Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA), yang sering disebut sebagai PRRI/PERMESTA, merupakan gerakan yang muncul pada akhir 1950-an dengan tuntutan otonomi dan desentralisasi yang berpusat di Sumatra Tengah dan Sulawesi Utara.
Meskipun pada awalnya tidak dimaksudkan sebagai gerakan militer untuk menantang pemerintah pusat di Jakarta, PRRI/PERMESTA berkembang menjadi konflik besar yang melibatkan berbagai tokoh militer dan politik daerah yang merasa bahwa kebijakan pemerintah pusat tidak adil terhadap daerah-daerah di luar Jawa.
Latar Belakang Gerakan
Gerakan ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi dan politik pemerintah pusat yang dianggap tidak memperhatikan kepentingan daerah-daerah penghasil devisa utama bagi negara.
Ketidakadilan tersebut memunculkan ketegangan antara kekuatan politik dan militer di pusat dengan daerah-daerah luar Jawa, yang sebagian besar diwakili oleh partai-partai seperti Masyumi, sementara partai-partai besar seperti PNI, NU, dan PKI berpusat di Jawa (Alisjahbana 1957; Asnan 2003; Cribb dan Kahin 2004).
Pada tanggal 20 Desember 1956, Kolonel Ahmad Husein mengambil alih kekuasaan pemerintahan Sumatra Tengah dari Gubernur Roeslan Muljohardjo, yang menjadi titik awal gerakan menuntut otonomi yang lebih luas bagi daerah.
Diikuti oleh pembentukan Dewan Banteng di Sumatra Barat, Dewan Gajah di Sumatra Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, dan PERMESTA di Sulawesi Utara, gerakan ini mulai menunjukkan perlawanan terhadap pemerintah pusat (Nopriyasman 1988).
Eskalasi Konflik
Pada tanggal 7-8 September 1957, tiga tokoh daerah, yaitu Letnan Kolonel Ahmad Husein, Letnan Kolonel H.N. Vence Sumual, dan Letnan Kolonel Berlian, bertemu di Palembang dan menghasilkan Piagam Palembang yang mencakup enam pasal tuntutan utama termasuk desentralisasi pemerintahan dan pelarangan komunisme (Harvey 1984; Kahin 2008).
Namun, upaya kompromi melalui Musyawarah Nasional tidak mencapai hasil yang diharapkan, dan situasi semakin memanas setelah peristiwa Cikini, yaitu upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno pada 30 November 1957.
Pada tanggal 10 Februari 1958, Ahmad Husein dan Simbolon mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah Djuanda untuk mengembalikan mandatnya dan membentuk kabinet baru di bawah Hatta dan Hamengkubuwono.
Ultimatum ini ditolak, dan pemerintah pusat, di bawah komando Jenderal A.H. Nasution, merespons dengan tindakan tegas termasuk penangkapan dan pemecatan para tokoh PRRI (Nopriyasman 1988; Harvey 1984).
Deklarasi PRRI
Pada tanggal 15 Februari 1958, Ahmad Husein mengumumkan berdirinya PRRI dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Pemerintah pusat menanggapi dengan melancarkan operasi militer besar-besaran yang berhasil menguasai pusat-pusat perlawanan di Sumatra dan Sulawesi dalam beberapa bulan (Kahin 2008).
Akhir Gerakan
Kekalahan PRRI/PERMESTA menunjukkan bahwa gerakan tersebut tidak terorganisir dengan baik dan tidak mendapat dukungan yang solid, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Perpecahan internal serta tidak adanya dukungan dari tokoh-tokoh nasional seperti Hatta dan Hamengkubuwono turut melemahkan gerakan ini. Pada bulan Februari 1960, PRRI memproklamasikan Republik Persatuan Indonesia (RPI), tetapi langkah ini justru memperparah perpecahan internal (Nopriyasman 1988; Kahin 2008).
PRRI berakhir pada 17 Agustus 1961 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 449/1961 yang memberikan amnesti dan abolisi kepada semua orang yang terlibat.
Gerakan PRRI/PERMESTA meninggalkan dampak yang mendalam bagi daerah-daerah yang terlibat, menciptakan trauma dan konsekuensi politik yang berlangsung hingga era Orde Baru (Kahin 2008).
PRRI/PERMESTA adalah bagian penting dari sejarah perjuangan daerah-daerah di Indonesia untuk mendapatkan otonomi dan desentralisasi yang lebih besar.
Meskipun berakhir dengan kekalahan, gerakan ini mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap kebijakan pusat dan menjadi pelajaran penting dalam hubungan pusat-daerah di Indonesia. [UN]