Prasasti Astana Gede, mencatat bahasa Sunda kuno menggunakan aksara Sunda Kuno. (Wikipedia)
Prasasti Astana Gede, mencatat bahasa Sunda kuno menggunakan aksara Sunda Kuno. (Wikipedia)

Bahasa Sunda memiliki sejarah yang panjang dan kaya, yang tak hanya mencerminkan perjalanan linguistiknya, tetapi juga menunjukkan dinamika budaya dan sejarah masyarakat Sunda itu sendiri. Sebagai salah satu bahasa daerah yang berkembang pesat di Indonesia, bahasa Sunda telah melalui berbagai pengaruh budaya, agama, dan politik yang membentuk bentuknya saat ini.

Dari pengaruh Hindu-Buddha di masa awal hingga interaksi dengan budaya Jawa dan Islam, bahasa Sunda terus bertransformasi. Namun, tidak hanya dipengaruhi oleh kebudayaan lokal, perjalanan bahasa Sunda juga dipengaruhi oleh masa penjajahan Belanda yang membawa pengaruh besar pada pengakuan dan perkembangan bahasa ini.

Dalam artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana bahasa Sunda berkembang dari masa kuno hingga menjadi bahasa yang masih digunakan di Indonesia saat ini, meski dihadapkan pada tantangan di era modern.

Pengaruh dari luar, seperti Belanda, dan perubahan sosial budaya turut berperan penting dalam pelestarian bahasa ini. Dengan pemahaman ini, kita bisa lebih menghargai pentingnya menjaga bahasa Sunda, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai bagian dari warisan budaya yang tak ternilai.

Perkembangan Awal: Bahasa Sunda Kuno

Bahasa Sunda Kuno, atau dalam istilah lokal disebut buhun, diyakini telah ada sejak abad ke-14. Melansir beberapa sumber, bukti tertulis pertama mengenai bahasa ini ditemukan dalam bentuk prasasti yang berasal dari masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475) di Kawali, Ciamis. Prasasti tersebut menggunakan aksara Sunda Kuno dan menunjukkan bahwa bahasa ini telah digunakan secara lisan jauh sebelum penulisan.

Pada masa ini, penggunaan aksara dan bahasa Sunda banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu, dengan banyak kosakata yang berasal dari bahasa Sanskerta. Naskah-naskah kuno juga ditulis pada media seperti daun lontar dan nipah, yang menunjukkan keberagaman dalam penulisan dan penggunaan bahasa.

Sejak akhir abad ke-16, ketika masyarakat Sunda mulai menganut agama Islam, kosakata Arab mulai memasuki perbendaharaan kata bahasa Sunda. Kata-kata seperti salat, masjid, dan niyat menjadi bagian dari bahasa sehari-hari masyarakat Sunda.

Selain itu, pengaruh budaya Jawa sangat kuat antara akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19, terutama melalui interaksi dengan Kerajaan Mataram. Hal ini menyebabkan banyaknya kosakata dan tingkatan bahasa (undak usuk basa) dari Jawa yang masuk ke dalam bahasa Sunda.

Masa Penjajahan Belanda

Masa penjajahan Belanda (1800-an) membawa perubahan signifikan bagi perkembangan bahasa Sunda. Pada tahun 1841, terbitnya Kamus Bahasa Belanda-Melayu dan Sunda menandai pengakuan resmi terhadap bahasa Sunda sebagai bahasa mandiri. Ini merupakan langkah penting dalam kodifikasi bahasa Sunda.

Selama periode ini, pemerintah kolonial mulai menerapkan sistem pendidikan yang mengharuskan penggunaan bahasa Melayu di sekolah-sekolah. Akibatnya, terjadi pencampuran antara bahasa Sunda dengan bahasa Melayu yang dikenal sebagai kamalayon.

Di sisi lain, munculnya karya sastra dan penerbitan buku-buku berbahasa Sunda juga meningkat pada akhir abad ke-19. Salah satu tokoh yang cukup berperan dalam melestarikan budaya dan bahasa Sunda pada masa penjajahan adalah Karel Frederik Holle.

Karel Holle, seorang juragan teh kelahiran Amsterdam, Belanda, dikenal sangat mencintai budaya Sunda. Dikenal dengan julukan “friend of the native” oleh Emilius Hubertus Kerkhoven, Holle bahkan tidak segan berpakaian seperti orang Sunda.

Ia pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Jawa pada 1843 dan bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial. Setelah pensiun, ia membuka perkebunan teh di Cikajang, Garut, sambil mendalami kebudayaan Sunda. Hubungan dekatnya dengan Haji Muhamad Musa, seorang penulis Sunda terkemuka, menunjukkan kecintaannya pada budaya lokal.

Bahasa Sunda Modern

Bahasa Sunda Modern mulai berkembang setelah periode kolonialisme Belanda. Pada tahun 1912, dialek Bandung ditetapkan sebagai bentuk baku bahasa Sunda. Ini menjadi acuan bagi pengembangan tata bahasa dan kamus-kamus yang lebih sistematis.

Setelah kemerdekaan Indonesia, bahasa Sunda terus digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda, namun mengalami penurunan penggunaannya, terutama di kota-kota besar.

Sejak tahun 1950-an, penggunaan bahasa Sunda di kalangan generasi muda mulai menurun, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, di mana pengaruh bahasa Indonesia semakin kuat.

Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota besar mulai meninggalkan penggunaan bahasa asli mereka, menggantinya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi utama.

Sejarah bahasa Sunda adalah cerminan dari perjalanan budaya masyarakat Sunda itu sendiri. Dari prasasti kuno hingga pengaruh kolonial dan modernisasi, perkembangan bahasa ini menunjukkan dinamika interaksi budaya dan linguistik di Indonesia.

Meskipun menghadapi tantangan dalam pelestariannya di era modern, upaya untuk mempelajari dan menggunakan kembali bahasa Sunda tetap penting untuk menjaga identitas budaya masyarakat Sunda.

Bahasa Sunda tidak hanya sekedar alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk terus melestarikan bahasa ini, tidak hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai simbol kebanggaan atas identitas mereka.

Pelestarian bahasa Sunda dapat dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari penggunaan dalam kehidupan sehari-hari, pendidikan, hingga seni dan sastra. Upaya ini akan menjaga agar bahasa Sunda tetap hidup dan berkembang, seiring dengan kemajuan zaman.

Dalam perjalanan panjangnya, bahasa Sunda telah melalui banyak perubahan dan pengaruh dari berbagai kebudayaan. Namun, meskipun menghadapi berbagai tantangan, bahasa ini tetap menjadi bagian penting dari identitas dan kebudayaan masyarakat Sunda yang harus dijaga dan dilestarikan. [UN]