Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah militer Jepang membentuk berbagai organisasi keamanan untuk mendukung agenda kolonialnya. Salah satu organisasi tersebut adalah Keibodan, yang didirikan pada 29 April 1943 bersama dengan Seinendan.
Sebagai barisan pembantu polisi, Keibodan bertugas menjaga keamanan dan ketertiban di desa-desa, terutama melalui penjagaan gardu, pengaturan lalu lintas, serta ronda malam. Dalam tugas-tugas ini, para anggota Keibodan dipersenjatai secara sederhana, terutama dengan takeyari (bambu runcing).
Keibodan berada di bawah kendali Departemen Kepolisian dan memiliki fungsi utama melenyapkan elemen-elemen anti-Jepang serta menjaga masyarakat dari ancaman yang mungkin timbul, baik dari dalam maupun luar.
Awalnya, Keibodan diarahkan pada operasi keamanan yang berfokus pada masa perang. Namun, seiring perkembangan, ketika dibentuk organisasi-organisasi militer dan semi-militer, seperti Barisan Pelopor dan PETA untuk pertahanan tanah air.
Peran Keiodan meluas ke ranah ekonomi, seperti mencegah pelanggaran peraturan ekonomi, menggeledah padi yang disembunyikan, hingga menyita komoditas yang dianggap melanggar kebijakan Jepang.
Anggota Keibodan direkrut dari kalangan laki-laki berusia 20-35 tahun kemudian diubah menjadi 26-35, meskipun batas usia ini sering kali dilanggar karena kekurangan tenaga.
Anggota dipilih berdasarkan kesehatan fisik, kekuatan, dan catatan kelakuan baik. Latihan mereka dilakukan dua kali seminggu, meliputi latihan semi-militer dengan pentungan dan bambu runcing, baris-berbaris, serta taiso (gerak badan).
Para guru sekolah dan agama sering ditunjuk sebagai instruktur. Selain itu, di beberapa daerah, anggota Keibodan juga diajari bahasa Jepang sebagai bagian dari upaya Jepang menyebarkan pengaruhnya.
Unit dasar Keibodan dibentuk di tingkat desa, dengan kepala desa sebagai komandan dan kepala dukuh sebagai pemimpin subdivisi yang disebut han. Han menjadi unit yang lebih aktif dalam kegiatan sehari-hari.
Pengawasan terhadap Keibodan dilakukan oleh kepala kepolisian kecamatan atau oleh kepala kecamatan jika tidak ada pos polisi. Setiap unit Keibodan desa memiliki 50-150 anggota, meskipun jumlah pemuda yang direkrut sering kali melebihi angka ini karena tekanan atau paksaan dari Jepang dan pejabat lokal.
Keibodan juga memiliki beberapa unit khusus, seperti Kakyo Keibotai (Korps Kewaspadaan Peranakan Tionghoa) yang anggotanya adalah pemuda Tionghoa, dan Tokubetsu Keibotai (Pasukan Pengawal Istimewa), yang merupakan barisan pilihan.
Selain di Jawa, Keibodan juga didirikan di wilayah-wilayah lain seperti Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera, organisasi ini dikenal sebagai Bogodan, sedangkan di Kalimantan disebut Borneo Konan Hokokudan. Tidak seperti di Jawa, kedua wilayah ini tidak memiliki markas besar terpusat untuk mengelola barisan tersebut.
Keibodan menjadi salah satu instrumen Jepang dalam mengendalikan masyarakat Indonesia. Meski memberikan pelatihan yang bermanfaat bagi sebagian anggotanya, organisasi ini juga mencerminkan strategi represif dan eksploitatif Jepang selama pendudukan, yang meninggalkan dampak mendalam pada kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia. [UN]