Ilustrasi Gus Dur menggunakan pakaian khas etnis Tionghoa. (Foto: Instagram/hengkykurniawan_yang)

Dahulu, selama lebih dari tiga dekade, etnis Tionghoa di Indonesia mengalami diskriminasi budaya yang menghalangi mereka untuk mengekspresikan identitas dan tradisi mereka secara terbuka.

Salah satu bentuk pembatasan yang paling mencolok adalah larangan terhadap perayaan Imlek, penggunaan bahasa Mandarin, serta berbagai ekspresi budaya lainnya seperti lagu-lagu dan pertunjukan barongsai.

Kebijakan ini diberlakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang secara efektif menekan budaya Tionghoa di ruang publik. Namun, keadaan mulai berubah ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur naik menjadi Presiden Republik Indonesia.

Sebagai seorang pemimpin yang dikenal dengan komitmennya terhadap pluralisme dan toleransi, Gus Dur melihat bahwa kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa bertentangan dengan nilai-nilai keberagaman yang seharusnya dijunjung tinggi di Indonesia.

Salah satu langkah signifikan yang diambilnya adalah mencabut Inpres 14/1967 melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000. Keputusan ini menghapus larangan terhadap perayaan Imlek dan berbagai ekspresi budaya Tionghoa lainnya, sehingga masyarakat Tionghoa kembali memiliki kebebasan untuk menjalankan tradisi mereka secara terbuka tanpa rasa takut.

Gus Dur tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2001, ia menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi mereka yang merayakannya. Meskipun saat itu masih bersifat opsional, kebijakan ini menjadi langkah awal dalam mengakui Imlek sebagai bagian dari budaya nasional.

Langkah ini kemudian diperkuat oleh penerusnya, Megawati Soekarnoputri, yang pada tahun 2003 resmi menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Keputusan ini menunjukkan bahwa inisiatif yang dimulai oleh Gus Dur telah memberikan dampak jangka panjang dalam pengakuan terhadap keberagaman budaya di Indonesia.

Selain mengembalikan hak untuk merayakan Imlek, Gus Dur juga menegaskan bahwa warga Tionghoa bebas menggunakan nama asli mereka, sesuatu yang sebelumnya dilarang oleh rezim Orde Baru.

Ini merupakan langkah penting dalam mengembalikan identitas budaya yang selama ini ditekan. Lebih dari itu, ia juga mendorong partisipasi politik etnis Tionghoa, memberikan mereka ruang yang lebih luas dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia.

Dampak dari kebijakan Gus Dur sangat signifikan. Masyarakat Tionghoa kini dapat menjalankan tradisi mereka tanpa rasa takut, hubungan sosial antara etnis Tionghoa dan kelompok lainnya menjadi lebih harmonis, dan pengakuan terhadap keberagaman semakin kuat dalam kebijakan nasional.

Kini, perayaan Imlek berlangsung meriah di seluruh Indonesia tanpa ada larangan dari pihak manapun. Etnis Tionghoa bebas mengekspresikan budaya mereka melalui berbagai kegiatan, seperti pertunjukan barongsai, festival lampion, dan berbagai perayaan lainnya yang semakin terbuka untuk umum.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diperjuangkan oleh Gus Dur telah membawa perubahan nyata dan memberikan ruang bagi keberagaman untuk berkembang di Indonesia.

Upaya Gus Dur tidak hanya memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa, tetapi juga memperkuat fondasi pluralisme di Indonesia. Warisan ini menjadi pengingat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya, dan semua etnis memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan identitas mereka secara bebas. [UN]