Ilustrasi (Ai)

Catatan Cak AT:

Kita sambut tahun baru 2025 dengan kebijakan yang tidak kalah baru: stop impor pangan! Ini bagian dari target swasembada pangan yang memastikan kita tidak perlu impor. Sebuah langkah monumental dari pemerintah yang, mari kita jujur, sama monumental dengan tumpukan dokumen masalah yang menyertainya.

Dalam rapat terbatas kabinet Desember lalu, Presiden Prabowo dengan lantang menyatakan: “Kita akan swasembada pangan. Dengan swasembada, kita otomatis tak perlu impor pangan.” Sebuah target yang, menurut seorang profesor dari UGM, sepertinya lebih realistis jika dilakukan dengan mesin waktu ke tiga atau empat tahun mendatang.

Namun, tak ada salahnya bermimpi besar, bukan? Berhenti impor beras, jagung, gula, dan garam jelas bukan tugas mudah. Angka impornya saja membuat kita berpikir ulang: 3 juta ton beras, 1 juta ton jagung, 4 juta ton gula, dan 2 juta ton garam setiap tahunnya. Ironi, mengingat negeri ini punya sawah luas, garis pantai panjang, dan petani gigih.

Tapi realitasnya? Lahan kecil, irigasi macet, dan produktivitas stagnan. Coba bayangkan menjadi petani di Indonesia. Anda hanya punya 1.000 meter persegi lahan. Itu pun jika Anda beruntung. Layanan penyuluhan terbatas, irigasi sebagai jantung pertanian baru sebatas mimpi buruk, dan benih unggul hanya ada di seminar.

Data indeks pertanaman padi menunjukkan angka 1,5. Artinya, lahan Anda, betapa pun suburnya, rata-rata hanya bisa ditanami 1,5 kali setahun. Ini menunjukkan sawah kita yang rusak, kadar haranya habis. Tidak heran jika banyak petani memilih migrasi ke kota, bekerja sebagai buruh, atau bahkan jadi influencer TikTok.

Jika pemerintah serius ingin swasembada, mari mulai dari hal mendasar: infrastruktur irigasi. Kalau air saja sulit, bagaimana kita bisa berharap pada panen melimpah? Tambahkan inovasi teknologi seperti padi adaptif dari UGM, benahi tata kelola pertanian, dan jangan lupa: beri dukungan nyata kepada petani, bukan sekadar pidato motivasi.

Sementara itu, kita sebagai masyarakat juga tidak bisa sekadar menyalahkan pemerintah. Krisis pangan itu tanggung jawab bersama. Di sinilah lokavora menjadi relevan. Lokavora, istilah yang merujuk pada individu yang hanya mengonsumsi pangan lokal, mulai mencuat di awal 2000-an di Amerika Serikat.

Gagasan ini bahkan lahir dari komunitas ibu-ibu jetset di California yang tersadar bahwa gaya hidup mereka, yang mengandalkan bahan makanan impor mewah seperti daging wagyu dari Jepang atau salmon Norwegia, tidak hanya boros energi tetapi juga merusak lingkungan. Isu ini belakangan menggema menjadi perhatian mainstream.

Dengan menyadari dampak negatif itu terhadap pemanasan global, mereka beralih ke konsumsi pangan lokal dalam radius 120 kilometer dari tempat tinggal mereka. Gerakan ini bukan sekadar tren gaya hidup, melainkan sebuah pernyataan tentang penghargaan terhadap petani lokal dan keberlanjutan ekosistem pangan.

Namun, gerakan lokavora sebenarnya bukan sekadar tentang romantisasi bahan makanan lokal, tetapi juga menyangkut kemandirian ekonomi dan sosial. Dalam konteks Indonesia, ide lokavora menjadi semakin relevan. Dengan lahan subur yang melimpah, potensi produk lokal memiliki nilai yang sangat tinggi.

Kita bisa mendapatkan beras organik dari Jawa, garam tradisional dari Madura, atau buah tropis khas Sumatera. Sayangnya, masyarakat masih cenderung memuja produk impor yang sering kali dipersepsikan lebih berkualitas. Gerakan lokavora dapat menjadi solusi praktis untuk mengatasi ketergantungan pada impor pangan.

Penerapan konsep lokavora di Indonesia juga dapat menjadi alat untuk memperkuat hubungan antara produsen dan konsumen lokal. Dengan membeli langsung dari petani atau pasar tradisional, masyarakat tidak hanya mendukung roda perekonomian lokal tetapi juga mendapatkan pangan yang lebih segar dan sehat.

Dalam jangka panjang, ini bisa menjadi bentuk protes nyata terhadap sistem pangan global yang sering kali tidak adil bagi petani kecil. Lebih dari itu, keberhasilan gerakan lokavora juga membutuhkan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang melindungi produk lokal dan memberi insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi mereka.

Agar lebih efektif, gerakan lokavora perlu menjadi sebuah tren budaya, bukan sekadar kampanye sporadis. Tokoh masyarakat dan selebritas memiliki peran penting dalam membentuk opini publik bahwa mengonsumsi pangan lokal adalah tindakan yang modern, patriotik, dan berwawasan lingkungan.

Bayangkan jika ada gerakan nasional yang mengubah pola pikir masyarakat: “Makan produk impor itu kuno; makan produk lokal itu keren!” Dengan pendekatan ini, lokavora tidak hanya menjadi solusi atas tantangan pangan, tetapi juga simbol kebanggaan nasional. Stop impor yang selama ini menciptakan defisit neraca perdagangan.

Bayangkan, jika semua orang Indonesia mulai mengurangi konsumsi produk impor dan bangga dengan hasil bumi sendiri. Bukannya makan salmon Norwegia, kita nikmati ikan nila lokal. Daripada daging Kobe Jepang, pilihlah rendang daging sapi lokal. Selain mendukung petani, kita juga mendukung chef warung Padang!

Makan pangan lokal harus jadi tren yang keren. Jadikan ini gaya hidup yang dibanggakan. Apa salahnya memposting sayur bayam dari kebun sebelah atau foto selfie dengan nasi liwet lokal? Jika idola masyarakat seperti artis, pejabat, atau selebgram mulai mempromosikan gerakan ini, masyarakat pasti ikut-ikutan.

Mari kita ubah mindset kita. Makan produk impor itu tidak selalu prestise, apalagi jika artinya kita mengorbankan petani lokal. Sebaliknya, konsumsi pangan lokal adalah perwujudan cinta tanah air yang nyata. Apa artinya slogan “Aku nasional” atau teriakan “NKRI harga mati” jika untuk makan saja kita masih mengimpor.

Tentu kita paham, kebijakan stop impor pangan memang penuh tantangan, tapi bukan berarti mustahil. Pemerintah harus serius dengan infrastruktur, teknologi, dan pemberdayaan petani. Di sisi lain, masyarakat harus ikut bergerak melalui gerakan lokavora. Kita bisa mulai berteriak, “Hidup lokavora!”

Jadi, mari bersama-sama makan apa yang petani kita tanam. Seperti kata pepatah modern: #marimakanapayangpetanikitatanam. Karena kemandirian bangsa tidak hanya dimulai dari kebijakan pemerintah, tetapi juga dari meja makan kita sendiri, melalui kesadaran penuh akan “Isi Piringku” yang sehat dan bergizi.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis