Koran Sulindo – Kekuasaan bisa “menggila” dan memakan banyak korban, seperti pada Kasus Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 dan kasus yang menimpa Emir Moeis. Namun, kekuasaan yang kuat pula yang bisa menghentikan kegilaan itu.
SEJARAH kegilaan adalah sejarah kekuasaan. Demikian pandangan pakar sejarahdari Inggris, Roy Porter.
Sejarah memang mencatat, betapa orang bisa bertindak sangat gila untuk mengejar atau mempertahankan kekuasaan. Di negara ini pun banyak catatannya. Salah satu peristiwa gila di negara ini yang terjadi menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996.
Bayangkan saja. Pada 27 Juli 1996 itu, matahari belum lagi merekah, Jakarta masih terang tanah, sekitar pukul 05.00 WIB, tapi ada serombongan orang berkaus merah dengan tulisan “Pro-Kongres IV Medan bergerakdengan sigap menuju kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI di Jalan Diponegoro 58. Mereka didatangkan ke tempat itu dengan sejumlah truk.
Di gedung itu ada kader PDI pendukung dan simpatisan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum partai tersebut. Diserbu dan diserang secara mendadak seperti itu, dalam kondisi remang-remang, mereka kaget bukan kepalang. Tapi, ada juga yang naluri bertahan hidupnya langsung bekerja: mengambil batu untuk melawan serbuan gerombolan tersebut.
Perang batu pun terjadi. Tapi, alam punya hukum sendiri: yang terlatih dan siap akan mengalahkan yang sebaliknya. Karena itu, wajar jika gerombolan penyerang itu akhirnya bisa merangsek masuk ke dalam gedung dan membakar spanduk-spanduk yang ada di pagar gedung itu.
Jerit tangis dan teriakan kesakitan, juga erangan karena nyawa terlepas dari tubuh, bercampur dengan asap dan bau anyir darah. Setelah kebrutalan itu usai, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat,ada 5 orang meninggal dunia, 149 orang luka-luka, dan 74 orang hilang.
Belakangan, Panglima Komando Daerah Militer V Jayakarta, Mayor Jenderal TNI Sutiyoso melalui kuasa hukumnya, Victor W. Nadapdap, mengaku dirinya mendapat perintah langsung dari Presiden Soeharto untuk mengosongkan kantor PDI.Sutiyoso kemudian memberitahu Megawati melalui Sabam Sirait.
Sebelum peristiwa itu pecah, beberapa bulan sebelumnya, kantor PDI itu memang diduduki pendukung Megawati. Mereka bertahan melawan kubu Soerjadi yang didukung pemerintah. Di halamannya dibuat panggung, yang diberi nama Mimbar Demokrasi. Setiap orang yang menginginkan reformasi politik dan demokrasi boleh berpidato di panggung itu. Kader PDI pendukung Megawati dan simpatisannya memprotes Kongres V PDI di Medan yang didukung rezim penguasa dan menetapkan Soerjadi sebagai Ketua PDI.
Mimbar Demokrasi sebenarnya hasil kesepakatan antara Megawati dengan Sutiyoso. Syarat dari Sutiyoso: mimbar bebas itu mesti berada di halaman kantor PDI.
Selama tiga pekan, aksi Mimbar Demokrasi itu berjalan tanpa gangguan. Tapi,rupanya, aksi tersebut membuat petinggi Orde Baru gerah,rezim yang menumpukan kekuatan kekuasaannya pada dominasi militer.
Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menyatakan,Mimbar Demokrasi adalah embrio makar dan disusupi antek-antek Partai Komunis Indonesa (PKI). “Mereka mau menggulingkan pemerintahan yang sah. Akan saya gebuk nanti,” kata Feisal Tanjung.
Mendengar tuduhan itu, Megawati angkat bicara dan dimuat banyak media: “Apa iya, hanya dengan omong-omong dan berkerumun, orang bisa makar?”
Melihat sikap para petinggi rezim Orde Baru ketika itu, para tokoh PDI berkesimpulan Presiden Soeharto memang bermaksud “menghabisi” Megawati Soekarnoputri dari pentas politik nasional. Itulah sebabnya, 27 Juli 1996 itu menjadi Sabtu Kelabu Berdarah, karena kantor PDI diambilalih secara paksa oleh sekitar 500 orang yang beratribut PDI.
“Sutiyoso mendapat perintah langsung dari Soeharto di Cendana pada 19 Juli 1996. Saat itu, pertemuan dihadiri sejumlah menteri dan para petinggi negara. Pak Harto di Cendana bilang agar ini diselesaikan. Pertemuan itu dihadiri juga oleh Syarwan Hamid, Faisal Tanjung, Kapolri, dan Kapolda Metro Jaya,” ujar Victor W. Nadapdap pada 2004 lalu, seperti dikutip banyak media.
Ketika itu, Victor juga mengatakan, Sutiyoso siap diadili. Namun, tambahnya, pengosongan kantor PDI merupakan pelaksanaan tugas negara. Karena mimbar bebas tersebut tidak ada izin, sehingga ABRI sebagai alat negara berhak membubarkan mereka. “Klien saya tidak pernah menyuruh tentara menggunakan pakaian sipil dan menyerang kantor PDI. Bahkan, Sutiyoso tidak pernah menyuruh orang untuk mengumpulkan orang di Gedung Artha Graha yang saat itu dikatakan dipinjam oleh Kolonel Infanteri Harianto untuk menyerang kantor PDI. Massa saat itu, dikatakan mengenakan kaus merah dan ikat kepala yang dibagikan,” tutur Victor.
Proses hukum memang sempat berjalan. Persidangan terhadap para tersangka Peristiwa 27 Juli 1996 dilakukan di Pengadilan Koneksitas, yang khusus dibentuk untuk mengadili para tersangka Peristiwa 27 Juli. Pengadilan ini diselenggarakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mulai 23 Juni 2003 sampai 30 Desember 2003. Majelis Hakim sidang Pengadilan Koneksitas ini terdiri dari tiga orang hakim yang dipimpin HakimNy. Hj. Rukmini, S.H. sebagai hakim ketua, Kolonel TNI Soeharyono, S.H., serta H. Muhammad Daming S. Sanusi, S.H., M.A. sebagai hakim anggota. Dua orang hakim dari lingkungan peradilan militer. Ini merupakan konsekuensi dari Pengadilan Koneksitas yang diselenggarakan di peradilan umum. Majelis hakimnya dipimpin oleh hakim peradilan umum, sedangkan hakim anggotanya terdiri dari hakim peradilan umum dan hakim peradilan militer yang disusun secara berimbang.
Namun, Pengadilan Koneksitas Kasus 27 Juli 1996 secara keseluruhan dapat dikatakan gagal. Karena, persidangan ini mengangap Kasus 27 Juli 1996 merupakan suatu perbuatan pidana biasa, berupa pengrusakan yang dilakukan secara bersama-sama terhadap Kantor DPP PDI. Fakta-fakta bahwa adanya keterlibatan aparat militer, intervensi pemerintah yang berlebihan, korban yang meninggal, hilang, atau ditangkapi tidak dipertimbangkan. Padahal, berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaannya, kasus terindikasi kuat bersifat terencana, sistematis, dan meluas sebagai kategori tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi manusia.
Memang, di sidang pengadilan itu terungkap, beberapa saksi antara lain mengatakan mereka ditawari pekerjaan oleh seseorang untuk menjaga tanah di daerah Sentul, Bogor, Jawa Barat, dengan imbalan sebesar Rp 70.000 per hari. Ternyata, mereka malah dibawa ke Pulo Mas (Jakarta Timur) untuk kemudian diangkut ke Gedung Artha Graha, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan.
Lalu, pada hari Sabtu dini hari, 27 Juli 1996, mereka disuruh berbaris dan dikawal oleh beberapa petugas yang tak jelas asal kesatuan dan pangkatnya. Mereka kaget ketika disuruh memakai kaos “PDI Pendukung Kongres IV Medan”. Mereka lebih kaget lagi ketika diangkut naik truk dan bus menuju Jalan Diponegoro untuk melakukan penyerbuan. Mereka menghadapi dilema. Ingin lari tapi jalan dibelakangnya dihadang aparat bersenjata lengkap; jika diam,mereka bisa terkena lemparan batu dari para pendukung Megawati yang sedang berjuang mempertahankan diri.
Proses hukum kemudian tidak berlanjut. Padahal, belum diketahui siapa dalang dari pelanggaran hak asasi manusia itu yang harus bertanggung jawab. Namun, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengatakan, pihaknya masih terus memperjuangkan penyelesaiannya. “Upaya hukum untuk kasus 27 Juli belum pernah ditutup. Kata siapa kami menutup? Sampai sekarang kami masih terus memperjuangkan penyelesaiannya,” kata Megawati, 27 Juli 2012 silam.
Menurut Megawati, yang terjadi sejak beberapa tahun lalu adalah terhentinya proses di pengadilan militer.Selain itu, Pengadilan Koneksitas pun belum membuahkan hasil yang memuaskan. “Pengadilan sipilnya sudah jalan. Pengadilan militernya yang enggak jalan,” ujarnya Megawati.
Karena itu, lanjutnya, desakan ke pihak militer untuk mengajukan para petinggi yang terlibat terus disuarakan pihaknya. “Jadi enggak benar kalau kami bungkam. Orang terus didesak, tapi enggak jalan kok,” kata Megawati lagi.
Pada tahun 2015 lalu, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan kembali menegaskan soal tersebut. PDI Perjuangan, katanya, mendorong agar kasus 27 Juli 1996 kembali diusut dan dituntaskan. “PDI Perjuangan mendorong Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asai berat, termasuk kasus 27 Juli 1996, dengan memeriksa kembali secara cermat kasusnya,” tuturnya.
Toh, walaupun Orde Baru telah tumbang, kekuasaan yang “menggila” masih saja berlanjut. Bahkan, dunia politik terasa semakin jauh keluar dari jalur yang benar. Dunia politik menjadi semacam pasar mahabesar, tempat perukaran kepentingan tanpa ideologi, juga menjadi tempat bertransaksi dalam pengertian yang paling banal: uang.
Karena itu, seperti telah disinggung di atas, wajah hukum pun semakin buram. Korban pun banyak berjatuhan. Salah satunya adalah politisi senior PDI Perjuangan yang mantan Ketua Komisi XI DPR, Emir Moeis. Ia harus mendekam di penjara selama tiga tahun akibat proses hukum yang bisa dinilai cacat dan ganjil.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Matheus Samiadji menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp150 juta diganti kurungan tiga bulan penjara kepada Emir untuk kasus tender PLTU Tarahan Lampung pada 2004. Majelis hakim menyatakan Emir bersalah karena semasa menjadi Ketua Komisi XI DPR menerima gratifikasi untuk memenangkan konsorsium Alstom Power Inc. Padahal, dakwaan dan putusan majelis hakim tersebut hanya berdasarkan fotokopi dokumen kontrak, dengan paraf palsu.
Selain itu, Emir mengungkapkan, dirinya dijadikan tersangka tanpa pernah dipanggil sebelumnya. “Saksi-saksi pun baru diperiksa setelah saya dijadikan tersangka. Dan, tidak ada seorang pun saksi-saksi pejabat di Proyek Tarahan yang mengenal saya, apalagi berbicara soal proyek. Penegak hukum terlalu percaya kepada kebohongan Pirooz, seorang warga negara Amerika Serikat, yang memalsukan dokumen-dikumen kontrak,” tutur Emir, yang didampingi kuasa hukumnya, Erick S.Paat, kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/7).
Karena merasa ada pemalsuan dan pengaburan hukum, Emir melalui kuasa hukumnya juga telah melaporkan soal itu ke Bareskrim Polri. “Saya tidak mencari keadilan, karena saya telah dihukum dan kini telah bebas. Saya akan mengungkap kebenaran,” kata Emir.
Emir menjelaskan, satu-satunya dokumen yang paling memberatkan dirinya dalam kasus gratifikasi tersebut adalah dokumen kerja sama bantuan teknis antara PT Artha Nusantara Utama (ANU) yang ditandatangani Zuliansyah Putra Zulkarnain selaku direktur utama dengan Pirooz Sharafi selaku Presiden Pacific Resources Inc. “Pada saat pemeriksaan di KPK, Saudara Zuliansyah sangat terkejut ketika ditunjukkan kontrak kerja sama teknis tersebut. Karena, isinya sangat berbeda dengan apa yang diperjanjikan, yaitu untuk bantuan teknis dalam rangka pencarian lokasi batubara, lahan kelapa sawit di Kalimantan Timur, serta pembangunan stasiun Elpiji di Bali,:” ujar Emir.
Akan halnya dalam isi kontrak yang ditunjukkan KPK dalam persidangan, lanjut Emir, tentang tender pembangunan power plant di Tarahan. Zuliansyah sendiri ketika diperiksa penyidik KPK suidah melihat ada perubahan dan pergantian substansi dari dokumenitu. “Dari enam lembar dokumen, hanya lembar terakhir dari dokumen itu yang asli dan ditandatangani Saudara Zuliansyah, sedangkan lembar pertama hingga kelima dari dokumen asli telah diganti dengan dokumen yang dipalsukan. Saat itu juga, Saudara Zuliansyah mengatakan kepada penyidik KPK bahwa dokumen itu tidak benar dan parafnya dipalsukan. Saudara Zuliansyah pun meminta dokumen asli ke penyidik KPK. Ketika itu, penyidik KPK mengatakan, nanti akan memperlihatkan dokumen aslinya. Namun, sampai pemeriksaan selesai, dokumen asli tersebut tidak diperlihatkan. Kemudian saya pun divonis bersalah. Saya benar-benar dibantai,” ungkap Emir Moeis.
Permintaan yang sama juga diajukan Zuliansyah lagi ketika menjadi saksi di sidang pengadilan Emir. Juga soal paraf yang dipalsukan itu. Erick S.Paat selaku kuasa hukum pun meminta fiperhatikan. “Namun, majelis hakim tidak merespons permintaan tersebut dan mengabaikan soal ini. Nama Emir hanya dijual oleh Pirooz M. Sharafi seolah-olah menerima gratifikasi, padahal Emir tidak pernah tahu ataupun terlibat bahkan berjanji apapun terhadap PT Alstom,” kata Erick.
Pirooz, tambahnya, bahkan memalsukan kontrak antara perusahaannya dengan PTANU, sehingga seolah-olah ada kerjasama di bidang kelistrikan dengan PLTU Tarahan. Padahal, kerjasama bisnis yang sesungguhnya di bidang pertambangan batubara dan pengisian gas Elpiji. “Anehnya, oleh Pirooz, kontrak palsu tersebut yang ia pakai untuk menagih sejumlah besar uang ke Alstom Power,” tutur Erick.
Ironisnya, pembayaran dari Alsthom kepada Pirooz oleh otoritas Amerika Serikat dianggap sebagai penyuapan internasional. Bahkan, dua eksekutif Alstom dipenjara karena itu. Padahal, eksekutif tersebut tidak pernah berbuat atau berjanji kepada Emir Moeis untuk memberikan hadiah.
“Semua itu hanya akal-akalan Pirooz. Oleh otoritas Amerika Serikat dijadikan corporate witness’ sebagai aktor tunggal dalam kasus ini. Sayangnya, KPK tidak menghadirkan Pirooz dalam proses pengadilah Emir Moeis sebagai saksi dengan alasan karena jauh,” papar Erick.
Dari laporan kuasa hukum Emir itu, Bareskrim Polri pun juga telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP)., yang isinya menyatakan Bareskrim Polri belum menemukan dokumen asli, yang dijadikan alat bukti di persidangan Emir. Bahkan, pihak Bareskrim Polri juga telah mengirimkan surat ke KPK selaku penuntut umum dan penyidik untuk menanyakan soal dokumen asli itu.
“Anehnya, pihak KPK menjawab bahwa KPK tidak memiliki dokumen asli tersebut. Ini benar-benar absurd. Sebagai penyelidik, penyidik, dan penuntut umum seharusnya KPK bekerja menggunakan data yang otentik,” ungkap Emir.
Pada 27 Juli 2016 lalu, Emir didampingin pengacaranya pun mendatangi Bareskrim Polri, untuk menanyakan kelanjutan laporan Zuliansyah itu. “Kebenaran harus diungkap. Seperti juga pernah dikatakan Ketua Umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati, kasus yang melilit saya ini benar-benar kasus politik, bukan kasus hukum. Apalagi, nama saya juga pernah dibawa-bawa dan dicatut oleh Abraham Samad sewaktu menjadi Ketua KPK, yang mengatakan hukuman saya akan diringankan kalau PDI Perjuangan merekomendasikan dirinya sebagai calon wakil presiden,” tutur Emir.
Kegilaan semacam itu tak tertutup kemungkinan akan terjadi lagi. Namun, memang, yang paling mungkin untuk bisa menghentikan kegilaan tersebut dengan cepat adalah kekuasaan yang kuat juga. Dan, dalam negara demokrasi seperti Indonesia, kekuasaan yang kuat tentu saja kekuasaan yang didukung oleh rakyat banyak yang berdaulat. [Purwadi Sadim]