Ilustrasi calon kepala daerah melawan kotak kosong. (Sulindo/KS)
Ilustrasi calon kepala daerah melawan kotak kosong. (Sulindo/KS)

OPINI – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia sudah memakai sistem pilihan langsung sejak era reformasi bergulir. Rakyat bisa memilih calonnya dengan cara coblos langsung, satu orang satu suara, ini bagian mendasar dari demokrasi. Era sebelumnya kepala daerah dipilih oleh anggota dewan.

Dalam perjalanannya sistem ini mengalami banyak pembiasan, partai politik (parpol) mulai mengusik dengan berbagai cara untuk meraih kemenangan, dengan jalur yang abu-abu. Parpol membentuk koalisi yang besar sehingga hampir mustahil ada calon lain sebagai penantang. Memang disediakan mekanisme jalur independen di Pilkada bupati/walikota/gubernur, tetapi begitu rumit dan mahal jalur ini.

Peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan di KPU.

Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024  Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD. MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Partai politik/gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon dengan syarat perolehan suara mulai 6,5% hingga 10% tergantung jumlah penduduk suatu daerah.

Dari syarat tersebut idealnya akan ada 8-12 pasangan calon di Pilkada, rakyat mendapat sekian calon untuk dipilih.

Tidak demikian realitanya sekarang ini, parpol membentuk koalisi besar sehingga tinggal satu-dua partai kecil di luarnya, yang tidak cukup suara untuk mengajukan calon. Di beberapa daerah hanya ada satu pasang calon di Pilkada. Rakyat hanya bisa memilih calon tersebut atau tidak memilihnya, di sini disediakan ‘kotak kosong’ sebagai pilihan.

Banyak kotak kosong bakal meramaikan Pilkada Serentak 2024 November mendatang karena akal-akalan parpol untuk memenangkan calon usungannya.

Tentu terjadi ketimpangan, calon tunggal bakal melaju dalam kampanye dengan sumber daya koalisi parpol, sementara kotak kosong pasip menunggu pemilih.

Ketua KPU Mochammad Afifuddin menyatakan ada 35 wilayah yang akan menggelar Pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong.

Dia menjelaskan KPU hanya akan memfasilitasi pasangan calon kepala daerah yang mendaftar dan memenuhi syarat untuk maju dalam Pilkada 2024. Afif menegaskan hanya calon yang telah ditetapkan yang dapat melakukan kampanye. Sementara kotak kosong hanya disertakan dalam proses pengundian nomor urut.

Kendati demikian, KPU juga tidak berwenang melarang pihak-pihak yang dengan sengaja mengkampanyekan kotak kosong, sebab aturan perihal itu belum diakomodasi dalam Peraturan KPU (PKPU).

Bagaimana jika kotak kosong menang di Pilkada?

Berdasarkan Pasal 54D UU Nomor 10 Tahun 2016, calon tunggal dinyatakan sebagai pemenang Pilkada jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen suara sah. Namun, calon tunggal dianggap kalah jika tak mencapai suara lebih dari 50 persen suara sah.

Apabila calon tunggal kalah, maka yang bersangkutan bisa mencalonkan lagi di Pilkada tahun berikutnya atau Pilkada yang sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

Jika calon tunggal tidak meraih 50 persen, itu artinya kotak kosong memenangkan Pilkada. Jika wilayah masih mengalami kekosongan kepemimpinan karena kotak kosong Pilkada, maka pemerintah akan menunjuk penjabat (Pj) gubernur, bupati atau wali kota untuk memimpin sementara wilayah sampai terpilihnya kepala daerah definitif hasil Pilkada.

Akal-akalan Parpol

Ini bukan masalah menang kalah dalam Pilkada, tetapi bagaimana para parpol berkoalisi sebesar-besarnya sehingga menutup peluang munculnya banyak calon di Pilkada. Rakyat hampir  tidak dilibatkan dalam memilih siapa yang layak menjadi pemimpinnya di suatu daerah, semua diatur oleh koalisi parpol dengan segala kepentingannya.

Kejadian seperti ini bakal memicu rakyat yang apatis pada Pilkada, malas memberi suara untuk memilih. Pilkada tidak lagi menarik untuk diikuti, mereka bakal menjadi Golput.

Juga bakal banyak yang datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih kotak kosong untuk memberi efek kejut jika calon tunggal kalah. Koalisi parpol bakal berpikir ulang untuk tidak main-main mengakali rakyat.

Pembentukan koalisi besar juga terjadi di pusat (DPR-RI), di mana hampir semua parpol peserta Pemilu 2024 bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus sebagai pendukung pemenang Pilpres (Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming) dan hanya menyisakan PDI Perjuangan di luar koalisi.

Koalisi besar bukan pilihan yang tepat dalam negara demokrasi, mereka bakal menyatukan suara untuk mendukung pemerintahan tanpa sikap kritis. Pemerintahan mendatang bakal tidak punya lawan/oposisi yang cukup suara sebagai pembanding kekuatan parpol koalisi. Seolah-olah demokrasi tapi semua diatur satu suara. [KS]