Patung Konfusius di Shanghai China (Britannica)

Peradaban manusia telah melalui sejarah yang panjang, munculnya tokoh-tokoh besar kerap menjadi titik balik yang membentuk pola pikir masyarakat. Mereka adalah para pemikir, pembaru, dan pelopor yang gagasannya terus menggema lintas zaman.

Salah satu tokoh yang memiliki pengaruh mendalam pada nilai-nilai moral dan budaya adalah Konfusius. Di tengah pergolakan politik dan sosial Tiongkok kuno, Konfusius menawarkan pandangan filosofis yang tidak hanya relevan bagi zamannya, tetapi juga tetap hidup hingga kini, menjadikan dirinya sosok filsuf yang dikenang sepanjang masa.

Melalui artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam tentang siapa Konfusius, pemikiran-pemikiran moralnya, hingga bagaimana warisannya menjadi fondasi etika dalam budaya Tiongkok dan dunia.

Banyak sekali tokoh filsafat di dunia, salah satunya adalah Konfusius (Kongzi), seorang filsuf Tiongkok yang hidup pada abad ke-6 SM. Pemikirannya, yang dituangkan dalam filosofi Konfusianisme, telah memengaruhi kebudayaan Tiongkok hingga hari ini.

Sosok Konfusius sering dianggap lebih besar dari kehidupan itu sendiri, sehingga sulit untuk memisahkan kenyataan dari mitos yang melingkupinya. Sebagai “guru pertama”, ajarannya disampaikan melalui frase-frase pendek yang terbuka untuk berbagai interpretasi.

Inti Pemikiran Konfusius

Ide-ide filosofis Konfusius berpusat pada pentingnya menjalani hidup yang baik, berbakti kepada orang tua, dan menghormati leluhur. Ia juga menekankan pentingnya penguasa yang murah hati dan hemat, keseimbangan moral dalam diri, serta harmoni dalam dunia fisik. Dalam pandangannya, penguasa dan guru harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat luas, menanamkan nilai moral yang tinggi.

Melansir laman World History Encyclopedia, Konfusius diyakini hidup antara tahun 551 SM hingga 479 SM di negara bagian Lu, yang sekarang menjadi Provinsi Shandong. Namun, catatan tertulis tentang dirinya baru muncul sekitar empat abad setelah kematiannya, seperti yang tercatat dalam Catatan Sejarah karya Sima Qian. Konfusius dibesarkan di kota Qufu dan pernah bekerja untuk Pangeran Lu sebagai Direktur Pekerjaan Umum pada tahun 503 SM, lalu menjadi Direktur Departemen Pengadilan pada 501 SM.

Setelah meninggalkan posisinya, Konfusius berkelana ke berbagai wilayah di Tiongkok. Dalam salah satu perjalanannya, ia sempat dipenjara karena kesalahan identitas. Konfusius menghadapi situasi itu dengan tenang dan memainkan alat musik petiknya hingga kesalahan tersebut terungkap. Sekembalinya ke Qufu, ia mendirikan sekolah yang terbuka bagi semua kalangan, baik kaya maupun miskin. Konfusius tidak menganggap dirinya sebagai pencipta, melainkan sebagai penerus tradisi moral kuno.

Karya-Karya Konfusius

Konfusius mulai menulis ketika mengajar di sekolahnya. Dua koleksi puisinya yang terkenal adalah Kitab Nyanyian (Shijing) dan Kitab Hikayat (Shujing). Karya lainnya meliputi Zaman Musim Semi dan Musim Gugur (Lin Jing), yang mencatat sejarah negara Lu, dan Kitab Perubahan (Yi Jing), sebuah risalah tentang ramalan. Namun, karya-karya ini tidak secara langsung menguraikan filosofi Konfusius. Filosofinya lebih dikenal melalui catatan murid-muridnya, seperti yang terkandung dalam Analek.

Konfusianisme menekankan bahwa keseimbangan moral individu berkaitan erat dengan keseimbangan kosmis. Menurutnya, tindakan manusia memengaruhi lingkungan, bahkan keputusan politik yang buruk bisa memicu bencana alam. Filosofi ini percaya bahwa hanya ada satu jalan hidup yang benar dan satu sistem politik yang ideal.

Guru dan penguasa memiliki peran penting dalam Konfusianisme. Mereka harus menjadi teladan dalam hidup hemat, murah hati, dan bermoral tinggi. Pendidikan dalam budaya Tiongkok pun dipengaruhi oleh Konfusianisme, yang lebih mengutamakan penanaman nilai moral daripada keterampilan intelektual.

Perkembangan Konfusianisme

Pemikiran Konfusius dikembangkan lebih lanjut oleh dua filsuf besar, Mengzi (Mencius) dan Xunkuang (Xunzi). Mengzi meyakini bahwa sifat manusia pada dasarnya baik, sedangkan Xunkuang lebih menekankan pentingnya pendidikan dan ritual untuk menjaga moralitas. Konfusianisme mengajarkan lima kebajikan utama: kebajikan (jen), kebenaran (i), ketaatan pada upacara (li), kearifan moral (te), dan keyakinan. Kelima kebajikan ini berkaitan dengan lima elemen kosmis: tanah, kayu, api, logam, dan air.

Setelah wafat pada tahun 479 SM, Konfusius dimakamkan di Qufu. Namanya terus dihormati, terutama pada masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pengetahuan tentang teks-teks Konfusianisme menjadi syarat penting dalam ujian pegawai negeri pada masa itu. Bahkan, ajaran-ajaran Konfusius sering diabadikan dalam prasasti dan patung, menjadikannya simbol “raja tanpa takhta” yang dihormati.

Konfusius sering digambarkan sebagai orang tua bijak dengan rambut abu-abu panjang, melambangkan kebijaksanaan dan wibawa. Hingga hari ini, Konfusianisme tetap relevan sebagai panduan moral dan etika yang mendalam, membuktikan bahwa ajaran Konfusius melampaui zaman dan tetap menjadi warisan yang abadi bagi peradaban manusia. [UN]