Langit Sumatera Selatan kala itu tampak tenang, mengiringi sebuah pesawat komersial yang melintasi jalur rutinnya. Namun, siapa sangka, ketenangan itu berubah menjadi duka mendalam yang mengguncang dunia penerbangan. Tragedi jatuhnya SilkAir MI185 pada 19 Desember 1997 bukan hanya meninggalkan kepedihan bagi keluarga korban, tetapi juga menorehkan tanda tanya besar yang hingga kini belum sepenuhnya terjawab.
Apa sebenarnya yang terjadi di balik kecelakaan fatal itu? Mengapa sebuah penerbangan yang dijadwalkan berlangsung mulus berakhir dalam tragedi? Artikel ini akan membahas tentang peristiwa, penyelidikan, serta misteri yang masih menyelimuti tragedi SilkAir MI185, membawa kita kembali mengenang sebuah episode kelam dalam sejarah penerbangan Indonesia dan dunia.
Kronologi Kejadian
Hari ini, 19 Desember, merupakan tanggal yang selalu diingat sebagai salah satu peristiwa paling tragis dan misterius dalam sejarah penerbangan Indonesia. Pada 19 Desember 1997, pesawat SilkAir MI185 jatuh ke Sungai Musi, Palembang, menewaskan seluruh 104 orang yang berada di dalamnya. Peristiwa ini tidak hanya mengejutkan dunia penerbangan, tetapi juga meninggalkan teka-teki yang hingga kini masih menyisakan perdebatan.
Pesawat Boeing 737-300 tersebut lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, menuju Bandara Changi, Singapura. Dalam penerbangan yang seharusnya berlangsung tanpa hambatan, pesawat tiba-tiba mengalami penurunan tajam sekitar pukul 16:12 WIB.
Saat itu, pesawat berada di ketinggian 3.700 kaki sebelum terjun bebas dengan kecepatan mendekati supersonik, memecah menjadi puing-puing sebelum menghujam ke perairan Sungai Musi di Kecamatan Sungsang, Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan.
Lokasi jatuhnya pesawat dipastikan berada pada koordinat 02° 26′ 50″ Lintang Selatan (LS) dan 104° 55′ 53″ Bujur Timur (BT). Tidak ada laporan cuaca buruk atau kerusakan mesin yang diterima sebelum kecelakaan terjadi.
Sebanyak 97 penumpang dan 7 awak kabin menjadi korban, dengan berbagai kebangsaan, termasuk warga Singapura, Jepang, Indonesia, Jerman, Malaysia, Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan beberapa negara lainnya.
Investigasi dan Misteri yang Menghantui
Badan investigasi Indonesia mempublikasikan temuan awal pada 1999, namun tidak ada cukup bukti untuk menentukan penyebab kecelakaan secara pasti. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengesampingkan dugaan kegagalan mekanis dan listrik, cuaca, serta penyimpangan kontrol lalu lintas udara.
Namun, laporan dari agen Amerika Serikat mengungkapkan teori kontroversial: kecelakaan tersebut diduga akibat tindakan sengaja oleh salah satu orang dalam pesawat, khususnya sang pilot, Kapten Tsu Way Ming. Teori ini didukung oleh beberapa fakta. Pertama masalah keuangan, dikutip dari New York Times, Tsu Way Ming diketahui mengalami kerugian besar di pasar saham Singapura, mencapai 2,25 juta dolar Singapura.
Ia juga terkena sanksi utang sebesar 118 ribu dolar Singapura hanya 15 hari sebelum kecelakaan. Fakta kedua adalah terkait polis asuransi yang dibuat sang pilot, dimana Kapten Tsu membuat polis asuransi untuk istri dan anaknya yang mulai berlaku pada 19 Desember 1997, tepat di hari kecelakaan.
Fakta selanjutnya yang ditemukan adalah masalah kesehatan mental, Kapten Tsu yang merupakan mantan pilot dan instruktur A-4 Skyhawk Angkatan Udara Singapura, memiliki pengalaman dengan pesawat tersebut selama 20 tahun. Selama kariernya, ia pernah mengalami musibah, yaitu kehilangan 4 teman satu skuadronnya ketika latihan terbang rutin, setahun sebelum kecelakaan.
Dampak psikologis dari musibah itu diduga mengubah kepribadian Tsu yang berujung pada kecelakaan pesawat Silk Air tersebut.
Teori Lain dan Bantahan
SilkAir membantah hasil investigasi yang menyebut tindakan bunuh diri sebagai penyebab kecelakaan. Maskapai ini mengklaim bahwa kecelakaan terjadi akibat gangguan listrik pada pesawat. Meski demikian, teori tentang tindakan disengaja oleh pilot mendapatkan perhatian serius, mengingat beberapa kecelakaan serupa di dunia pernah disebabkan oleh niat jahat pilot.
Insiden SilkAir MI185 tidak hanya menjadi duka bagi keluarga korban tetapi juga meninggalkan dampak besar bagi industri penerbangan. Peristiwa ini menjadi pengingat pentingnya aspek kesehatan mental dan keuangan dalam evaluasi pilot. Hingga kini, tragedi ini masih menyisakan misteri, dan berbagai pihak terus mengingat peristiwa tersebut sebagai pelajaran penting dalam dunia penerbangan.
Tanggal 19 Desember akan selalu dikenang sebagai momen refleksi, tidak hanya untuk mengenang mereka yang telah tiada, tetapi juga untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan di masa depan. [UN]