Di tengah pemangkasan anggaran berbagai kementerian, anggaran untuk keperluan militer justru meningkat. Ini menguntungkan industri militer global.
Koran Sulindo – Sejak awal diangkat sebagai Menteri Keuangan Kabinet Kerja, Sri Mulyani Indrawati melakukan langkah ekstrem. Memangkas anggaran kementerian dan lembaga pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] 2016. Sri Mulyani beralasan pemangkasan anggaran itu untuk menyeimbangkan antara penerimaan negara dan belanja negara.
Langkah lugas bekas pejabat Bank Dunia ini lalu menuai pujian. Terlebih kebijakannya itu disebut mampu menyelamatkan defisit anggaran lantaran target penerimaan negara gagal dicapai. Sri Mulyani memprediksi penerimaan negara hanya Rp 1.500 triliun dari target yang ditetapkan Rp 1.786,2 triliun pada 2016. Meleset sekitar Rp 219 triliun.
Karena itu, kata Sri Mulyani, strategi pemotongan anggaran menjadi solusi untuk menekan defisit. Apalagi defisit juga berdampak pada membengkaknya nilai utang. Selain karena kondisi ekonomi yang berat pada tahun ini, Sri juga berdalih pemotongan anggaran dilakukan karena krisis keuangan global yang mempengaruhi ekspor-impor Indonesia. Pemangkasan anggaran meliputi jatah kementerian dan lembaga Rp 65 triliun dan alokasi transfer daerah Rp 68,8 triliun. Total: Rp 133,8 triliun.
“Saya bukan tukang jagal, saya orang baik-baik saja. Persoalan dalam pengelolaan keuangan sama seperti ekonomi rumah tangga, yakni menyeimbangkan kebutuhan rumah tangga belanja dan berapa banyak penerimaan,” kata Sri Mulyani seperti dikutip kompas.com, akhir September lalu.
Tetapi, di sisi lain, anggaran Kementerian Pertahanan dan Kepolisian RI [Polri] justru mendapatkan tambahan anggaran pada APBN Perubahan 2016. Kementerian Pertahanan, misalnya, bertambah menjadi Rp 108,7 triliun dari sebelumnya Rp 99,5 triliun pada APBN 2016. Untuk anggaran Polri meningkat menjadi Rp 79,3 triliun dari sebelumnya Rp 73,0 triliun pada APBN 2016. Untuk ini, Sri Mulyani nampaknya belum memberi penjelasan secara lengkap kecuali menyebutkan untuk pembaruan alat utama sistem persenjataan [alutsista].
Mencermati kebijakan tersebut, The Institute For National and Democratic Studies [Indies] dalam penelitian awalnya setidaknya menarik tiga kesimpulan, yaitu program pengetatan anggaran, perpajakan, dan fasisme. Mengapa fasisme? Berdasarkan penelitian itu, menurut Direktur Eksekutif Indies, Kurniawan Sabar, program pengetatan anggaran, program perpajakan bertali-temali dengan fasisme. Maka, keterkaitan ini yang akan dijelaskan sehingga membentuk kesimpulan bahwa ujungnya merupakan fasisme.
Lalu, kata Kurniawan, topik ini menjadi penting karena kecenderungan kenaikan anggaran militer tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi secara global. Termasuk belanja senjata. Ini juga berkaitan dengan ketegangan global baik konflik bersenjata, perang agresi maupun ketegangan kawasan. Krisis keuangan global menjadi alasan untuk mengetatkan anggaran termasuk menerbitkan kebijakan pajak berupa pengampunan pajak dengan tujuan menarik lebih banyak dana dari sektor itu. Kurniawan menuturkan, kebijakan pengetatan anggaran atau biasa juga disebut sebagai Austerity Program telah banyak dilakukan banyak negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Kebijakan ini menjadi umum terutama setelah krisis keuangan 2008 hingga saat ini. Stagnasi ekonomi memaksa berbagai negara menjalankan program pengetatan anggaran.
“Wujud turunan program tersebut, misalnya, pemangkasan anggaran dan pencabutan subsidi sektor publik seperti anggaran sektor pendidikan, kesehatan, maupun jaminan sosial,” tulis Kurniawan.
Kurniawan menambahkan, AS dan Eropa telah melakukan sejumlah langkah dengan mengurangi anggaran belanja kesehatan publik. Langkah efisiensi juga dilakukan seperti menunda usia pensiun, dan pemotongan uang jaminan pensiun pekerja. Itu pula yang dilakukan Prancis dan Yunani dengan mengubah sistem ketenagakerjaan yang lebih lentur untuk menekan nilai upah buruh.
Ketika Sri Mulyani menuai pujian dengan menerapkan kebijakan tersebut, justru di banyak negara Eropa dan AS, kebijakan serupa memicu “kemarahan” rakyat. Pasalnya, beban yang ditanggung rakyatnya semakin berlipat, sementara pemerintah lebih mengutamakan untuk menyelamatkan lembaga keuangan seperti bank melalui berbagai program antara lain bailout, buyback dan lain sebagainya. “Tentu, kebijakan pengetatan anggaran ini adalah pukulan telak bagi rakyat,” tulis Kurniawan lagi.
Mengutip penelitian David Stucker (pengamat ekonomi politik Universitas Oxford) dan Sanjay Basu (dari Universitas Stanford) pada 2013, Kurniawan menyebutkan selama periode krisis dan adanya kebijakan pengetatan anggaran telah menyebabkan lebih dari lima juta rakyat AS kehilangan akses terhadap fasilitas kesehatan, 10 ribu warga Inggris menjadi gelandangan. Pada saat yang sama, penyakit semacam HIV naik drastis, terutama di kalangan rakyat miskin.
Poinnya, pengetatan anggaran tidak menghentikan kecenderungan kenaikan anggaran militer baik di Indonesia maupun secara global. Kata Kurniawan, yang perlu diketahui, kenaikan anggaran dan belanja militer serta pertahanan merupakan salah satu karakter fasis. Stockholm International Peace Research Institute [SIPRI] mencatat, anggaran militer secara global mencapai US$ 1,7 triliun atau setara dengan sekitar Rp 22.500 triliun pada 2015. Dari jumlah itu, kenaikan terbesar dialami negara-negara di Eropa Timur, Asia dan Timur Tengah.
Amerika Serikat merupakan negara dengan anggaran militer terbesar di dunia pada 2015 yang mencapai US$ 596 miliar. Lalu diikuti Tiongkok sebesar US$ 215 miliar. Jumlah ini menjadikan Tiongkok sebagai negara dengan anggaran militer terbesar di Asia-Pasifik. Sedangkan Indonesia, periode 2006 hingga 2016 mengalami kenaikan belanja militer dan keamanan sebesar 150 persen. Karena itu, Indonesia termasuk 20 besar negara di dunia dalam kenaikan angagran militer. “Tahun 2015, Indonesia juga masuk dalam delapan besar importir persenjataan militer dunia,” tulis Kurniawan.
Alasan pokok kecenderungan naiknya anggaran militer dan persenjataan adalah meningkatnya ketegangan dunia. Ketegangan itu berkaitan dengan pasar, jalur perdagangan, perebutan klaim wilayah kaya sumber daya alam hingga penjajahan untuk merampok sebuah negeri. Apapun itu, kata Kurniawan, perebutan sumber-sumber bahan mentah, pasar dan proyek pembangunan akan meningkatkan perang agresi. Proyek perang ini antara lain akan diikuti proyek pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya.
Dengan demikian, yang diuntungkan dari semua itu tentu perusahaan-perusahaan yang memproduksi senjata seperti Lockheed Martin, Boeing, BAE, Raytheon, Northrop Grumman dan lain sebagainya. Maka tidak heran AS, misalnya, mengalami kenaikan sekitar 27 persen ekspor senjata pada periode 2011 hingga 2015. Pelanggan utamanya adalah Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.
Sementara ekspor senjata AS ke Timur Tengah mencapai 41 persen, sedangkan untuk Asia dan Ocenia mencapai 40 persen. Meski sempat mengalami penurunan pendapat selepas penarikan militer AS dari Irak dan Afghanistan, perang Suriah, provokasi di wilayah Asia-Pasifik membuat militer AS kembali meraup keuntungan. Selain AS, Rusia dan Tiongkok masing-masing menguasai pangsa pasar perdagangan senjata sekitar 25 persen dan 5,9 persen.
Kendati tidak sedang berkonflik dengan negara manapun, di Indonesia kenaikan belanja militer dan persenjataan umumnya karena isu ketegangan kawasan dan pembaruan alutsista yang telah tua. Namun, konflik yang kerap terjadi dan terbesar terkait dengan agraria. Ini merupakan konsekuensi dari eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam.
Di banyak kasus, kata Kurniawan, pemodal kerap menggunakan aparat militer dan kepolisian untuk menjaga kepentingan mereka, baik dalam kasus perkebunan, pertambangan, kehutanan maupun penggusuran yang mengatasnamakan pembangunan. Isu separatisme dan terorisme juga menjadi alasan yang kuat bagi negara untuk menggelar operasi militer seperti yang terjadi di Papua dan pengejaran kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Di sisi lain, isu reformasi di tubuh militer dipandang masih mengalami kegagalan.
Berdasarkan laman resmi Kementerian Keuangan, peningkatan anggaran pertahanan dan keamanan merupakan prioritas. Kendati pada saat yang sama, pemerintah memangkas anggaran yang terkait dengan publik seperti pendidikan, kesehatan dan subsidi terutama untuk energi. Dirjen Anggaran Askolani mengatakan, cara pemikiran demikian perlu diluruskan. Pemerintah sebetulnya juga memprioritaskan anggaran pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.
“Jadi tidak benar pemerintah hanya mengutamakan pertahanan dan keamanan,” kata Askolani saat dihubungi wartawan Koran Suluh Indonesia.
Jadi, sulit mengabaikan pandangan bahwa kenaikan anggaran militer dan kepolisian pada tahun ini justru berbanding lurus dengan tingkat represifitas dalam berbagai bentuk mulai dari penggusuran di perkotaan, perampasan tanah untuk infrastruktur hingga konlik lahan di daerah pedalaman atau pedesaaan. (Kristian Ginting)