Soekarno dan Kim Il-sung. (timawa.net)
Soekarno dan Kim Il-sung. (timawa.net)

Koran Sulindo – Poros Jakarta-Pyongyang-Peking adalah salah satu inisiatif penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia selama era Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno.

Diresmikan pada Januari 1965, poros ini mencerminkan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang cenderung anti-Barat dan pro-komunis. Meskipun Indonesia mengusung politik luar negeri bebas-aktif, pendekatan Sukarno jelas memperlihatkan kemesraannya dengan negara-negara komunis seperti Tiongkok (Peking) dan Korea Utara (Pyongyang), sebagai respons terhadap dominasi kekuatan Barat.

Latar Belakang Politik Luar Negeri Sukarno

Salah satu tonggak penting dalam politik luar negeri Sukarno adalah konfrontasinya dengan Malaysia. Sukarno memandang pembentukan Federasi Malaysia sebagai bentuk imperialisme Barat yang diperjuangkan oleh Inggris.

Ketika Malaysia mendapatkan kursi sebagai anggota tidak tetap di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Sukarno memutuskan untuk keluar dari PBB sebagai bentuk protes.

Langkah ini semakin mengisolasi Indonesia dari negara-negara Asia-Afrika lainnya, yang pada saat itu masih bergantung pada dukungan internasional dari organisasi seperti PBB.

Untuk menghadapi isolasi ini, Sukarno, melalui Menteri Luar Negeri Soebandrio, memperkuat hubungan dengan Tiongkok. Perdana Menteri Zhou Enlai menawarkan bantuan persenjataan dalam bentuk milisi rakyat yang disebut “Angkatan Kelima,” sebuah kekuatan paramiliter yang anggotanya berasal dari pekerja dan buruh perkotaan serta petani miskin di pedesaan.

Gagasan ini didukung penuh oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Aidit, yang melihat Angkatan Kelima sebagai sarana memperkuat dukungan kaum komunis di Indonesia.

Poros Jakarta-Pyongyang-Peking: Simbol Anti-Imperialisme

Sukarno kemudian meresmikan poros Jakarta-Pyongyang-Peking dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1965. Poros ini dibentuk dengan tujuan mematahkan kekuatan-kekuatan lama yang disebutnya sebagai Old Established Forces (OLDEFOS) dan mendukung New Emerging Forces (NEFOS), yakni kekuatan-kekuatan baru yang anti-imperialisme.

Dalam konsep Sukarno, OLDEFOS diwakili oleh negara-negara kapitalis Barat, sementara NEFOS terdiri dari negara-negara sosialis di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Konsep NEFOS mencerminkan pandangan Sukarno bahwa dunia terbagi menjadi dua kekuatan utama: kekuatan imperialisme dan kolonialisme di satu sisi, dan kekuatan anti-imperialisme di sisi lain.

Di bawah politik bebas-aktifnya, Indonesia berusaha mengambil peran aktif sebagai subyek dalam hubungan internasional, bukan sebagai obyek. Sukarno menolak pandangan bahwa politik non-alignment atau non-blok berarti netralitas; baginya, kebijakan ini justru harus aktif melawan dominasi imperialisme Barat.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia dan Dampaknya

Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia menarik reaksi dari Inggris dan Australia, yang mendukung Malaysia. Ketegangan di kawasan ini meningkat ketika Singapura, di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, memisahkan diri dari Federasi Malaysia pada 9 Agustus 1965.

Peristiwa ini semakin memperkuat pandangan Sukarno bahwa konfrontasi dengan Malaysia adalah bagian dari perjuangan melawan imperialisme Barat.

Namun, situasi politik di Indonesia berubah drastis setelah Gerakan 30 September (G30S) pada 1965. Pergantian kekuasaan yang memunculkan Orde Baru di bawah Suharto membawa perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia.

Hubungan dengan Tiongkok memburuk akibat tuduhan bahwa Beijing mendukung G30S. Kedutaan Besar Indonesia di Peking bahkan ditutup untuk waktu yang tidak ditentukan, menandakan keretakan dalam hubungan diplomatik kedua negara.

Selain itu, konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura juga dianggap tidak lagi sesuai dengan arah kebijakan baru Indonesia yang lebih pragmatis. Akibatnya, poros Jakarta-Pyongyang-Peking secara de facto berakhir, seiring dengan perubahan arah politik Indonesia menuju rekonsiliasi dan keterbukaan terhadap negara-negara Barat.

Poros Jakarta-Pyongyang-Peking adalah simbol penting dari politik luar negeri Sukarno yang anti-imperialis dan pro-komunis. Di tengah isolasi diplomatik dan ketegangan regional, poros ini menjadi instrumen bagi Indonesia untuk menempatkan dirinya di antara negara-negara NEFOS yang menolak dominasi OLDEFOS.

Namun, setelah jatuhnya Sukarno dan lahirnya Orde Baru, politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan besar, yang ditandai dengan pembubaran poros ini dan pergeseran hubungan dengan Tiongkok serta Malaysia.

Politik konfrontatif Sukarno pada era Demokrasi Terpimpin memberikan pelajaran penting tentang dinamika hubungan internasional Indonesia di masa lalu dan bagaimana politik bebas-aktif diimplementasikan dalam konteks anti-imperialisme. [UN]