Potret grup saat konferensi Persatuan Pegawai Negeri Sipil (Ambtenaar) Dinas Kehutanan Hindia Belanda (VHABINOI) di Yogyakarta pada 1915. (Wikimedia Commons)

Koran Sulindo – Dalam sejarah panjang birokrasi Indonesia, profesi pegawai negeri selalu memiliki daya tarik tersendiri. Di masa kolonial, menjadi seorang ambtenaar sebuah istilah yang merujuk pada pegawai negeri sipil Belanda adalah impian banyak anak pribumi.

Mereka dikenal dengan ciri khas setelan jas putih-putih, topi bundar keras, kumis melintir, dan sepeda “kebo” yang melambangkan status sosial tinggi. Bagi masyarakat pribumi, pekerjaan sebagai ambtenaar dianggap sebagai jaminan kehidupan yang lebih baik dan terhormat.

Namun, di balik penampilan rapi dan prestisius, kaum ambtenaar sering kali dicap sebagai kelompok yang mempersulit urusan publik. Alih-alih melayani, mereka justru lebih suka dilayani.

Birokrasi yang berbelit-belit, sok sibuk, dan cenderung menunda-nunda pekerjaan menjadi ciri khas para pegawai kolonial ini. Urusan yang seharusnya mudah sering kali dipersulit, sementara masalah yang sudah rumit menjadi semakin sulit.

Dampak Resesi Ekonomi dan Demonstrasi 1932

Kehidupan ambtenaar mulai terguncang saat resesi ekonomi melanda pada tahun 1929. Krisis ini, yang dikenal sebagai Depresi Besar (Maleise), membawa dampak besar bagi ekonomi Belanda dan sektor perdagangan di Hindia Belanda.

Banyak perusahaan besar tutup, terutama perusahaan onderneming atau perkebunan, yang menjadi tulang punggung perekonomian kolonial. Banyak pegawai ambtenaar pun harus diberhentikan.

Puncaknya terjadi pada 26 Desember 1932, ketika ribuan ambtenaar turun ke jalan melakukan demonstrasi besar-besaran di Batavia. Mereka menuntut kenaikan gaji dan penurunan harga kebutuhan pokok.

Krisis ini memaksa pemerintah Belanda mengambil tindakan, termasuk memangkas kekuasaan VOC dan mengadopsi sistem pemerintahan baru yang melibatkan kaum pribumi sebagai aparatur pemerintahan.

Pembentukan Binnenlandsche Bestuur dan Sekolah Pegawai Bumiputra

Keterlibatan kaum pribumi dalam sistem pemerintahan diperkuat oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels, yang ditugaskan untuk memperbaiki birokrasi di Hindia Belanda.

Daendels membentuk tiga sistem kekuasaan, yaitu Europeesch Bestuur (pemerintahan orang Eropa), Inlandsch Bestuur (pemerintahan bumiputra), dan Vreemde Oosterlingen (pemerintahan masyarakat Timur Asing seperti Cina dan Arab).

Ketiga sistem ini dikelola di bawah satu atap, yakni Binnenlandsche Bestuur (BB), yang menjadi cikal bakal birokrasi modern di Indonesia.

Untuk memastikan kaum pribumi memiliki kemampuan yang memadai sebagai aparatur pemerintah, didirikanlah sekolah-sekolah khusus, salah satunya Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA).

OSVIA menjadi pilihan bagi kaum bangsawan dan priayi, karena setelah lulus mereka dijamin mendapatkan posisi di pemerintahan dengan gaji tinggi dan jenjang karier yang jelas. Juga memiliki strata sosial yang tinggi di kalangan masyarakat.

Namun, kebijakan karier di zaman kolonial ini memiliki keanehan. Bagi bumiputra yang dianggap terlalu fanatik dalam beragama, jenjang kariernya justru terhambat. Sebaliknya, mereka yang menunjukkan sikap sekuler, seperti tidak menjalankan ibadah agama dengan ketat, lebih mudah mendapatkan promosi jabatan.

Seorang pegawai yang suka minum alkohol, memelihara anjing, tidak melakukan kewajiban sholat, berpuasa dan lainnya bagi umat muslim lebih mudah naik jabatan dibandingkan mereka yang religius. Hal ini tercatat dalam tulisan Ong Hok Ham dalam bukunya “Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong” (2002).

Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI)

Setelah Indonesia merdeka, semangat melayani publik tetap menjadi inti dari pegawai negeri. Setiap 29 November diperingati sebagai Hari Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI), yang pada tahun 2024 ini KORPRI merayakan ulang tahun ke-53.

KORPRI adalah organisasi yang anggotanya terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai BUMN, BUMD, dan anak perusahaan.

Pada awalnya, KORPRI sempat dimanfaatkan untuk kepentingan politik, terutama selama periode Orde Baru. Namun sayangnya, pada tahun 1975 ada upaya yang menjadikan KORPRI sebagai kekuatan politik.

Berdasarkan UU No.3 Th.1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi KORPRI dalam memperkuat barisan partai.

Birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional KORPRI, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu.

Namun, setelah Reformasi 1998, konsep monoloyalitas tersebut ditolak, dan KORPRI bertransformasi menjadi organisasi yang netral dari kepentingan politik, fokus pada pelayanan publik, dan menjaga profesionalisme anggotanya.

Panca Prasetya KORPRI berdasarkan PP Nomor 12 tentang Perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin menjadi anggota Parpol.

Dengan adanya ketentuan di dalam PP ini, membuat anggota KORPRI tidak dimungkinkan untuk ikut dalam kancah partai politik apapun. KORPRI hanya bertekad berjuang untuk menyukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara.

Aparatur Sipil Negara (ASN) di Era Modern

Saat ini, istilah Aparatur Sipil Negara (ASN) digunakan untuk merujuk pada pegawai pemerintahan yang mencakup dua kategori, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Sehingga ASN belum tentu PNS, akan tetapi PNS sudah pasti ASN. PNS adalah warga negara yang diangkat secara tetap oleh pejabat berwenang untuk menduduki jabatan pemerintahan, sedangkan PPPK adalah pegawai yang diangkat berdasarkan kontrak untuk jangka waktu tertentu.

Meskipun statusnya berbeda, baik PNS maupun PPPK sama-sama bertugas melayani masyarakat dan negara, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Perjalanan panjang birokrasi Indonesia, mulai dari ambtenaar di masa kolonial hingga ASN di era modern, mengajarkan pentingnya semangat pelayanan kepada masyarakat.

Peringatan Hari KORPRI setiap tahunnya bukan hanya untuk mengenang sejarah panjang birokrasi, tetapi juga untuk mengingatkan bahwa ASN adalah pelayan, bukan untuk dilayani.

Masyarakat tidak boleh lagi menghadapi birokrasi yang memperlambat proses pelayanan publik dengan motto lama “Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?”

Dengan semangat profesionalisme, netralitas politik, dan orientasi pada pelayanan, ASN diharapkan terus berkembang menjadi garda terdepan dalam membangun Indonesia yang lebih baik. [UN]