Aksara Ka Ga Nga yang ditulis di batang bambu. (sumber: Kompasiana)
Aksara Ka Ga Nga yang ditulis di batang bambu. (sumber: Kompasiana)

Indonesia dengan keberagaman suku dan kultur yang berbeda menyimpan banyak sekali kekayaan budaya, baik dari seni, kuliner, maupun aksara dan bahasa. Setiap daerah di seluruh Indonesia mempunyai ciri khas yang berbeda. Di pulau Jawa misalnya, bahasa yang digunakan disana sangat beragam. Wilayah Jawa bagian Barat dan Jawa bagian Tengan dan Timur mempunyai bahasa dan aksaranya sendiri.

Menyeberang ke pulau Sumatera, disana terdapat berbagai macam budaya dan bahasa yang berbeda. Seperti di Provinsi Bengkulu, disana terdapat budaya yang terkenal yaitu Tabot dan ada pula bahasa dan aksaranya sendiri.

Aksara yang digunakan di Bengkulu bernama aksara Rejang Ka Ga Nga, penyebutan ini lebih populer dibandingkan dengan sebutan ”Surat Ulu.”

Menurut berbagai sumber nama Ka Ga Nga sendiri populer digunakan semenjak Mervyn A. Japsan antropolog dari University of Hull, Inggris menerbitkan buku yang berjudul Folk Literture of South Sumatera dimana dalam buku ini membahas mengenai aksara Surat Ulu atau disebut Ka Ga Nga.

Aksara Ulu atau Rejang Ka Ga Nga merupakan pengembangan dari aksara Pallawa dan aksara Jawi pada jaman kerajaan Sriwijaya. Kata Ulu sendiri dipercaya memiliki makna ”yang terdahulu” artinya aksara ini merupakan aksara yang lebih dulu digunakan sebelum aksara Arab dan Latin.

Aksara ini dahulu seringkali di tulis menggunakan media bambu, rotan, kulit kayu, dan tanduk hewan. Ciri khas dari aksara ini yaitu seluruh hurufnya berahiran ”a”. Masyarakat Rejang Bengkulu menggunakan aksara ini untuk menuliskan doa-doa, mantera, cerita dan pengumuman alam tulisan Ulu.

Aksara Ulu atau Rejang Ka Ga Nga ini berbentuk runcing, berbeda dengan aksara Jawa. Penulisan dengan bentuk runcing ini dipercaya karena penggunaan media yang keras, akibatnya lengkungan yang biasanya ada pada aksara seperti di Jawa tidak bisa diterapkan. Penulisan aksara ini percaya menggunakan alat-alat tajam seperti sabit.

Aksara Ulu atau Rejang Ka Ga Nga memiliki 18 buah konsonan utama (Buak Tu’ai), 1 buah vokal nyata (tergolong Buak Tu’ai), dan 6 buah konsonan ganda (Buak Ngimbang), totalnya terdapat 25 buah huruf. 25 buah huruf ini diberikan tanda diakritik baik tunggal maupun ganda untuk menghasilkan bunyi selain ‘a’ serta menghasilkan diftong.

Aksara ini dipercaya sebagai aksara tua karena penggunaan alat tulis dari benda tajam, sehingga menimbulkan interpretasi bahwa semakin runcing bentuk sebuah aksara maka semakin tua umur aksara tersebut.

Saat ini manuskrip yang bertuliskan aksara Rejang Ka Ga Nga tersimpan di Museum Negeri Bengkulu.

Dengan keunikan aksara ini, masih banyak masyarakat Bengkulu terutama anak muda yang tidak mengetahui tentang aksara ini. Peran pemerintah untuk kelestarian aksara ini sangat diharapkan agar kelak masyarakat Bengkulu masih bisa menuliskan dan menggunakan aksara ini. [IQT]