Ilustrasi: Kampanye aliansi sayap kiri NFP di Prancis - AFP
Ilustrasi: Kampanye aliansi sayap kiri NFP di Prancis - AFP

Eropa kian terbelah, begitulah kira-kira kalimat yang bisa menggambarkan situasi politik di benua biru tersebut. Hal itu tercermin dari kemenangan kelompok sayap kiri yaitu Partai Buruh di Inggris dan juga New Popular Front (NFP) dalam pemilu di Perancis.

Secara mengejutkan Partai Buruh meraih kemenangan mutlak 61 persen suara pada pemilu di Inggris yang mengantarkan Keir Starmer menjadi Perdana Menteri baru menggantikan Rishi Sunak. Kemenangan Partai Buruh pada pemilu 2024 di Inggris sekaligus mengakhiri kekuasaan partai konservatif yang telah berkuasa 14 tahun lamanya sejak tahun 2010.

Jargon ‘perubahan’ yang diusung Partai Buruh membius masyarakat pemilih di Inggris dan mendapatkan dukungan luas dalam pemilu. Sikap politik Starmer tentang pentingnya gencatan sejata di Gaza juga memberi tekanan kuat pada pendukung partai konservatif.

Selama ini jutaan rakyat Inggris gencar menentang invasi Israel ke Gaza Palestina melalui serangkaian demonstrasi besar. Namun, pemerintah konservatif tidak pernah menghiraukan desakan tersebut. Begitupula dengan tindakan pemerintahan konservatif yang gemar menaikkan pajak dan melakukan pembatasan ruang demokrasi di dalam negeri banyak mendapatkan tentangan dari rakyatnya.

Kemenangan Starmer dan Partai buruh di Ingris bukanlah gejolak sesaat, namun puncak segala kekecewaan terhadap konservatisme di eropa yang membawa penderitaan akibat perang, kemunduran demokrasi dan krisis ekonomi. Gejolak rakyat itu mampu diekspresikan oleh Partai Buruh di Inggris dengan slogan perubahan, meski tidak secara fundamental menghancurkan konservatisme.

Suara perubahan di Eropa juga terpancar dalam kemenangan aliansi NFP pada pemilihan umum 2024 di Prancis. NFP menempati posisi puncak pada putaran kedua dalam pemungutan suara untuk anggota parlemen dengan 168 kursi. Sementara aliansi pimpinan Presiden Marcon meraih 143 kursi dan partai sayap kanan National Rally (RN) hanya beroleh 38 kursi. Namun, NFP belum bisa mengantongi lebih dari setengah dari keseluruhan kursi parlemen agar menjadi mayoritas.

Aliansi sayap kiri, NFP di Prancis terdiri dari empat partai yaitu France Unbowed (LFI), yang dipimpin oleh penganut garis keras kiri radikal Jean-Luc Mélenchon. Kedua adalah Partai Sosialis (PS) yang dipimpin oleh François Mitterrand dan François Hollande. Kemudian Partai Hijau Prancis (LE-EELV) dan Partai Komunis Prancis (PCF).

Keempat partai sayap kiri Prancis itu telah menjalin kesepakatan diantaranya program menentang perang di Gaza, pengakuan Palestina sebagai negara merdeka dan serangkaian program peningkatan kesejahteraan rakyat. Program NFP di dalam negeri adalah menaikkan upah buruh, pembatasan harga kebutuhan pangan dan energi, juga merombak kebijakan pangan di Eropa.

Program NFP terbukti ampuh untuk meraih simpati rakyat Prancis. Menurut lembaga penelitian Ipsos, 54% orang yang memilih kubu Macron di putaran pertama, dan 29% dari pemilih Les Républicains (LR) yang berhaluan kanan-tengah pada putaran kedua beralih ke NFP.

Desakan perubahan di Eropa

Kemenangan politik sayap kiri di Inggris dan Perancis adalah refleksi dari kekecewaan dan rasa frustasi terhadap gejolak krisis tiada henti di dalam negeri. Gejolak itu bercampur pula dengan sikap anti rakyat eropa terhadap perang di Gaza yang telah memakan korban puluhan ribu jiwa.

Sejak Covid-19 melanda dan sesudahnya masyarakat eropa menderita akibat krisis pangan dan energi sehingga berakibat angka kemiskinan meningkat drastis. Situasi ini diperburuk dengan kebijakan politik negara-negara eropa mendukung provokasi perang di Ukraina sebagai loyalitas terhadap aliansi NATO pimpinan Amerika Serikat.

Krisis ekonomi akibat inflasi, kenaikan harga dan peningkatan pengangguran telah menyebabkan jutaan orang turun ke jalan melakukan demonstrasi di negara-negara eropa terutama di Inggris dan Perancis. Namun, pilihan pemerintah menaikkan pajak demi menangani krisis semakin menambah masalah. Gelombang protes bahkan memaksa Inggris melakukan pergantian perdana menteri empat kali dalam kurun waktu satu tahun.

Begitu pula dengan protes terhadap agresi Israel di Gaza justru dihadapi dengan represi. Masyarakat menilai tidak ada upaya nyata dari pemerintah Inggris dan Perancis mewujudkan gencatan senjata di Gaza meski telah jatuh puluhan ribu korban jiwa. Sikap ini sangat dibenci rakyat dan memicu gelombang protes lebih besar lagi.

Mungkin ada benarnya ungkapan ‘Vox Populi Vox Dei’ yang mengibaratkan suara rakyat adalah suara Tuhan. Ketika suara rakyat diabaikan atau dibungkam maka penguasa akan mendapat hukuman setimpal.

Kegagalan pemerintahan konservatif di Inggris dan pemerintahan Macron di Prancis memenuhi tuntutan rakyatnya adalah bahan bakar utama melajunya partai sayap kiri meraih kemenangan pemilu. Kelompok sayap kiri dengan ide perubahannya seolah menjadi wadah semua orang yang kecewa kepada pemerintah.

Angin perubahan di eropa bisa jadi masih seperti angin yang sepoi-sepoi, sebatas dalam pemilu parlemen, namun jika dianggap remeh atau disepelekan arusnya bisa semakin deras menjadi badai yang melahirkan perubahan revolusioner seperti dahulu kala di Perancis. [PAR]