Aksara Jawa dikenal dengan sejarah dan maknanya yang dalam, namun sebelum mengenal lebih jauh aksara Jawa yang kaya akan nilai budaya ini, ada sebuah cerita legendaris yang mengungkapkan asal-usulnya. Sebuah kisah yang tak hanya menggambarkan keberanian dan pengorbanan, tetapi juga menyoroti betapa pentingnya kesetiaan dalam setiap perjalanan hidup.
Aksara Jawa, atau yang dikenal juga dengan berbagai nama seperti Hanacaraka, Carakan, dan Dentawyanjana, ternyata lahir dari legenda seorang pemuda sakti bernama Aji Saka dan dua abdi setianya. Bagaimana kisah mereka berhubungan dengan lahirnya aksara yang kita kenal saat ini? Mari kita telusuri lebih dalam kisah yang sarat makna ini.
Kisah Aji Saka dan Pengembaraannya
Dilansir dari buku 108 Cerita Rakyat Terbaik Asli Nusantara: Cerita Kepahlawanan, Mitos, Legenda, Dongeng, & Fabel dari 33 Provinsi, legenda ini dimulai dengan kisah seorang pemuda bernama Aji Saka. Aji Saka adalah seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa dan dua benda pusaka, yakni keris ajaib dan sorban sakti. Selain itu, Aji Saka juga ditemani oleh dua abdi setia, Dora dan Sembada, yang selalu siap mendampinginya dalam setiap perjalanan.
Suatu hari, Aji Saka memutuskan untuk berkelana. Ia mengajak Dora untuk menemani perjalanan panjangnya, sementara Sembada ia tugaskan untuk menjaga keris pusaka yang disimpan di puncak Gunung Kendeng. Aji Saka berpesan bahwa Sembada tidak boleh menyerahkan keris tersebut kepada siapapun, kecuali dirinya.
Selama pengembaraannya, Aji Saka mendengar kabar buruk dari Kerajaan Medang Kamulan. Raja yang memerintah kerajaan tersebut, Prabu Dewata Cengkar, diketahui memiliki kebiasaan mengerikan, yaitu memakan daging manusia. Kecemasan pun melanda rakyat, dan akhirnya Aji Saka memutuskan untuk mendatangi kerajaan tersebut.
Dengan niat membantu, Aji Saka menyerahkan dirinya untuk dimakan oleh Prabu Dewata Cengkar. Namun, sebelum itu, ia meminta satu syarat: sebidang tanah sebesar sorban yang dipakainya. Prabu Dewata Cengkar, yang tidak curiga, menyanggupi permintaan tersebut. Aji Saka kemudian menggelar sorban itu di tanah, dan dalam waktu singkat sorban tersebut membesar hingga menutupi seluruh kerajaan.
Marah dan terkejut, Prabu Dewata Cengkar mencoba menyerang Aji Saka, namun upaya tersebut gagal. Aji Saka dengan cepat melilitkan sorban ke tubuh raja jahat itu dan melemparkannya ke Laut Selatan. Rakyat Kerajaan Medang Kamulan pun bersorak gembira, dan Aji Saka diangkat menjadi raja dengan gelar Prabu Anom Aji.
Sebagai raja, Aji Saka memerintah dengan bijaksana. Ia sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya. Suatu hari, Aji Saka memerintahkan Dora untuk mengambil keris pusakanya yang disimpan di Gunung Kendeng. Dora berangkat dengan penuh semangat, namun saat ia tiba di puncak gunung, ia bertemu dengan Sembada yang menjaga keris tersebut.
Sembada, yang memegang teguh janji Aji Saka, menolak untuk menyerahkan keris itu kepada Dora. Karena kesetiaan mereka terhadap Aji Saka, keduanya pun terlibat dalam pertarungan sengit. Pertarungan ini berakhir tragis, dengan kedua abdi setia itu kehilangan nyawa mereka.
Mendengar kabar duka tersebut, Aji Saka merasa sangat sedih. Ia kehilangan dua abdi yang sangat setia dan mencintainya. Sebagai bentuk penghormatan atas kesetiaan Dora dan Sembada, Aji Saka menciptakan aksara yang disebut Dentawyanjana. Aksara ini melambangkan pertarungan antara dua ksatria yang saling berjuang untuk kesetiaan, menggambarkan betapa pentingnya nilai kesetiaan dan pengorbanan.
Aksara Dentawyanjana, yang diilhami oleh cerita ini, kemudian dikenal sebagai aksara Jawa yang kita kenal hingga kini. Aksara ini bukan hanya sekadar simbol penulisan, tetapi juga mengandung makna mendalam tentang nilai-nilai kesetiaan, pengorbanan, dan kebijaksanaan yang diwariskan oleh Aji Saka.
Legenda asal usul aksara Jawa ini mengajarkan kita banyak hal, mulai dari pentingnya kesetiaan hingga nilai kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan hidup. Aksara Jawa, yang lahir dari cerita ini, bukan hanya sebuah sistem tulisan, tetapi juga sebuah warisan budaya yang kaya akan makna dan nilai sejarah. [UN]