Ritual Tiwah umat Kaharingan (kaskus.id)

Koran Sulindo – Kalimantan, yang terkenal dengan kekayaan hutan tropis dan keanekaragaman hayatinya, juga menyimpan kekayaan budaya yang tak kalah menarik.

Salah satunya adalah Agama Kaharingan, sebuah kepercayaan asli yang mengakar kuat di tengah masyarakat Dayak. Terlahir dari kearifan lokal, Kaharingan bukan hanya sebuah agama, tetapi juga cara hidup yang memadukan penghormatan terhadap alam dan leluhur. Kepercayaan ini telah ada sejak zaman dahulu kala sebelum kedatangan agama-agama besar di Indonesia.

Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengenai sejarah dan perkembangan agama Kaharingan, konsep ketuhanan yang diusungnya, serta tantangan yang dihadapi dalam memperjuangkan pengakuan formal sebagai bagian dari identitas Dayak.

Sejarah Agama Kaharingan

Mengutip beberapa sumber, agama Kaharingan menjadi salah satu agama tertua di Nusantara, Kaharingan mencerminkan kedekatan masyarakat Dayak dengan alam serta leluhur mereka. Meskipun tradisi ini telah ada jauh sebelum pengakuan formal, nama “Kaharingan” baru dikenal secara luas pada tahun 1944.

Pada masa itu, Tjilik Riwut, seorang tokoh terkemuka Dayak yang menjadi Residen Sampit, memperkenalkan istilah tersebut kepada masyarakat. Di tengah masa pendudukan Jepang pada tahun 1945, pemerintah Jepang bahkan mengakui Kaharingan sebagai agama Dayak, dalam upaya untuk meraih dukungan masyarakat lokal selama Perang Dunia II.

Sejak tahun 1950-an, penganut Kaharingan mulai memperjuangkan pengakuan resmi dari pemerintah Indonesia. Namun, setelah proses panjang dan penuh tantangan, barulah pada tahun 1980 Kaharingan dikategorikan sebagai cabang dari agama Hindu dengan sebutan Hindu Kaharingan.

Integrasi ini dilakukan untuk memudahkan para penganutnya dalam mengakses hak-hak sipil dan keagamaan yang setara dengan pemeluk agama lain di Indonesia. Meskipun begitu, banyak pengikut Kaharingan yang merasa bahwa penggabungan ini mengaburkan identitas asli mereka sebagai pemeluk agama Kaharingan.

Waktu Kemunculan

Agama Kaharingan sebenarnya telah ada sejak lama, jauh sebelum kedatangan agama-agama seperti Islam dan Kristen di Indonesia. Kepercayaan ini merupakan warisan leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Namun, pengakuan formalnya sebagai agama baru terjadi pada tahun 1944. Setelah diperkenalkan oleh Tjilik Riwut dan diakui oleh pemerintah Jepang, Kaharingan terus berkembang hingga akhirnya, pada tahun 1980, agama ini terintegrasi dengan Hindu.

Perkembangan ini mencerminkan dinamika yang kompleks antara upaya pelestarian tradisi asli Dayak dengan konteks administrasi keagamaan Indonesia yang modern.

Konsep Ketuhanan dalam Agama Kaharingan

Agama Kaharingan memiliki konsep ketuhanan yang unik dan bervariasi sesuai dengan wilayah tempat kepercayaan ini berkembang.

Tuhan dalam agama Kaharingan sering disebut sebagai Ranying Hatalla Langit, yang berarti “Tuhan Yang Maha Esa” atau “Pencipta Alam Semesta” dalam bahasa Sangiang. Nama ini mencerminkan penghormatan yang mendalam terhadap Tuhan sebagai penguasa dan pencipta alam.

Di wilayah Barito, Tuhan disebut sebagai Yustu Ha Latalla, sementara di Kotawaringin Barat dikenal dengan sebutan Sanghyang Dewata. Beragamnya nama untuk Tuhan ini menunjukkan kekayaan budaya Dayak yang heterogen dalam memahami dan menyembah kekuatan ilahi.

Simbol penting dalam Kaharingan adalah Batang Garing, yang melambangkan pohon kehidupan. Simbol ini merupakan representasi dari hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan, serta sering ditemui dalam berbagai aspek budaya Dayak.

Batang Garing menjadi simbol identitas penganut Kaharingan yang menghormati keseimbangan dan keterikatan antara semua elemen kehidupan.

Agama Kaharingan dalam Konteks Budaya dan Keagamaan Indonesia

Secara keseluruhan, Kaharingan merupakan agama yang mencerminkan nilai-nilai budaya Dayak dan mengintegrasikan pandangan hidup yang berfokus pada alam, leluhur, dan Tuhan.

Sejarah panjangnya memperlihatkan perjalanan masyarakat Dayak dalam mempertahankan identitas dan keyakinan mereka di tengah perubahan sosial dan politik Indonesia.

Meski harus mengalami integrasi dengan Hindu untuk mendapatkan pengakuan formal, Kaharingan tetap merupakan bagian integral dari warisan budaya Dayak yang kaya.

Agama Kaharingan bukan hanya sebuah kepercayaan, melainkan cerminan dari perjuangan masyarakat Dayak dalam menjaga jati diri mereka dan menjalankan kepercayaan asli di tanah kelahiran mereka. [UN]