WILMA menerobos jalan berlumpur di sebuah perkampungan di Tirtayasa Pontang, Kabupaten Serang, Sepatunya berlumur lumpur. Ia mengetuk pintu sebuah rumah yang berjarak kurang dari limaratus meter dari Pendopo Gubernur Banten, di gubuk itu seorang pengidap kanker payudara tinggal. Namun ia harus kecewa karena yang ingin ditemui ternyata telah meninggal dunia tiga hari sebelumnya, sakit tanpa pertolongan medis.
Wilma Van Der Maten adalah jurnalis dari Belanda. Ia ke Banten untuk melihat dari dekat, ingin mendengar, melihat, dan merasakan, adakah perbedaan mental dan perilaku penguasa di Banten dengan masa Max Havelaar. Banten melalui media di negeri Belanda menjadi sorotan atas perilaku hidup hedonis dan bermewah-mewahan yang dilakukan para penguasanya.
Untuk melengkapi laporannya, pada Maret 2014 Wilma mengunjungi Ciseel Badur, Kabupaten Lebak, tempat Eduard Douwes Dekker menjejakkan kakinya dan melihat realita saat itu. Wilma berkesimpulan penguasa Banten saat ini berperilaku dan bermental sama dengan kolonialis 150 tahun lalu.
Douwes Dekker yang bernama pena Multatuli pernah tinggal di Rangkas Bitung selama tiga bulan pada 1860 dan menuliskan pengalamannya dalam roman Max Havelaar. Pemda Lebak, Banten, sedang membangun Museum Multatuli di wilayah yang hingga kini masih tidak berbeda jauh dengan keadaan zaman Saijah dan Adinda itu.
“Bayangkan hanya 100 orang menguasai separuh lebih aset nasional. Ketidakadilan ini mirip seperti yang digambarkan Multatuli dalam Max Havelaar,” kata Daniel Dhakidae, Direktur Jurnal Prisma, dalam simposium “Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli Sampai Sukarno”, pekan lalu.
Novel itu kini adalah bacaan wajib sekolah-sekolah di Belanda. Pertama kali terbit pada 1860 dalam bahasa Belanda dengan judul ‘Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij’ (Max Havelaar, Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Buku itu diterbitkan lagi di Indonesia pada 2013 lalu.