Tanggal 2 Desember merupakan hari di mana Pablo Escobar, seorang gembong narkoba yang dijuluki Raja Kokain, tewas di Medellín, Kolombia setelah mencoba melarikan diri dari kejaran aparat penegak hukum.
Semasa hidupnya, Pablo Escobar sukses menjalankan kartel Medellín dan meraup kekayaan bersih sekitar 30 miliar dolar AS dari penjualan kokain. Dia menjadi sangat kaya hingga kehabisan cara untuk menghabiskan semua uangnya. Dia menyembunyikan lebih dari 500 miliar dolar AS di Kolombia, sebagian tersimpan di gudang dan ladang. Ada juga yang tersegel dengan lembaran plastik besar dan tersimpan di dalam wadah.
Ketika keluarganya melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan Kolombia pada tahun 1992-1993, Escobar membakar 2 juta dolar AS untuk menjaga putrinya tetap hangat. Sejumlah besar uang kertas lainnya rusak dan tidak bisa digunakan lagi karena disimpan puluhan tahun, dimakan tikus, atau hancur karena cuaca.
Kisah Hidup Pablo Escobar
Pablo Emilio Escobar Gaviria lahir pada tanggal 1 Desember 1949 di kota Rionegro, Antioquia, Kolombia. Dia adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara yang lahir dalam kemiskinan. Ibunya berprofesi sebagai guru sekolah, sementara ayahnya adalah seorang petani. Sejak dini, Escobar memiliki ambisi untuk bangkit dari keterpurukan.
Keluarganya pindah ke Envigado, pinggiran kota Medellín. Di usia remaja, Escobar memulai aktivitas kriminalnya dengan mencuri batu nisan, menyelundupkan peralatan stereo, menjual ijazah palsu, dan mencuri mobil.
Selama masa “Perang Marlboro”, Escobar memainkan peran penting dalam mengendalikan pasar rokok selundupan Kolombia. Peristiwa ini terbukti menjadi tempat pelatihan berharga baginya.
Mendirikan Kartel Medellín
Pada awal tahun 1970-an, Kolombia menjadi tempat penyelundupan utama ganja. Karena terletak di ujung utara Amerika Selatan di antara pusat budidaya koka yang berkembang pesat di Peru, Ekuador, dan Bolivia, negara tersebut mendominasi perdagangan kokain global dengan Amerika Serikat.
Pablo Escobar bergerak cepat untuk menguasai perdagangan kokain. Ada kemungkinan dia memerintahkan orang untuk membunuh pengedar narkoba Fabio Restrepo pada tahun 1975 sebagai upaya merebut kekuasaan. Di bawah kepemimpinan Escobar, sejumlah besar pasta koka didatangkan dari Bolivia dan Peru, kemudian diproses, dan diangkut ke Amerika Serikat.
Pada tahun 1976, Escobar beraliansi dengan Gonzalo Rodríguez Gacha, Carlos Lehder, dan Ochoa bersaudara untuk mendirikan Kartel Medellín. Dia menjabat sebagai kepala organisasi tersebut, yang sebagian besar berfokus pada produksi, transportasi, dan penjualan kokain.
Setahun kemudian, Escobar yang berusia 26 tahun menikahi Maria Victoria Henao yang berusia 15 tahun. Karena Maria masih sangat muda, Escobar harus membayar untuk mendapatkan dispensasi khusus dari uskup. Pernikahan mereka menghasilkan dua anak: Juan Pablo dan Manuela.
Departemen Keamanan Administrasi Kolombia (DAS) menangkap Escobar pada bulan Mei 1976 saat dia kembali dari perjalanan perdagangan narkoba di Ekuador.
Pihak berwenang menemukan 39 kilogram kokain yang disembunyikan di ban serep truknya. Escobar lolos dari dakwaan dengan menyuap hakim. Pada tahun berikutnya, dua agen DAS yang bertanggung jawab atas penangkapannya tewas dibunuh.
Sekitar waktu ini, Escobar mengembangkan pola khasnya dalam berurusan dengan pihak berwenang yang disebut plata o plomo, yang berarti “perak atau timah”. Terima sogokan atau mati ditembak. Meskipun Escobar lebih menyukai pilihan pertama, dia tidak merasa keberatan dengan pilihan kedua. Ini membuatnya mendapat reputasi sebagai orang yang kejam.
Pada tahun 1978, Escobar menghabiskan jutaan dolar untuk membeli tanah seluas 20 kilometer persegi di Antioquia, Kolombia dan membangun perkebunan mewah seluas 2.800 hektar bernama Hacienda Nápoles.
Di sana terdapat taman patung, danau, arena adu banteng pribadi, dan fasilitas lainnya untuk keluarga Escobar dan anggota kartel. Di perkebunan tersebut juga terdapat koleksi mobil dan sepeda mewah, serta kebun binatang berisi sekitar 200 hewan, termasuk antelop, gajah, jerapah, kuda nil, kuda poni, unta, burung unta, dan burung-burung eksotis.
Seiring dengan meningkatnya permintaan kokain di Amerika Serikat, Escobar mendirikan jaringan pengiriman dan distribusi penyelundupan tambahan di berbagai lokasi. Pada pertengahan 1980-an, kartel Medellín mendominasi perdagangan kokain dan Escobar diperkirakan memiliki kekayaan bersih sebesar 30 miliar dolar AS, sehingga dia dinobatkan sebagai salah satu dari 10 orang terkaya di Bumi oleh Forbes.
Pada saat itu, dia mengendalikan lebih dari 80 persen penyelundupan kokain ke Amerika Serikat, di mana lebih dari 15 ton dilaporkan masuk setiap hari. Kartel Medellín menghasilkan keuntungan sebesar 420 juta dolar AS dalam seminggu. Kesuksesannya dalam penjualan kokain selama tahun 1980-an membuatnya mendapat julukan “Raja Kokain”.
Berpolitik dan Menyebar Teror
Karena sejak kecil Escobar bermimpi untuk menjadi presiden Kolombia, dia menghabiskan jutaan dolar lainnya untuk mengembangkan lingkungan miskin di Medellín. Dia membangun jalan, saluran listrik, lapangan sepak bola, arena sepatu roda, dan banyak lagi. Penduduk kota tersebut melaporkan menerima bantuan Escobar jauh lebih banyak daripada yang pernah dilakukan pemerintah Kolombia.
Escobar lalu terjun ke dunia politik dan mendukung pembentukan Partai Liberal Kolombia. Pada tahun 1982, dia terpilih sebagai anggota pengganti Kongres Kolombia, tetapi Menteri Kehakiman Rodrigo Lara-Bonilla menyelidiki Escobar dan menyoroti cara ilegal yang dia gunakan untuk memperoleh kekayaan. Ini memaksa Escobar mengundurkan diri dua tahun setelah pemilihannya. Beberapa bulan kemudian, Lara-Bonilla dibunuh.
Selanjutnya, Escobar bertanggung jawab atas pembunuhan ribuan orang, termasuk politisi, pegawai negeri, jurnalis, dan warga biasa. Dia melampiaskan amarahnya kepada musuh-musuhnya dengan memulai kampanye teror, merenggut nyawa tiga kandidat presiden Kolombia, seorang jaksa agung, sejumlah hakim, dan lebih dari 1.000 polisi.
Escobar juga dituduh sebagai dalang di balik pemboman Penerbangan Avianca 203 pada bulan November 1989. Itu adalah penerbangan penumpang domestik yang mengangkut salah satu musuh politiknya, kandidat presiden César Gaviria Trujillo. Trujillo ketinggalan pesawat dan tidak mengalami cedera, tetapi bom tersebut meledak dan menewaskan 107 orang di dalamnya.
Sembilan hari kemudian, sebuah truk bom meledak di luar gedung DAS di Bogotá, Kolombia. Pemboman ini menewaskan lebih dari 50 orang dan melukai lebih dari 2.200 orang. Kartel Medellín juga diyakini bertanggung jawab atas serangan ini.
Pada tahun 1990-an, sang Raja Kokain menghadapi tekanan yang semakin meningkat dari pemerintahan Presiden César Gaviria, khususnya setelah dugaan pembunuhan kandidat presiden Luis Carlos Galán pada tahun 1989.
Di bulan Juni 1991, Escobar menegosiasikan penyerahan diri kepada pemerintahan Gaviria dengan imbalan pengurangan hukuman dan perlakuan istimewa selama penahanannya. Para pejabat Kolombia setuju dan mengizinkannya membangun penjara mewahnya sendiri yang disebut La Catedral.
Sering disebut “Hotel Escobar”, penjara tersebut dilengkapi dengan kasino, spa, sauna, klub malam, lapangan sepak bola, jacuzzi, air terjun, dan rumah boneka raksasa, serta dijaga oleh orang-orang yang Escobar pilih sendiri dari antara karyawannya.
Kematian Dramatis
Setelah Escobar menyiksa dan membunuh dua anggota kartel di La Catedral, para pejabat memutuskan untuk memindahkannya ke penjara yang kurang nyaman. Namun, sebelum dipindahkan, Escobar melarikan diri pada bulan Juli 1992.
Perburuan berlangsung selama 16 bulan, dengan bantuan dari Badan Penegakan Narkoba AS. Monopoli kartel Medellín mulai runtuh dan polisi menggerebek kantor-kantor serta membunuh para pemimpinnya.
Pada tanggal 1 Desember 1993, Escobar sang Raja Kokain merayakan ulang tahunnya yang ke-44 dengan menikmati kue, anggur, dan mariyuana. Kemudian dia dan pengawalnya, Álvaro de Jesús Agudelo, yang juga dikenal sebagai “El Limón” bersembunyi di tempat yang mudah terlihat di Medellín.
Berkat keberhasilan triangulasi panggilan telepon yang sangat panjang, seorang anggota tim Search Bloc melihat seorang pria berambut panjang dan berjanggut lebat di jendela lantai dua sebuah rumah petak. Pria tersebut tampak berbeda dengan Pablo Escobar yang ada di foto, namun jelas dia adalah pria yang mereka cari.
Saat Search Bloc mengepung dan memasuki rumah, Limón melarikan diri lewat jendela. Dia jatuh ke atap bawah, tertembak beberapa kali saat berlari, dan jatuh ke tanah. Pablo Escobar, yang bersenjatakan dua pistol, mencoba rute pelarian yang sama melalui atap tetapi tertembak tiga kali di kaki kiri, punggung kanan atas, dan telinga kanan. Tembakan-tembakan itu menewaskannya.
Segera setelah kematian Pablo Escobar, kartel Medellín runtuh. Banyak warga Kolombia yang berduka atas kematian Escobar dan lebih dari 25.000 orang menghadiri pemakamannya di Monte Sacro. Beberapa dari mereka menganggapnya sebagai orang suci dan berdoa kepadanya, menerima bantuan ilahi.
Sebagian besar hewan di Hacienda Nápoles dipindahkan ke kebun binatang. Empat ekor kuda nil tertinggal, dan mereka segera berkembang biak hingga mencapai lebih dari 40 ekor. Kawanan kuda nil itu merusak peternakan dan menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk setempat.
Misteri Kematian Pablo Escobar
Banyak orang mengklaim bertanggung jawab atas penembakan terhadap Pablo Escobar. Hugo Aguilar dari Search Bloc adalah orang yang paling terkenal mengaku bertanggung jawab. Diego Murillo Bejerano dari Los Pepes, yang juga dikenal sebagai “Don Berna”, mengklaim saudaranya yang melakukannya. Sementara itu para penganut teori konspirasi bersikeras bahwa agen AS-lah yang menembak sang Raja Kokain.
Eksplorasi terhadap misteri ini terus berlanjut selama bertahun-tahun. Dalam episode 6 dari serial televisi dokumenter tahun 2020 berjudul “The Curious Life and Death of…”, sejarawan medis Lindsey Fitzharris melakukan otopsi virtual untuk memeriksa kasus Pablo Escobar untuk mengetahui apakah dia dibunuh oleh polisi, regu narkoba AS, atau dengan tangannya sendiri.
Tim dalam episode tersebut menggunakan pengujian mereka sendiri untuk memeriksa kaliber peluru yang menewaskan Escobar dan siapa yang mungkin telah melepaskan tembakan tersebut. Mereka menggunakan boneka gel balistik untuk analisis dan hasilnya sesuai dengan temuan sebelumnya: baik peluru yang menembus kaki Escobar maupun tembakan ke punggung, yang bersarang di daerah leher, tidak berakibat fatal. Tembakan di kepala memang merupakan penyebab kematian, tetapi mereka mengesampingkan klaim sebelumnya bahwa peluru itu berasal dari senapan.
Pengujian itu menggemakan sebuah teori yang telah beredar sejak buku berjudul Killing Pablo karya Mark Bowden di tahun 2001, yaitu peluru yang menewaskan Escobar berasal dari sebuah senjata 9mm, yang kemungkinan ditembakkan dari jarak dekat.
Tidak adanya residu pada luka tembak tidak dapat dijelaskan secara meyakinkan, namun memunculkan dugaan bahwa Escobar menempelkan laras langsung ke telinganya sendiri atau orang lain yang melakukannya. Beberapa anggota keluarga Escobar yang masih hidup yakin bahwa dia bunuh diri.
Putra Escobar, Juan Pablo, mengganti namanya menjadi Sebastian Marroquin. Marroquin belajar arsitektur dan menerbitkan sebuah buku pada tahun 2015 yang berjudul Pablo Escobar: My Father. Buku itu menceritakan kisah masa kecilnya bersama sang Raja Kokain, gembong narkoba paling terkenal di dunia. Marroquin juga menegaskan bahwa ayahnya tidak ditembak mati, melainkan bunuh diri untuk menyelamatkan keluarganya.
Putri Escobar, Manuela, menjalani kehidupan yang relatif tertutup. Media sering kali membesar-besarkan kisah Manuela, menggambarkannya sebagai sosok misterius yang dibentuk oleh warisan ayahnya. Namun berbagai laporan menunjukkan bahwa Manuela menghindari sorotan dan berfokus untuk menciptakan kehidupan yang jauh dari bayang-bayang ayahnya. Dia terlibat dalam berbagai kegiatan amal, dengan harapan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. [BP]



![Apakah Rasa Takut Israel Membenarkan Perangnya dengan Iran? Pada dini hari tanggal 13 Juni, Israel melancarkan serangan "preemptif" terhadap Iran. Ledakan mengguncang berbagai bagian negara itu. Di antara targetnya adalah situs nuklir di Natanz dan Fordo, pangkalan militer, laboratorium penelitian, dan tempat tinggal militer senior. Pada akhir operasi, Israel telah menewaskan sedikitnya 974 orang sementara serangan rudal Iran sebagai balasan telah menewaskan 28 orang di Israel. Israel menggambarkan tindakannya sebagai pertahanan diri antisipasi, dengan mengklaim Iran hanya tinggal beberapa minggu lagi untuk memproduksi senjata nuklir yang berfungsi. Namun penilaian intelijen, termasuk oleh sekutu Israel, Amerika Serikat, dan laporan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak menunjukkan bukti Teheran sedang mengejar senjata nuklir. Pada saat yang sama, diplomat Iran sedang berunding dengan mitra AS untuk kemungkinan kesepakatan nuklir baru. Namun, di luar analisis militer dan geopolitik, muncul pertanyaan etika serius: apakah secara moral dapat dibenarkan untuk melancarkan serangan yang menghancurkan tersebut bukan berdasarkan apa yang telah dilakukan suatu negara, tetapi berdasarkan apa yang mungkin dilakukannya di masa mendatang? Preseden apa yang ditetapkan oleh hal ini bagi seluruh dunia? Dan siapa yang dapat memutuskan kapan rasa takut cukup untuk membenarkan perang? Pertaruhan Moral yang Berbahaya Hossein Dabbagh, seorang asisten profesor filsafat di Northeastern University London, mengemukakan pandangannya untuk Al Jazeera. Para ahli etika dan pengacara internasional menarik garis kritis antara perang preemptif dan preventif. Preemptif menanggapi ancaman yang akan segera terjadi—serangan langsung. Perang preventif menyerang kemungkinan ancaman di masa mendatang. Hanya yang pertama memenuhi kriteria moral yang berakar pada karya-karya filosofis para pemikir seperti Augustine dan Aquinas, dan ditegaskan kembali oleh para ahli teori modern seperti Michael Walzer—menggemakan apa yang disebut rumus Caroline, yang mengizinkan kekuatan preemptif hanya ketika ancaman itu "seketika, sangat kuat, dan tidak memberikan pilihan, dan tidak ada waktu untuk pertimbangan". Namun, serangan Israel gagal dalam ujian ini. Kemampuan nuklir Iran baru akan rampung dalam beberapa minggu. Diplomasi belum sepenuhnya dilakukan. Dan kehancuran yang mungkin terjadi—termasuk dampak radioaktif dari ruang sentrifus—jauh melampaui kebutuhan militer. Hukum tersebut mencerminkan batasan moral. Pasal 2(4) Piagam PBB melarang penggunaan kekerasan, dengan satu-satunya pengecualian dalam Pasal 51, yang mengizinkan pembelaan diri setelah serangan bersenjata. Seruan Israel untuk pembelaan diri antisipasi bergantung pada kebiasaan hukum yang diperdebatkan, bukan hukum perjanjian yang diterima. Para ahli PBB menyebut serangan Israel sebagai "tindakan agresi terang-terangan" yang melanggar norma jus cogens. Pengecualian yang mahal seperti itu berisiko merusak tatanan hukum internasional. Jika satu negara dapat secara kredibel mengklaim tindakan pencegahan, negara lain juga akan melakukannya—mulai dari China yang bereaksi terhadap patroli di dekat Taiwan, hingga Pakistan yang bereaksi terhadap sikap India—yang mana akan merusak stabilitas global. Para pembela Israel menanggapi bahwa ancaman eksistensial membenarkan tindakan drastis. Para pemimpin Iran memiliki sejarah retorika yang bermusuhan terhadap Israel dan secara konsisten mendukung kelompok-kelompok bersenjata seperti Hizbullah dan Hamas. Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel baru-baru ini berpendapat bahwa ketika keberadaan suatu negara terancam, hukum internasional kesulitan untuk memberikan jawaban yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Bekas luka historis itu nyata. Namun para filsuf memperingatkan bahwa kata-kata, betapapun penuh kebencian, tidak sama dengan tindakan. Retorika berdiri terpisah dari tindakan. Jika ucapan saja membenarkan perang, negara mana pun dapat melancarkan perang preemptif berdasarkan retorika kebencian. Kita berisiko memasuki "keadaan alamiah" global, di mana setiap momen yang menegangkan menjadi penyebab perang Teknologi Menulis Ulang Aturan Teknologi memperketat tekanan pada kehati-hatian moral. Drone dan pesawat F-35 yang digunakan dalam Rising Lion bekerja sama untuk melumpuhkan pertahanan Iran dalam hitungan menit. Negara-negara dulunya dapat mengandalkan waktu untuk berdebat, membujuk, dan mendokumentasikan. Rudal hipersonik dan drone bertenaga AI telah mengikis jendela itu—menghadirkan pilihan yang sulit: bertindak cepat atau kehilangan kesempatan. Sistem ini tidak hanya mempersingkat waktu pengambilan keputusan—tetapi juga menghilangkan batas tradisional antara masa perang dan masa damai. Ketika pengawasan drone dan sistem otonom tertanam dalam geopolitik sehari-hari, perang berisiko menjadi kondisi default, dan perdamaian menjadi pengecualian. Kita mulai hidup bukan di dunia yang penuh krisis sementara, tetapi dalam apa yang disebut filsuf Giorgio Agamben sebagai keadaan pengecualian permanen—suatu kondisi di mana keadaan darurat membenarkan penangguhan norma, bukan hanya sesekali tetapi terus-menerus. Dalam dunia seperti itu, gagasan bahwa negara harus secara terbuka membenarkan tindakan kekerasan mulai terkikis. Keunggulan taktis, yang disebut sebagai "keunggulan relatif", memanfaatkan kerangka waktu yang terkompresi ini—tetapi memperoleh kemajuan dengan mengorbankannya. Di era di mana intelijen rahasia memicu reaksi yang hampir seketika, pengawasan etika pun surut. Doktrin langkah pertama di masa depan akan lebih mengutamakan kecepatan daripada hukum, dan kejutan daripada proporsi. Jika kita kehilangan perbedaan antara perdamaian dan perang, kita berisiko kehilangan prinsip bahwa kekerasan harus selalu dibenarkan—bukan diasumsikan. Jalan Kembali ke Pengendalian Diri Tanpa perbaikan arah segera, dunia menghadapi risiko norma baru: perang sebelum akal sehat, ketakutan sebelum fakta. Piagam PBB bergantung pada kepercayaan bersama bahwa kekuatan tetaplah pengecualian. Setiap serangan yang disiarkan di televisi mengikis kepercayaan itu, yang mengarah pada perlombaan senjata dan serangan refleksif. Untuk mencegah rentetan konflik yang didorong oleh rasa takut ini, beberapa langkah penting dilakukan. Harus ada verifikasi yang transparan: Klaim tentang "ancaman yang akan segera terjadi" harus dinilai oleh entitas yang tidak memihak—pemantau IAEA, komisi penyelidikan independen—bukan dikubur dalam berkas rahasia. Diplomasi harus diutamakan: Pembicaraan, jalur belakang, sabotase, sanksi—semua harus dibuktikan habis sebelum serangan. Bukan sebagai pilihan, bukan secara retroaktif. Harus ada penilaian publik terhadap risiko sipil: Pakar lingkungan dan kesehatan harus mempertimbangkannya sebelum perencana militer menarik pelatuk. Media, akademisi, dan publik harus bersikeras bahwa ambang batas ini dipenuhi—dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Perang preemptif, dalam kasus yang jarang terjadi, dapat dibenarkan secara moral—misalnya, rudal yang disiapkan di landasan peluncuran, armada yang melintasi garis merah. Namun, standar itu memang dirancang tinggi. Serangan Israel terhadap Iran bukanlah preventif, serangan itu diluncurkan bukan untuk melawan serangan yang sedang berlangsung, tetapi untuk melawan kemungkinan yang ditakutkan. Melembagakan ketakutan itu sebagai dasar perang adalah undangan untuk konflik yang terus-menerus. Jika kita mengabaikan kehati-hatian atas nama rasa takut, kita mengabaikan batasan moral dan hukum bersama yang menyatukan umat manusia. Tradisi perang yang adil menuntut kita untuk tidak pernah memandang mereka yang mungkin menyakiti kita sebagai ancaman belaka—tetapi sebagai manusia, yang masing-masing layak untuk dipertimbangkan dengan saksama. Perang Iran-Israel lebih dari sekadar drama militer. Perang ini adalah ujian: apakah dunia masih akan mempertahankan batasan antara pembelaan diri yang dibenarkan dan agresi yang tak terkendali? Jika jawabannya tidak, maka ketakutan tidak hanya akan membunuh tentara. Ketakutan akan membunuh harapan rapuh bahwa pengendalian diri dapat membuat kita tetap hidup. [BP]](https://koransulindo.com/wp-content/uploads/2025/07/Asap-mengepul-di-Teheran-180x135.jpeg)
