Suciwati, janda almarhum Munir/BBC

Koran Sulindo – Kematian aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib pada 2004 lalu masih menyisakan cerita yang belum usai. Hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu belum diumumkan hingga hari ini.

Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden No. 111 Tahun 2004, pada poin kesembilan, hasil penyelidikan TPF itu mesti diumukan ke publik. Karena itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengajukan permohonan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) pada April lalu.

Janda Munir, Suciwati pada Selasa (2/8) di kantor KIP mengatakan, pihaknya berharap agar Susilo Bambang Yudhoyono mau bersaksi dalam sidang sengketa informasi tersebut. Itu jika Ketua Umum Partai Demokrat dan KIP serius menyelesaikan dan mau mengumumkan hasil akhir penyelidikan TPF.

Terlebih, kata Suci, KIP berwenang untuk memanggil SBY. Permanggilan itu disebut penting demi keterbukaan informasi. Pada 23 Juni 2005, TPF telah menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Presiden Yudhoyono. Namun, hingga hari ini pemerintah sepertinya tidak mau mengumumkan hasil akhir TPF itu.

Itu sebabnya, Suciwati merasa kasus kematian Munir masih menggantung dan belum jelas meski TPF telah menyelesaikan penyelidikannya. Kepada pemerintahan Joko Widodo, Suci berharap kasus kematian Munir dapat diselesaikan, apalagi pemerintahan saat ini peduli pada penegakan hak asasi manusia.

Sementara itu, mantan Sekretaris TPF Usmad Hamid dalam persidangan mengamini apa yang dikatakan Suciwati. Laporan akhir TPF disebut Usman terdiri atas 2 dokumen yaitu Laporan Akhir Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir dan Ringkasan Eksekutifnya.

Munir dibunuh pada 7 September 2004 di pesawat Garuda dalam sebuah penerbangan menuju Amsterdam, Belanda. Munir berencana meneruskan pendidikannya di Universitas Utrecht. Munir dibunuh dengan menggunakan racun arsenik yang yang ditaruh ke makanannya oleh Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus adalah seorang pilot Garuda yang waktu itu sedang cuti.

Selain sebagai pilot, Pollycarpus disebut sebagai anggota Badan Intelijen Negara. Bekas Komandan Kopassus TNI AD Muchdi Purwoprandjono juga disebut sebagai pelaku. Pollycarpus dihukum 14 tahun penjara. Namun dia dibebaskan bersyarat setelah 8 tahun ditahan. Adapun Muchdi, yang saat itu juga salah seorang Deputi BIN, dibebaskan karena saksi kunci, Budi Santono, mencabut keterangannya. [KRG]