Ilustrasi: Protes terhadap agresi Israel di Gaza, Palestina.
Ilustrasi: Protes terhadap agresi Israel di Gaza, Palestina.

Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan peradilan PBB telah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa penjajahan Israel di tanah Palestina adalah pelanggaran hukum internasional. Oleh karena itu Israel harus menarik para pemukimnya serta mengakhiri penjajahannya atas Palestina.

Dalam pendapatnya, yang dibacakan oleh Hakim Nawaf Salam pada 19 Juli 2024, ICJ mengatakan bahwa pemukiman Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta Gaza melanggar hukum internasional.

Praktek penjajahan yang dilakukan Israel dinyatakan sebagai pelanggaran kewajiban pemerintah Israel untuk menghormati hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri. ICJ menyatakan Israel harus menghentikan semua aktivitas permukiman baru dan mengevakuasi seluruh pemukim dari wilayah Palestina.

Sebelumnya Majelis Umum PBB pada Januari 2023, telah meminta ICJ untuk menyampaikan pendapat mengenai kebijakan dan tindakan Israel terhadap warga Palestina. Majelis juga meminta status hukum Palestina dan pendudukan wilayah Palestina, termasuk Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza.

Apa yang disampaikan oleh ICJ adalah sebuah kemenangan politik dari perjuangan rakyat Palestina yang hampir satu abad lamanya melawan penjajahan Israel. Otoritas Palestina menyebut pendapat tersebut sebagai momen penting bagi Palestina. Pernyataan ICJ berarti komunitas internasional mempunyai kewajiban tidak hanya untuk menegaskan kembali hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.

Sejarah penjajahan Israel di Palestina

Pendudukan Israel atas wilayah Palestina memiliki sejarah panjang lebih dari satu abad lamanya. Berawal dari kesepakatan yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour pada November 1917. Ketika itu Perang Dunia I (1914 – 1918) sudah memasuki masa akhir. Inggris melalui Menteri Luar Negeri Arthur Balfour menandatangani perjanjian yang menjerumuskan rakyat Palestina dalam penjajahan panjang.

Dalam perjanjian itu, negara-negara yang kalah perang meliputi Jerman, Austria, Hongaria dan Kekaisaran Ottoman diharuskan menyerahkan seluruh wilayah yang dikuasai kepada para pemenang yaitu Inggris dan negara sekutunya seperti Perancis dan Italia. Atas mandat, Inggris lalu menguasai sebagian besar wilayah Palestina karena bekas jajahan Kekaisaran Ottoman.

Sejak saat itu Palestina justru menjadi daerah jajahan Inggris yang membantu menumbuhkan komunitas Yahudi. Komunitas inilah yang kemudian menjadi faktor penting berdirinya gerakan Zionis dunia. Gerakan Zionis yang dibangun Inggris ini merupakan gerakan rasis dan kolonialis yang bersekutu dengan imperialisme di Eropa.

Inggris kemudian menciptakan kerangka politik yang baru, terutama menciptakan wilayah-wilayah perbatasan sehingga memicu konflik penduduk Yahudi yang menciptakan permukiman dengan penduduk asli Palestina (Arab).

Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat bersama sekutunya Inggris menggunakan dominasinya di PBB untuk menyusun tatanan dunia baru, termasuk mengatur wilayah jajahan. Melalui sidang Majelis Umum PBB 29 November 1947 lahirlah resolusi no.181 yang isinya membagi dua wilayah Palestina menjadi 56 persen untuk bangsa Yahudi dan 44 persen bagi bangsa Arab. Selain itu Inggris diberi waktu berkuasa di tanah Palestina hingga Agustus 1948.

Inggris, yang ingin tetap mengukuhkan pengaruhnya atas wilayah Palestina, kemudian mempercepat terbangunnya struktur kekuasaan definitif bangsa Yahudi melalui kelompok Zionis. Akhirnya lewat pertemuan tokoh-tokoh Zionis Yahudi, dideklarasikanlah negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948.

Dalam rentang waktu tiga tahun saja, antara tahun 1947 dan 1949, setidaknya 800.000 orang Palestina—yang sebagian besar merupakan penduduk asli Arab Palestina pada waktu itu—dibersihkan dari rumah mereka oleh milisi Zionis yang dibantu Inggris. Pusat-pusat kota besar Palestina, dari Galilea di utara sampai Naqab (diganti namanya menjadi Negev oleh Zionis) di selatan, dikosongkan dari penduduk asli. Pembersihan etnis dilakukan di 531 kota dan desa Palestina.

Israel tanpa henti memperluas wilayah pendudukan dengan menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza pada 1967 melalui Perang besar-besaran selama Enam Hari.

Pada tahun 2005, karena menghadapi tekanan internasional dan domestik, Israel menarik pasukan dan ribuan pemukim Israel dari Gaza, meninggalkan daerah kantong tersebut untuk diperintah oleh Otoritas Palestina namun melanjutkan pendudukannya di wilayah Tepi Barat dan Yerusalem.

Pada 2006, Hamas terpilih menjadi penguasa, menggantikan Otoritas Palestina sebagai badan pemerintahan Gaza.

Sebagai tanggapan, Israel secara signifikan memperketat kendalinya atas perbatasan, garis pantai, dan wilayah udara Gaza, menerapkan blokade yang, selama 17 tahun, telah melumpuhkan perekonomian Gaza, dengan dampak yang luas dan menghancurkan kehidupan sehari-hari warga sipil Palestina. Israel mengatakan bahwa blokade diperlukan untuk menjamin keamanan penduduknya dari Hamas.

Di seluruh Tepi Barat, ratusan ribu warga Israel telah membangun pemukiman besar-besaran, banyak di antaranya telah menggusur komunitas Palestina. Komunitas internasional menganggap permukiman ini ilegal.

Israel juga menyetujui perampasan tanah seluas hampir 5 mil persegi di Lembah Yordan, yang merupakan penyitaan tanah terbesar di Tepi Barat dalam beberapa dekade.

Perjuangan panjang Rakyat Palestina

Setiap penjajahan akan mengobarkan perlawanan, seperti itulah hukum dari perkembangan masyarakat bergerak maju. Sejak Deklarasi Balfour dibuat, sejak itu pula rakyat Palestina melawan skema penjajahan yang diciptakan Inggris itu. Perlawanan yang telah merentang panjang dan mencapai sekitar 100 tahun. Perlawanan rakyat Palestina itu terjadi sejak 1922, 1929 dan 1936. Perjuangan itu lalu berlanjut pada 1948 dan tahun-tahun berikutnya.

Bahkan pada 1936 rakyat Palestina mengorganisasi pemogokan umum terlama di dunia. Berdasarkan sejarah, pemogokan itu menuntut pembebasan dari kolonialisme Inggris dan Zionis.

Perlawanan rakyat Palestina juga terus berkobar mulai dari yang sporadis hingga yang terorganisasikan dengan baik. Pada tahun 1964 Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) salah satu organisasi militan Palestina berdiri. Tujuan PLO adalah pembebasan Palestina melalui perjuangan bersenjata dan berjuang untuk menghancurkan eksistensi Zionisme di Timur Tengah.

Pada tahun 1967 lahir pula gerakan militan Hamas. Hamas adalah singkatan dari Gerakan Perlawanan Islam (Harakat al-Muqawamah al-Islamiyya). Organisasi ini didaftarkan secara resmi di Israel pada 1978 oleh Sheikh Ahmed Yassin sebagai sebuah Asosiasi Islam dengan nama Al-Mujamma Al Islami.

Kemudian muncul pula organisasi Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) pada 11 Desember 1967, dengan menggabungkan dua organisasi sayap kiri Palestina. PFLP berpegang pada panduan Marxisme-Leninisme, bersama dengan organisasi-organisasi sayap kiri Palestina lainnya berjuang untuk pembebasan rakyat Palestina.

Gerakan perlawanan ini terus berkembang dan semakin menyala. Pada dini hari tanggal 7 Oktober 2023, warga Palestina berhasil menerobos pengepungan Gaza melalui darat, laut, dan udara. Hal itu terjadi pada peringatan 50 tahun perang tahun 1973 ketika Mesir merebut kembali Sinai dari pendudukan Zionis.

Dari sungai sampai laut, Palestina akan bebas! Itulah slogan perlawanan yang diusung bangsa Palestina saat ini. Perlawanan ini bukan tanpa alasan. Perlawanan ini didorong oleh puluhan tahun pembersihan etnis, genosida, pemindahan paksa, dan agresi harian oleh Zionis Israel.

Perlawanan Palestina mencapai puncaknya tidak hanya di Gaza tetapi juga di Tepi Barat dan semua wilayah yang diduduki. Ini adalah seruan untuk pembebasan bagi rakyat Palestina dan semua yang diserang Israel, terutama di Suriah, Lebanon, Yaman, dan Irak.

“Kubah besi” Israel yang selalu dipamerkan ke seluruh dunia telah ditembus. Tembok dan pagar telah dijebol. Dukungan AS yang sangat kokoh untuk Israel mulai rapuh. Bahkan proyek normalisasi hubungan Arab dengan Israel yang dirancang AS akhirnya goyah. Skema besar imperialisme AS dengan Israel untuk mengendalikan masyarakat dan sumber daya di Timur Tengah semakin terkikis.

Kemenangan politik

Agresi Israel untuk menduduki wilayah Palestina sejak akhir tahun 2023, dengan dalih serangan balasan atas peristiwa 7 Oktober lalu, telah dinyatakan sebagai genosida. Begitupula ICJ telah menyatakan bahwa Israel sebagai penjajah yang melanggar hak rakyat Palestina menentukan nasib sendiri. Israel melakukan pelanggaran dengan memperluas pemukiman atas wilayah bangsa Palestina.  Pembantaian terhadap hampir 39 ribu jiwa rakyat Palestina tidak lagi bisa diterima dunia.

Pernyataan ICJ adalah suatu kemenangan politik yang memukul balik gelombang agresi Israel serta AS sebagai aktor dibalik layar. Ini adalah kemenangan hukum yang berasal dari perlawanan rakyat Palestina serta jutaan pengunjuk rasa di seluruh dunia. Suara perlawanan dan perjuangan Palestina untuk pembebasan dari perang Israel kini terdengar lebih dari sebelumnya.

Kehadiran Israel di atas wilayah Palestina bukanlah pendudukan wilayah semata, melainkan jelas penjajahan. Itu sebabnya, Presiden Soekarno yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme dengan tegas menolak Israel pada tahun 1960-an. Karena itu pula, antara lain, Bung Karno menggagas diselenggarakannya The Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan menarik Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam pidatonya pada tahun 1962 Bung Karno dengan tegas juga menyampaikan “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”

Namun agresi Israel di Palestina tidak akan berakhir dan perdamaian tidak akan berkelanjutan tanpa adanya perlawanan rakyat dan solidaritas dari seluruh bangsa di dunia. Tekanan harus diberikan oleh seluruh pemerintah yang meratifikasi Konvensi Genosida dan juga para anggota PBB untuk menegakkan putusan ICJ.

Setiap negara kini punya kewajiban untuk menyerukan gencatan senjata dan sepenuhnya mengakhiri pendudukan Zionis Israel, menghentikan penjualan senjata dan kesepakatan militer dengan Israel, dan memutus semua hubungan ekonomi dan diplomatik dengan rezim pelaku genosida. Karena tanpa ada desakan Internasional putusan ICJ akan sia-sia, PBB berikut dewan keamanannya akan kembali mengambil langkah kapitulasi pada kehendak Israel dan negara-negara pendukungnya. [PAR]