Pembangunan Hotel Indonesia pada tahun 1962.
Pembangunan Hotel Indonesia pada tahun 1962.

Hotel Indonesia adalah salah satu bangunan bersejarah di Indonesia. Bangunan ini diprakarsai oleh Presiden Pertama Republik indonesia Ir. Soekarno. Hotel Indonesia dibangun tidak semata proyek mengejar kemegahan saja, namun juga untuk mengharumkan nama Indonesia di dunia dengan memiliki hotel bintang lima bertaraf internasional. Selan itu, Bung Karno juga memiliki keinginan agar tamu negara bisa menginap disana sehingga Ibu Kota Jakarta bisa menggelar perhelatan internasional.

Sejarahnya, pada masa awal Indonesia merdeka sejak 1945, industri pariwisata di Indonesia belum lahir. Atas kondisi tersebut Presiden Soekarno membentuk Panita Pemikir Siasat Ekonomi pada tahun 1949 dengan program upaya peningkatan ekspor-impor, perbaikan prasarana, transmigrasi, dan industrialisasi. Usaha perhotelan masuk kedalam urutan ke 26 dalam rencana industrialisasi.

Saat itu bersamaan dengan masa pergolakan setelah Perang Dunia ke II, ketika Bung Karno bersama pemimpin negara-negara yang baru merdeka menggagas Konfrensi Asia Afrika (KAA) pada 1955. Tetapi karena Ibu Kota Jakarta belum memiliki fasilitas termasuk hotel untuk menampung tamu negara maka KAA diadakan di Bandung. Ada sekitar 29 pemimpin dunia yang hadir di Bandung saat Konfrensi Asia Afrika 1955.

Usai perhelatan KAA, Soekarno beberapa kali menerima tamu negara serta melakukan perjalanan luar negeri. Kunjungan Bung Karno ke luar negeri bertujuan agar negara Indonesia dikenal dunia lebih luas. Dari sanalah Bung Karno menyadari bahwa Indonesia memiliki potensi menjadi tujuan berbagai pemimpin-pemimpin dunia untuk berkunjung. Oleh karena itu Bung Karno ingin agar Indonesia segera memiliki hotel berkelas internasional.

Ia lalu memanggil tokoh perhotelan dan pariwisata Margono Djojohadikusumo untuk membahas rencana pembangunan hotel bertaraf internasional itu. Lokasi Hotel Indonesia dipilih karena dekat dengan Kawasan elite Menteng dan dekat dengan Kota Satelit yakni Kebayoran Baru. Saai itu daerah kebayoran baru sedang tumbuh pesat.

Pembangunan diawali dengan oleh peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Bung Karno pada pertengahan 1959 di tanah seluas 59.235 meter persegi. Pembangunan Hotel Indonesia secara kesuluruhan dipercayakan pada PT Hotel Indonesia, sedangkan untuk konstruksi ditangani oleh PT Pembangunan Perumahan Jakarta dengan subkontraktor Taisei dari Jepang. Arsitek pembangunan Hotel Indonesia adalah Abel Sorenson, seorang arsitek keturunan Denmark berkewarganegaraan Amerika. Abel didampingi oleh Wendy Sorenson yang merupakan istri sekaligus mitra kerjanya.

Pada awalnya gaya arsitektur hotel mengusung Internasional style yang sedang tren saat itu. Salah satu manifes dari langgam ini adalah Gedung PBB dan Gedung Seagram di New York. Bentuk kedua kubus berpampang persegi Panjang disambung dengan koridor membentuk huruf T dan dipenuhi jendela-jendela persegi yang berjajar lurus.

Namun gaya arsitektur awal tidak memperhitungkan lokasi dan iklim sebagai elemen penting dari sebuah bangunan. Hal ini sempat dikomplain oleh Bung Karno yang berkeinginan Hotel Indonesia dibangun tanpa dilengkapi pendingin udara. Tapi kemudian konsep itu berubah ketika ada kunjungan dari Wakil Presiden Uni Sovyet, Anastas Mikoyan. Mikoyan menyayangkan Hotel Indonesia tidak dilengkapi oleh pendingin ruangan. Sepulang Mikoyan, rancangan dasar Hotel Indonesia mengalami perubahan dengan penambahan mesin pendingin ruangan.

Dibangun dengan dana pampasan perang dari Jepang

Pada masa awal kemerdekaan bukan hal mudah mendapatkan dana untuk pembagunan Hotel berkelas internasional tersebut, karena ekonomi Indonesia belumlah stabil pasca perang. Bung karno akhirnya memutuskan dana pampasan perang di pakai untuk mendanai pembangunan Hotel Indonesia.

Sebagai negara yang pernah terjajah oleh Jepang selama 3,5 tahun, Indonesia diberikan hak untuk meminta ganti rugi kepada negara penjajah. Ini merupakan konsekuensi dari kerugian selama perang atau yang lazim disebut pampasan perang. Kesepakatan itu disetujui sebagaimana hasil perjanjian San Francisco pada September 1951.

Selanjutnya dalam perundingan bilateral 1 Januari 1958, pemerintah Jepang menyepakati pembayaran dana pampasan perang kepada Indonesia. Ganti rugi perang ditetapkan sebesar 223.080.000 dollar AS yang diangsur dalam waktu 20 tahun, ditambah dengan penghapusan utang dagang Indonesia pada Jepang sejumlah 117.000.000 dollar AS. Selain dari itu dalam kerja sama ekonomi, Jepang akan menyediakan kredit sebesar 400.000.000 dollar AS untuk membangun perekonomian Indonesia pasca-merdeka.

Dalam Pasal 1 PP Nomor 27 Tahun 1958, dana dari pampasan perang dari Jepang tersebut digunakan untuk membangun sejumlah infrastruktur besar di berbagai lokasi di Indonesia untuk manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Sejumlah proyek yang dibangun oleh Presiden Soekarno dari dana pampasan Jepang antara lain kompleks GBK, Hotel Indonesia, Monumen Nasional (Monas), Jembatan Ampera, Stasiun TVRI, Gedung Sarinah dan Hotel Indonesia.

Pembangunan Hotel Indonesia banyak juga mendapat kritikan karena dilakukan saat ekonomi Indonesia masih terpuruk. Namun Soekarno tetap bersikukuh untuk menyelesaikan proyek tersebut demi memperkenalkan Indonesia di dunia. Akhirnya pembangunan hotel selesai ditandai dengan pengguntingan pita sebagai tanda peresmian hotel ini oleh Bung Karno pada 5 Agustus 1962.

Mengharumkan nama Indonesia

Keinginan Bung Karno megenalkan Indonesia di mata dunia melalui pembangunan Hotel Indonesia akhirnya terwujud. Demi melengkapi bangunan hotel, Bung Karno juga membangun patung selamat datang sebagi simbol keramahan bangsa Indonesia menyambut tamu yang hadir. Hingga kini patung tersebut masih berdiri tegak dan menjadi salah satu karya ikonik di ibu kota Jakarta.

Sejak peresmiannya tahun 1962 Hotel Indonesia telah menjadi tempat bersejarah dengan menjadi hunian tamu negara dan menunjang perhelatan internasional. Salah satunya adalah Asian Games 1962 yang diselenggarakan di Jakarta. Hotel Indonesia menjadi fasilitas akomodasi atlet dan perwakilan negara Asian Games.

Bangunan Hotel Indonesia memiliki kesan megah. Dengan tinggi 16 lantai dan berisi 500 kamar tidur membuatnya sempat menjadi hotel termegah di Asia Tenggara. Hotel Indonesia pada saat itu juga menjadi pusat dari berbagai kegiatan budaya. Mulai dari acara musikal, hinggal pertunjukan teater yang rutin dipentaskan di dalam hotel.

Hotel Indonesia juga mewarnai sejarah musik Indonesia. Beberapa seniman yang melambung namanya dari acara rutin Hotel Indonesia adalah Teguh Karya, yang merupakan manajer panggung, kemudian Slamet Rahardjo dan Rima Melati.

Soekarno memiliki harapan besar dengan membangun Hotel Indonesia. Hotel ini adalah representasi dari kebangkitan jiwa bangsa Indonesia yang berhasil memerdekakan diri dari penjajah. Bahkan Soekarno sendiri menyebut pada pidato peresmian Hotel Indonesia dengan judul “Tunjukkanlah Kepribadian Indonesia” bahwa Hotel Indonesia adalah wajah dari Indonesia itu sendiri. [WAN]