Di tengah kompleksitas Hindia Belanda yang memisahkan masyarakatnya berdasarkan warna kulit dan garis keturunan, muncul seorang tokoh yang berani memimpikan kesetaraan lintas etnis.
Namanya Liem Koen Hian. Dengan pena dan pemikirannya, ia menawarkan gagasan revolusioner, yaitu kebangsaan Indonesia tidak harus ditentukan oleh asal-usul, tetapi oleh cinta dan rasa memiliki terhadap tanah air.
Kisahnya adalah perjalanan seorang pejuang identitas yang penuh liku, dari masa kolonial hingga Indonesia merdeka. Namun, apakah perjuangannya diterima oleh bangsa yang ia impikan? Mari kita telusuri perjalanan hidupnya yang menginspirasi.
Liem dan Konsep Indonesierschap
Liem melintasi batas-batas identitas etnis untuk memperjuangkan konsep Indonesierschap, sebuah gagasan bahwa kebangsaan Indonesia tidak seharusnya ditentukan oleh warna kulit atau asal usul semata.
Ia membayangkan sebuah bangsa di mana semua etnis, baik pribumi, Tionghoa Peranakan, maupun lainnya, bisa berdiri sejajar sebagai bagian dari tanah air yang sama. Kisah hidupnya adalah cermin kompleksitas pergulatan identitas, nasionalisme, dan perubahan sosial yang menyelimuti era kolonial hingga awal kemerdekaan Indonesia.
Lahir di Banjarmasin pada tahun 1897, Liem Koen Hian adalah anak sulung dari tujuh bersaudara di keluarga pengusaha Tionghoa Peranakan. Meski tidak menyelesaikan pendidikannya di sekolah Eropa, ia menunjukkan bakat luar biasa sebagai juru tulis di Shell Oil Company, Balikpapan. Namun, jiwa kritisnya mendorongnya untuk meninggalkan pekerjaan itu dan terjun ke dunia jurnalistik.
Liem memulai kariernya sebagai wartawan di surat kabar Penimbangan di Banjarmasin sebelum pindah ke Surabaya, tempat ia bekerja di berbagai media seperti Tjhoen Tjhioe dan Pewarta Soerabaia.
Tidak hanya menjadi jurnalis, Liem juga menjadi pemilik dan pemimpin beberapa surat kabar, termasuk Sin Jit Po dan Sin Tit Po. Melalui tulisannya, ia dengan berani menyuarakan pandangan politik yang mendobrak norma, termasuk ide tentang kewarganegaraan Indonesia yang melibatkan semua etnis.
Pergulatan Politik dan Nasionalisme
Pada masa itu, komunitas Tionghoa Peranakan terpecah menjadi tiga kubu politik: pendukung nasionalisme Tiongkok (yang diwakili oleh organisasi Sin Po), pendukung pemerintah kolonial (Chung Hua Hui), dan mereka yang mendukung nasionalisme Indonesia. Liem menjadi pemimpin kubu terakhir dengan mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1929.
PTI menawarkan visi akulturasi yang unik, kaum Tionghoa Peranakan tidak hanya sekadar menjadi pengamat, tetapi menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia. Gagasan Liem ini dipengaruhi oleh tokoh nasionalis seperti dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, yang menekankan bahwa kebangsaan Indonesia harus didasarkan pada rasa cinta dan komitmen terhadap tanah air, bukan garis keturunan.
Pergeseran dan Konflik Politik
Namun, jalan politik Liem tidak selalu mulus. Meski awalnya mendukung nasionalisme Indonesia, ia sering berselisih dengan berbagai kubu politik. Liem mengkritik Gabungan Politik Indonesia (GAPI) karena hanya memberikan status anggota luar biasa kepada PTI.
Ketika Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) membuka keanggotaannya bagi Tionghoa Peranakan, Liem memilih keluar dari PTI dan bergabung dengan Gerindo.
Pandangan politik Liem yang semakin condong ke kiri juga menimbulkan ketegangan, baik di kalangan komunitas Tionghoa maupun dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Ia bahkan bersimpati pada Partai Komunis Tiongkok, yang membuatnya bertentangan dengan tokoh-tokoh konservatif seperti Ko Kwat Tiong.
Saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Liem sempat ditahan tetapi kemudian dibebaskan untuk bekerja di pemerintahan pendudukan, sebuah langkah yang menimbulkan kontroversi.
Keterlibatan dalam Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Liem tetap mendukung perjuangan nasionalis. Ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di mana ia terus menyuarakan pentingnya pengakuan terhadap kaum Tionghoa Peranakan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Namun, revolusi kemerdekaan Indonesia membawa ketegangan rasial yang memuncak, membuat banyak orang seperti Liem kecewa. Pada tahun 1951, ia ditahan oleh kabinet Soekiman karena dianggap berhaluan kiri.
Penahanan ini memperburuk kesehatannya dan mengguncang keyakinannya terhadap Republik yang ia perjuangkan. Setelah dibebaskan, Liem menolak kewarganegaraan Indonesia dan memilih menjadi warga negara Republik Rakyat Tiongkok.
Akhir Hidup
Liem Koen Hian meninggal pada 5 November 1952 di Medan, dalam kondisi kecewa dan terasing. Ia meninggal sebagai “orang asing” di tanah air yang pernah ia impikan menjadi rumah bersama. Keluarganya memutuskan untuk memakamkannya di Medan, bukan di Jakarta seperti yang diinginkannya.
Kisah Liem Koen Hian adalah sebuah bukti dari perjuangan identitas dan pengakuan di tengah kerumitan sosial dan politik. Gagasannya tentang Indonesierschap mungkin tidak sepenuhnya diterima pada masanya, tetapi ia membuka jalan bagi diskusi yang lebih luas tentang inklusivitas dalam kebangsaan.
Meski akhir hidupnya penuh tragedi, semangatnya untuk melampaui batas-batas etnis dan ideologi tetap menjadi inspirasi bagi perjuangan kesetaraan di Indonesia. Liem Koen Hian adalah simbol bagaimana cinta pada tanah air dapat melampaui sekat-sekat identitas, meski pengorbanannya tidak selalu dihargai seperti yang ia harapkan. [UN]