Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.

Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang perubahan Kebijakan dan Pengaturan Impor ramai mendapat kecaman dari pelaku industri dalam negeri. Aturan tersebut dinilai merugikan karena membuka kran impor lebih lebar masuk ke Indonesia. Akibatnya produsen lokal terancam mengalami penurunan permintaan dan mengalami kerugian.

Permendag yang berlaku sejak 17 Mei lalu menerapkan relaksasi atau pelonggaran impor. Aturan ini tidak lagi mengharuskan adanya Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai syarat memperoleh Persetujuan Impor (PI). Padahal dalam aturan impor sebelum direvisi yaitu Permendag Nomor 36 Tahun 2023 ada kewajiban adanya Pertek.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) beralasan bahwa pemerintah tidak bisa terlalu ketat karena dapat menyulitkan aliran barang ke konsumen. Mendag Zulkifli Hasan juga membeberkan mengenai adanya potensi penumpukan barang di pelabuhan.

“Misalnya produk-produk ini nggak bisa masuk karena harus ada rekomendasi, harus ada pertek, harus ada lartas, itu akhirnya puluhan ribu gitu ya kan, numpuk barangnya ya. Jadi saya kira perlu kesiapan juga dari kita, jadi kalau kita ingin mengetatkan, tapi kita juga siap karena pelaku usaha macet ya yang dirubah siapa ya di Permendag,” kata Zulhas pada bulan Mei lalu.

Belakangan, setelah banyak menuai protes Mendag berkilah bahwa penerbitan Permendag 8/2024 karena ia sekedar menjalankan perintah yang telah diputuskan dalam rapat terbatas kabinet.

“Jadi kalau ada yang demo, Menteri Perdagangan mengobral Permendag salah. Saya melaksanakan perintah ratas,” kata Zulhas, Rabu (17/7).

Ia menyebut perubahan Peraturan Permendag Nomor 36 itu minta diubah hari itu juga setela rapat. Menurut Zulhas, ketika sedang di Peru ia ditelepon Menko Perekonomian, bahwa kalau Mendag tidak bisa tandatangan, maka yang akan meneken adalah Menteri Perekonomian.

“Saya bilang Jangan, saya Menterinya, saya yang tanda tangan. Maka berubahlah Permendag Nomor 36 itu menjadi Permendag Nomor 8, yang saya tidak ikut rapatnya. Yang ikut rapatnya Menteri Ekonomi, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan dan lain-lain,” kata Zulkifli.

Alasan pelaku industri protes Permendag 8/2024

Pernyataan Mendag Zulkifli Hasan dinilai aneh oleh pelaku Industri sebagai produsen dalam negeri yang dirugikan oleh kebijakan itu. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita mengungkapkan bahwa penyebab menumpuknya barang di pelabuhan karena adanya importir nakal yaitu API-U (importir umum) atau pedagang yang memasukkan barang dalam jumlah besar.

“Jadi kan aneh. Masa pemerintah memfasilitasi importir nakal?,” kata Redma.

Dengan adanya Permendag 8/2024 barang impor yang menumpuk bisa keluar dari pelabuhan dan membanjiri pasar sehingga pelaku industri terpaksa gigit jari. Banjir produk impor juga memaksa para produsen menjual barang dengan harga rendah bahkan dibawah harga produksi.

Kebijakan ini kemudian menjadi pangkal masalah penurunan produksi seperti yang dialami industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Keberpihakan pemerintah terhadap industri dalam negeri pun dipertanyakan.

Kritik senada disampaikan pula Insan Kalangan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI). Mereka dengan tegas menolak penerapan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang dianggap sebagai langkah mundur bagi kebangkitan industri tekstil nasional.

Regulasi baru ini yang dinilai akan berdampak buruk bagi seluruh sektor industri tekstil, baik manufaktur besar maupun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Meski pemerintah memiliki alasan kuat untuk memudahkan masuknya barang impor, namun keluhan pelaku industri dalam negeri juga perlu mendapat perhatian serius.

Dampak nyata banjirnya barang impor sudah semakin memprihatinkan. Setahun kebelakang sudah banyak pabrik yang terpaksa menutup usaha karena kalah bersaing dengan barang impor. Bahkan diperkirakan sudah terjadi PHK terhadap 150 ribu pekerja akibat perusahaan merugi.

Seharusnya pemerintah bisa lebih bijak dalam membuat peraturan. Masuknya barang impor memang memberi kontribusi bagi negara dengan adanya bea masuk dan pajak. Namun efek negatifnya bisa lebih besar bagi perekonomian rakyat, baik itu produsen dalam negeri, pekerja dan pelaku usaha kecil dan menengah. [NUR]