Nama Achdiat Karta Mihardja, selalu melekat dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia sebagai sosok yang memberikan kontribusi besar melalui karya-karya monumental dan pemikirannya yang tajam.
Sebagai pengarang, dosen, dan intelektual, ia tidak hanya menciptakan karya-karya sastra yang mendalam, tetapi juga terlibat aktif dalam dinamika kebudayaan dan politik Indonesia.
Melalui novel Atheis dan karya-karya lainnya, Achdiat berhasil mengukir jejak yang tak terlupakan dalam dunia sastra nasional. Artikel ini akan mengulas lebih jauh mengenai perjalanan hidup, karya, serta pemikiran Achdiat Karta Mihardja yang terus memberi inspirasi bagi generasi sastrawan berikutnya.
Latar Belakang Kehidupan
Achdiat Karta Mihardja adalah salah satu tokoh penting dalam dunia sastra Indonesia. Dikenal luas melalui novelnya yang fenomenal, Atheis, Achdiat berhasil mengukir namanya sebagai salah satu pengarang terkemuka di Indonesia.
Nama lengkapnya sering disingkat menjadi Achdiat K. Mihardja, dan perjalanan hidupnya yang penuh dedikasi terhadap dunia sastra memberikan inspirasi bagi banyak generasi.
Achdiat Karta Mihardja lahir pada 6 Maret 1911 di Cibatu, Garut, Jawa Barat, dan meninggal dunia pada 8 Juli 2010 di Canberra, Australia. Melansir berbagai sumber, pendidikan formalnya dimulai di HIS Bandung yang ia tamatkan pada tahun 1925.
Ia kemudian melanjutkan ke AMS bagian Sastra dan Kebudayaan Timur di Solo, lulus pada tahun 1932. Pemahaman Achdiat terhadap agama dan filsafat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk tarekat Kadariyyah-Naksyahbandi di bawah bimbingan K.H. Abdullah Mubarok, serta belajar filsafat dari Prof. Beerling dan Pastur Dr. Jacobs S.J.
Karier dan Karya
Achdiat memulai kariernya sebagai pengajar di Perguruan Nasional Taman Siswa sebelum masuk ke dunia jurnalistik. Pada tahun 1934, ia menjadi anggota redaksi Bintang Timoer dan Panindjauan.
Kemudian, ia bergabung dengan Balai Pustaka pada tahun 1941 sebagai redaktur. Selama pendudukan Jepang, Achdiat bekerja sebagai penerjemah di bagian siaran radio Jakarta.
Pasca-kemerdekaan, Achdiat menjabat sebagai pemimpin mingguan Gelombang Zaman dan Kemadjoean Rakjat di Garut. Ia juga aktif dalam berbagai organisasi kebudayaan, termasuk menjadi Wakil Ketua Organisasi Pengarang Indonesia (OPI) dan anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
Pada 1950, ia bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan mengajak beberapa sastrawan yang tidak memiliki kedekatan dengan Belanda, seperti A.S. Darta dan M.S. Azhar, untuk membentuk organisasi ini. Namun, setelah Lekra mendeklarasikan diri sebagai onderbouw PKI pada 17 Agustus 1950, Achdiat keluar sebagai bentuk penolakan terhadap hal tersebut.
Karier akademis Achdiat juga luar biasa. Pada 1956 hingga 1961, ia menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Sejak 1961, ia mengajar di National University, Canberra, Australia, hingga menghabiskan banyak waktu di luar negeri.
Achdiat juga pernah menjadi Wakil Indonesia dalam Kongres PEN Club Internasional di Swiss dan menjabat sebagai Ketua PEN Club Indonesia. Pada periode ini, Achdiat turut mengukuhkan eksistensinya sebagai intelektual yang berperan dalam perkembangan sastra global.
Novel Atheis (1949) adalah karya yang mengukuhkan nama Achdiat di dunia sastra. Novel ini mengisahkan pergulatan ideologi antara Islam, komunisme, dan skeptisisme melalui tokoh utama, Hasan.
Atheis dianggap sebagai salah satu novel paling penting dalam sejarah sastra Indonesia, bahkan dianalisis oleh pakar seperti A. Teeuw, Ajip Rosidi, dan Jakob Sumardjo.
Pada tahun 1969, Atheis memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah RI, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R.J. Maguire pada tahun 1972. Novel ini juga diadaptasi ke layar lebar oleh Syuman Djaja pada tahun 1974.
Karya Lainnya
Selain Atheis, Achdiat menghasilkan banyak karya sastra lain, termasuk kumpulan cerpen Keretakan dan Ketegangan (1956) yang memenangkan Hadiah Sastra Nasional BMKN tahun 1957.
Karya-karya cerpennya seperti Kesan dan Kenangan, Belitan Nasib, dan Pembunuh dan Anjing Hitam juga mendapat apresiasi luas. Di bidang drama, Achdiat menulis Bentrokan dalam Asrama (1952) dan sejumlah esai yang membahas budaya dan sastra.
Karya-karya ini menunjukkan kedalaman pemikiran dan pengamatan Achdiat terhadap kondisi sosial dan budaya Indonesia, serta hubungannya dengan nilai-nilai universalis.
Achdiat dikenal sebagai sastrawan yang tidak hanya menulis, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam wacana kebudayaan dan politik. Ia menegaskan pentingnya sebuah penyatuan antara nilai-nilai Barat dan Timur dalam kehidupan budaya Indonesia.
Gagasan ini ia tuangkan dalam karya-karyanya, seperti dalam esai Polemik Kebudayaan, yang mengkritisi pengaruh feodalisme Timur dan kapitalisme Barat dalam masyarakat Indonesia.
Achdiat menekankan bahwa perlu ada penyatuan antara Faust (Barat) dan Arjuna (Timur), dengan menggabungkan demokrasi Barat dan aspek rohani ketuhanan dari Timur sebagai landasan kebudayaan Indonesia modern yang demokratis dan berketuhanan.
Ia juga aktif menanggapi isu-isu sosial dan kebudayaan, termasuk dalam peristiwa “Heboh Sastra 1968” yang muncul terkait protes terhadap cerpen Langit Makin Mendung oleh Kipandjikusmin.
Achdiat menilai bahwa protes ini menunjukkan belum berkembangnya demokrasi dengan baik di Indonesia, dan pentingnya kebebasan berekspresi untuk menjamin terciptanya sebuah budaya yang lebih terbuka dan toleran.
Akhir Hayat
Hingga usia lanjut, Achdiat tetap produktif. Pada tahun 2005, ia menerbitkan Manifesto Khalifatullah, sebuah karya yang memperlihatkan perenungannya tentang hubungan manusia dengan Tuhan, serta menggugat sekularisme dalam konteks Islam. Buku ini menjadi refleksi dari perjalanan spiritualnya yang mendalam.
Achdiat Karta Mihardja telah meninggalkan warisan yang kaya untuk sastra Indonesia. Dengan dedikasinya terhadap seni dan budaya, ia tidak hanya menciptakan karya yang abadi, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan dalam membangun identitas sastra Indonesia.
Karya dan pemikirannya akan terus dikenang sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia, dan namanya akan selalu dikenang sebagai salah satu tokoh besar dalam dunia sastra nasional. [UN]