Area Pesawahan (foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)
Area Pesawahan (foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)

Kita hidup di era modern yang penuh inovasi, sering kali kita terpesona oleh janji teknologi dan proyek berskala besar untuk menjawab tantangan global, termasuk ketahanan pangan. Namun, apakah solusi modern selalu lebih unggul? Ketika program food estate pemerintah terhenti di tengah jalan, suku-suku adat seperti Baduy, Boti dan lainnya terus hidup mandiri dengan mengandalkan kearifan lokal mereka. Tanpa alat modern, tanpa subsidi besar, mereka membuktikan bahwa swasembada pangan bukanlah sekadar harapan belaka.

Di balik megaproyek Food Estate yang dicanangkan pemerintah dan digadang-gadang bisa meningkatkan ketahanan pangan nasional. Ada komunitas adat kecil seperti Suku Baduy, Boti, dan lainnya, yang berhasil mencapai swasembada pangan dengan bijak memanfaatkan sumber daya lokal. Apa yang bisa dipelajari dari cara hidup suku-suku ini? Mengapa pendekatan tradisional justru lebih sukses dibanding proyek modern bernilai miliaran rupiah?

Konsep Food Estate yang Ambisius

Proyek Food Estate diluncurkan sebagai solusi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Salah satu wilayah yang menjadi fokus adalah Kalimantan Tengah. Dengan ribuan hektar lahan yang dialokasikan untuk proyek ini, pemerintah berharap dapat menciptakan sentra pangan baru yang tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga berpotensi menjadi eksportir pangan. Namun, harapan itu justru terbentur kenyataan pahit di lapangan.

Mengutip laman BBC Indonesia, setelah tiga tahun pelaksanaan, ribuan hektar lahan di Kalimantan Tengah terbengkalai. Laporan dari Pantau Gambut mengungkapkan bahwa dari 30 titik pemantauan di 19 desa, sekitar 4.159,62 hektare lahan kini hanya ditumbuhi semak belukar, dan sebagian lainnya telah berubah fungsi menjadi kebun sawit milik swasta. Hilangnya tutupan pohon seluas hampir 3.000 hektar akibat perluasan kawasan ini juga mengancam ekosistem lokal.

Selain itu, banyak petani yang mengeluhkan kegagalan panen yang berulang. Mereka akhirnya memilih untuk tidak lagi menanam padi dan beralih ke tanaman lain yang lebih menguntungkan seperti sawit. Dalam skala besar, situasi ini menunjukkan tantangan besar dalam mewujudkan ketahanan pangan melalui pendekatan Food Estate.

Kebijaksanaan Lokal dalam Swasembada Pangan

Sementara itu, di pelosok Nusantara, komunitas adat kecil telah berhasil mempertahankan kemandirian pangan selama berabad-abad. Suku Baduy, yang hidup di pedalaman Banten, tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan pangan mereka sendiri tetapi juga menjaga kelestarian alam. Sistem pertanian mereka berbasis ladang berpindah, dengan rotasi tanam yang memperhatikan kesuburan tanah.

Hal serupa juga terjadi di Suku Boti, Nusa Tenggara Timur. Mereka mempraktikkan pertanian berbasis kearifan lokal dengan hanya mengelola lahan secukupnya untuk kebutuhan komunitas. Tidak hanya itu, mereka juga mengandalkan tradisi gotong royong yang memperkuat solidaritas sosial sekaligus mendukung produksi pangan.

Suku Cireundeu di Jawa Barat menawarkan pendekatan unik. Mereka mengganti nasi sebagai makanan pokok dengan rasi, yaitu beras singkong. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada padi tetapi juga memaksimalkan potensi lokal. Sementara itu, di Papua, Suku Kanum dan Marind juga mempertahankan swasembada pangan dengan mengelola lahan secara tradisional dan memanfaatkan sumber daya alam sekitar.

Membandingkan Dua Pendekatan

Proyek Food Estate memiliki skala besar dengan modal teknologi dan infrastruktur yang lebih modern. Namun, pendekatan ini cenderung mengabaikan karakteristik ekologis dan sosial budaya setempat. Sebaliknya, masyarakat adat seperti Suku Baduy dan lainnya menunjukkan bahwa keberhasilan swasembada pangan tidak selalu memerlukan intervensi besar-besaran. Dengan mengutamakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam, mereka telah menciptakan sistem pangan yang berkelanjutan.

Fakta bahwa banyak lahan Food Estate di Kalimantan Tengah berakhir terbengkalai menunjukkan perlunya evaluasi ulang terhadap konsep ini. Mungkin, pelajaran penting bisa diambil dari masyarakat adat yang telah lama hidup selaras dengan alam. Dengan memadukan teknologi modern dan kearifan lokal, Indonesia dapat menemukan jalan tengah menuju ketahanan pangan yang sejati.

Dalam perjalanan menuju ketahanan pangan, kita tidak hanya memerlukan inovasi, tetapi juga kebijaksanaan. Proyek Food Estate yang mangkrak menunjukkan bahwa tanpa pemahaman mendalam tentang kondisi lokal, program ambisius pun bisa gagal. Sebaliknya, masyarakat adat membuktikan bahwa kearifan lokal mampu menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Pelajaran ini seharusnya menjadi refleksi penting bagi pemerintah dalam merancang kebijakan pangan di masa depan. [UN]

Baca juga:

Ide Besar Tentang Lumbung Pangan

Masyarakat Baduy dan Bercocok Tanam