perjanjian Linggarjati. Konon Soekarno lah yang mengupayakan pembebasannya.
Setelah bebas pada 1947, Gatot kembali melibatkan diri dalam PNI. Setahun kemudian ia menjabat Sekretaris Jenderal PNI menggantikan Sabillal Rasjad yang ditarik ke BP KNIP. Ia meninggalkan PNI pada sekitar Pemilihan Umum tahun 1955 karena kecewa pada keputusan partai bahwa anggota PNI tidak boleh turut serta dalam organisasi kedaerahan.
Ia lalu bergabung dengan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang didirikan Kolonel AH Nasution, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Aziz Saleh.
Pada 1962 ia menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), sampai pada masa pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965, Pada 1966 Gatot diberhentikan dari MPRS oleh Soeharto karena dianggap berafiliasi dengan komunisme dan Soekarno.
Tiga tahun kemudian, pada 4 Oktober 1968 Raden Gatot Mangkoepradja meninggal dunia di Bandung, dan dimakamkan di taman pemakaman umum. Pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 5 November 2004. [Didit Sidarta]