Komnas HAM RI. (Foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)
Komnas HAM RI. (Foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)

Jakarta, 16 Januari 2025 – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meluncurkan Policy Brief: Penerapan Prinsip dan Norma HAM dalam Perlindungan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Peluncuran ini dilakukan dalam sebuah diskusi di Kantor Komnas HAM, Jakarta, untuk menyoroti pentingnya penghormatan terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu UU Nomor 1 Tahun 2024.

Ketua Komnas HAM, Dr. Atnike Nova Sigiro, dalam sambutannya menekankan bahwa implementasi revisi UU ITE harus mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia. “Pemerintah dan masyarakat perlu memastikan pelaksanaan revisi UU ITE dapat meminimalisir pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi,” ujarnya.

Acara ini menghadirkan narasumber utama seperti Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Digital Dra. Molly Prabawaty, serta Direktur Eksekutif SafeNet Nenden Sekar Arum. Diskusi dimoderatori oleh Willy Pramudya dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Rekomendasi untuk Implementasi UU ITE

Dalam pemaparannya, Komisioner Uli Parulian Sihombing menguraikan sejumlah rekomendasi penting dari policy brief, antara lain:

1. Revisi Pedoman Implementasi UU ITE: Memperjelas aturan mengenai pencemaran nama baik, ujaran kebencian, moderasi konten, kekerasan gender berbasis online (KGBO), dan pemutusan akses untuk mencegah interpretasi yang sewenang-wenang.
2. Pengaturan Anti-SLAPP: Mengusulkan pengaturan yang melindungi partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik guna mencegah kriminalisasi kebebasan berekspresi.
3. Pembentukan Undang-Undang Anti-SLAPP: Mendorong adanya undang-undang khusus atau ketentuan Anti-SLAPP dalam revisi UU HAM.
4. Integrasi Pedoman UU ITE ke dalam KUHP: Menghubungkan pedoman implementasi UU ITE dengan pengaturan di KUHP yang baru.
5. Kebijakan Amnesti: Mengusulkan proses objektif dalam pemberian amnesti bagi narapidana kasus penghinaan terhadap presiden.

Sikap Pemerintah

Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM, menyampaikan bahwa pemerintah tengah merancang kebijakan amnesti untuk narapidana kasus pelanggaran UU ITE, khususnya yang terkait penghinaan terhadap presiden.

Sementara itu, Dra. Molly Prabawaty dari Kementerian Komunikasi dan Digital menyebutkan bahwa pedoman implementasi UU ITE yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 2021 masih berlaku. Namun, jika ada substansi yang bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2024, maka aturan dalam UU terbaru yang akan dijadikan rujukan.

Harapan untuk Perlindungan Hak Asasi

Diskusi ini diharapkan dapat menjadi masukan strategis bagi pemerintah untuk memperkuat prinsip-prinsip HAM dalam penerapan UU ITE revisi kedua. Langkah ini dinilai penting untuk menjamin penghormatan dan perlindungan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai bagian dari masyarakat demokratis.

Komnas HAM menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak dasar yang harus dihormati dan dilindungi dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan hukum di era digital. [IQT]