Koran Sulindo – Peristiwa G30S (Gerakan 30 September) merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini, yang terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965, menewaskan sejumlah jenderal Angkatan Darat dan memicu pergolakan politik yang mengguncang bangsa Indonesia.
Di balik tragedi ini, nama Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit muncul sebagai sosok yang paling sering dikaitkan dengan peristiwa tersebut. Namun, peran sebenarnya dari Aidit dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa ini hingga kini masih menjadi misteri.
Latar Belakang DN Aidit dan Perjalanan Politiknya
Dilansir dari kompas.com, DN Aidit, yang lahir dengan nama Achmad Aidit pada 30 Juli 1923 di Belitung, merupakan anak sulung dari pasangan Abdullah Aidit dan Mailan.
Ayahnya, Abdullah, adalah seorang tokoh Islam yang disegani di kampung halamannya, dan sempat menjadi anggota DPRD dari Partai Masyumi, sebuah partai berbasis Islam.
Meskipun berasal dari latar belakang keluarga yang religius, DN Aidit akhirnya memilih jalur yang berbeda dalam hidupnya, yang kemudian membawanya menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah pergerakan komunisme di Indonesia.
Sejak kecil, DN Aidit dikenal rajin beribadah dan pandai mengaji. Bahkan, ia sempat menjadi muadzin di musala setempat. Namun, pandangan dunia Aidit mulai berubah ketika ia melanjutkan pendidikan di Jakarta pada usia 13 tahun.
Di sana, Aidit terlibat aktif dalam berbagai kelompok pergerakan, termasuk Persatuan Timur Muda, yang kemudian ia pimpin. Pada masa inilah ia mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara, nama yang nantinya akan lebih dikenal sebagai DN Aidit.
Aidit terus memperkuat posisinya di panggung politik, terutama setelah bergabung dengan PKI. Di bawah kepemimpinannya, pada 1960-an, PKI berkembang pesat dan menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan RRC.
Aidit pun memimpin PKI dengan semangat dan ambisi yang besar, meskipun ia menyadari betapa rapuhnya posisi partai dalam peta politik Indonesia yang didominasi oleh militer dan kelompok-kelompok Islam.
PKI dan G30S: Antara Tuduhan dan Fakta
Pada 30 September 1965, sejumlah jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh dalam sebuah operasi yang kemudian dikenal sebagai G30S.
Pihak militer, terutama Angkatan Darat yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, menuduh PKI sebagai dalang di balik peristiwa tersebut.
DN Aidit, sebagai Ketua PKI, secara otomatis dianggap sebagai aktor intelektual di balik tragedi ini. Namun, peran Aidit dalam G30S hingga kini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sepenuhnya.
Beberapa sumber menyatakan bahwa Aidit memang terlibat dalam perencanaan G30S, bahkan ia sempat mengaku bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Namun, pengakuan ini diperdebatkan dan tidak semua tokoh sepakat dengan tuduhan ini. Wakil Perdana Menteri era Soekarno, Soebandrio, misalnya, menolak tuduhan bahwa PKI adalah dalang utama.
Menurutnya, G30S justru didalangi oleh militer dan PKI hanya terseret dalam pusaran konflik. Begitu pula Njoto, tokoh penting lainnya dalam PKI, yang dengan tegas membantah keterlibatan partai dalam pembunuhan para jenderal tersebut.
Sementara itu, beberapa saksi dan sejarawan juga memiliki pandangan yang berbeda. Kolonel Abdul Latief, salah satu tokoh yang dianggap terlibat dalam G30S, menyatakan bahwa gerakan ini awalnya dirancang untuk menggagalkan upaya kudeta yang direncanakan oleh Dewan Jenderal.
Namun, menurutnya, gerakan ini kemudian diselewengkan oleh beberapa oknum dalam PKI hingga akhirnya berubah menjadi operasi pembunuhan yang tidak diinginkan.
Dengan latar belakang ini, muncul spekulasi bahwa ada perpecahan internal di tubuh PKI, dan DN Aidit mungkin telah “dikorbankan” oleh pihak-pihak tertentu.
Akhir Hidup DN Aidit
Setelah G30S meletus dan PKI secara resmi dituduh sebagai dalang utama, DN Aidit menyadari bahwa posisinya dalam bahaya. Ia melarikan diri dari Jakarta dan menuju ke Yogyakarta serta Jawa Tengah, yang dikenal sebagai basis kuat PKI.
Namun, pelarian ini tidak berlangsung lama. Pada 22 November 1965, DN Aidit ditangkap oleh pasukan yang dipimpin Kolonel Yasir Hadibroto di Desa Sambeng, Solo. Keesokan harinya, Aidit dieksekusi mati di Boyolali tanpa melalui proses pengadilan.
Kematian DN Aidit masih menyisakan tanda tanya besar. Tidak ada yang tahu secara pasti di mana jasadnya dimakamkan, dan hal ini menambah misteri seputar kehidupannya.
Bahkan, anak DN Aidit sendiri sempat mengalami kesulitan dalam menemukan makam sang ayah. Setelah bertahun-tahun mencari, akhirnya diketahui bahwa makam Aidit diduga berada di pekarangan belakang markas Kodim Boyolali, meskipun hal ini belum dapat dikonfirmasi secara resmi.
Kontroversi Pengakuan Aidit dan Misteri G30S
Sebelum dieksekusi, DN Aidit kabarnya sempat membuat pengakuan sepanjang 50 lembar yang kemudian jatuh ke tangan Risuke Hayashi, seorang koresponden koran Asahi Evening News di Tokyo.
Dalam pengakuannya, Aidit disebut-sebut mengaku bertanggung jawab atas G30S. Namun, pengakuan ini juga menimbulkan kontroversi, terutama karena beberapa tokoh yang dekat dengan peristiwa tersebut membantah keterlibatan PKI.
Hingga hari ini, peran DN Aidit dan PKI dalam G30S masih diperdebatkan. Beberapa pihak meyakini bahwa Aidit memang terlibat dalam konspirasi untuk menggulingkan kekuasaan, sementara yang lain berpendapat bahwa Aidit dan PKI adalah korban dari permainan politik yang lebih besar.
Meskipun demikian, sejarah tetap mencatat DN Aidit sebagai salah satu tokoh sentral dalam tragedi yang mengubah arah sejarah Indonesia.
Peristiwa G30S dan peran DN Aidit di dalamnya adalah bagian penting dari sejarah Indonesia yang masih terus dipelajari dan diperdebatkan.
Sejarah ini tidak hanya tentang tokoh-tokoh yang terlibat, tetapi juga tentang luka yang ditinggalkan bagi bangsa ini. Hingga saat ini, misteri G30S masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, dan DN Aidit, sebagai salah satu aktor utama, tetap menjadi sosok kontroversial dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia.
Meski penuh dengan kontroversi, kisah DN Aidit dan PKI menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika politik Indonesia. Sejarah mungkin tidak akan pernah memberikan jawaban yang pasti, tetapi peristiwa ini mengingatkan kita akan betapa rapuhnya kehidupan politik di masa-masa penuh gejolak. [UN]