Tanggapan terhadap Tulisan Denny JA “Spiritualitas di Era Artificial Intelligence”
Oleh: Ahmadie Thaha
Menarik membaca tulisan Denny JA, “Spiritualitas di Era Artificial Intelligence: Hadirnya Esoterika Forum Spiritualitas.” Dia mengangkat isu spiritualitas di dunia modern. Dalam opininya, Denny menyebut, kondisi spiritual masyarakat saat ini sangat ironis: hidup dalam gemerlap materialisme, tapi sekaligus kering secara rohani.
Ia bahkan menyoroti bahwa, di tengah kemudahan akses terhadap data keagamaan dan spiritualitas yang disediakan teknologi artificial intelligence (kecerdasan buatan), populasi warga dunia yang tak beragama alias ateis kini berada di peringkat ketiga terbesar di dunia, setelah Islam dan Kristen. Warga ini, kata Denny, “tak beragama, tapi penuh keyakinan bahwa mereka tak yakin pada apa pun.”
Tulisan Denny ini memicu saya untuk menanggapinya, bukan dengan argumen kosong, tapi dengan “pisau bedah” Mark Vernon, seorang mantan pendeta yang malah menemukan spiritualitas lebih mendalam setelah bersentuhan dengan ateisme. Jika Denny bicara tentang data dan populasi, Vernon membahas bagaimana jiwa manusia tetap mencari makna bahkan di tengah kehidupan yang dijejali algoritma dan hedonisme.
Tentu ini relevan. Bagaimana tidak? Di era ini, banyak orang lebih sibuk berdoa agar WiFi lancar daripada mencari makna hidup; banyak anak keranjingan game di sudut kamar ketimbang pergi ke masjid untuk shalat jamaah. Di tengah kebisingan teknologi, spiritualitas malah menjadi menu eksotis —seperti teh jahe di Starbucks: semua tahu itu sehat, tapi lebih banyak yang memilih caramel macchiato.
Jadi, apakah benar ateisme adalah ancaman terbesar? Atau justru masyarakat beragama yang kehilangan jiwa agamanya? Dengan pandangan Denny dan Vernon, mari kita gali: mungkinkah spiritualitas bisa menjadi jangkar di tengah gelombang materialisme ini? Atau ini hanya nostalgia masa lalu yang tak relevan lagi?
Antara Denny JA dan Mark Vernon
Denny JA dan Mark Vernon adalah dua sosok intelektual dengan latar belakang dan fokus kajian yang berbeda. Denny JA, seorang tokoh publik Indonesia yang dikenal sebagai pelopor angkatan puisi esai, berasal dari keluarga yang kental dengan tradisi Islam, meski dirinya bukan seorang ustadz. Karya-karyanya sering mengeksplorasi isu-isu sosial, politik, dan spiritual dalam konteks keberagaman, menggunakan pendekatan naratif yang menggabungkan seni dan data.
Denny juga aktif membahas peran teknologi, termasuk AI, dalam memperluas wawasan spiritual. Ia dan timnya di Lingkaran Survei Indonesia (LSI) jelas menggunakan teknologi untuk menjalankan usaha surveinya dan mengolah jutaan data, yang hasilnya sudah sering kita nikmati bersama dalam paparan-paparan quick account dan survei-survei politik. Selain rajin memproduksi lukisan berbasis AI, Denny juga membuat lembaga khusus terkait AI.
Di sisi lain, Mark Vernon tinggal dan bekerja di London, Inggris. Ia seorang penulis, filsuf, dan pengajar yang fokus pada spiritualitas, etika, dan sejarah pemikiran. Selain menulis buku-buku yang mendalami tema-tema seperti persahabatan, cinta, dan kehidupan bermakna, Vernon juga aktif memberikan ceramah, mengajar filsafat, serta terlibat dalam diskusi publik tentang spiritualitas dan relevansinya di dunia modern.
Vernon memulai karier sebagai pendeta sebelum meninggalkan agamanya untuk mengeksplorasi spiritualitas di luar kerangka religius formal. Karya-karyanya, seperti After Atheism, menyoroti pencarian makna di era modern, termasuk kritik terhadap ateisme “keras” sekaligus upaya menjembatani tradisi spiritual lama dengan kebutuhan manusia kontemporer. Fokus Vernon berada pada penggalian aspek eksistensial, refleksi mendalam, dan keintiman dalam spiritualitas.
Baik Denny JA maupun Vernon sama-sama memiliki karya tulis yang mendalami spiritualitas. Perbedaan mencolok di antara keduanya adalah pendekatan mereka: Denny melihat spiritualitas sebagai arena inklusif yang bisa dijelajahi melalui data besar dan teknologi modern, sedangkan Vernon memusatkan perhatian pada pengalaman personal dan kedalaman manusiawi, sering kali dengan nada skeptis terhadap solusi instan yang ditawarkan teknologi.