Kho Ping Hoo (1926-1994)

Kho Ping Hoo adalah penulis cerita silat legendaris di Indonesia. Meskipun namanya tidak pernah masuk dalam daftar ‘sastrawan’ yang harus dihafalkan siswa di sekolah, seperti halnya sastrawan Angkatan Pujangga Baru / Angkatan 45 / Angkatan 66 / Angkatan terkini dan seterusnya, tetaplah nama Kho Ping Hoo masuk dalam benak jutaan pembaca.

Tina Asmaraman (Kho Tien Nio), puteri Kho Ping Hoo mengatakan ayahnya adalah keturunan Tionghoa dan Jawa. Dari akta kelahirannya, tertulis Kho Ping Hoo terlahir di Sragen, Surakarta pada 17 Agustus 1926.

Putri ketiga Kho Ping Hoo itu menceritakan bahwa ayahnya memiliki kemampuan bahasa yang baik. Mulai dari bahasa daerah Jawa, Sunda hingga bahasa asing seperti Belanda dan Inggris, namun tidak menguasai bahasa China

Kho Ping Hoo menguasai beberapa bahasa asing karena ia sempat bersekolah di HIS Sragen (setingkat SD). Selepas dari HIS dia mendaftar ke MULO dan diterima, tapi perekonomian keluarganya yang terbatas membuatnya tidak mampu meneruskan sekolah.

Sebagai anak kedua yang juga merupakan putra tertua di dalam keluarga karena kakak tertuanya adalah perempuan, Kho Ping Hoo memikul tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga ketika ayahnya sakit dan tidak bisa bekerja lagi. “Papa saya berhenti sekolah lalu kerja,” kata Tina.

Berniat pindah ke China

Pada zaman pendudukan Jepang, Kho Ping Hoo bekerja sebagai juru tulis di sebuah perusahaan angkutan bernama TSH di Tasikmalaya, Jawa Barat. Dia menjalani pekerjaannya di perusahaan tersebut selama 12 tahun sambil sesekali menulis cerita pendek dan dikirim ke media cetak.

Di Tasikmalaya inilah segalanya bermula. Pada tahap pertama ia bekerja menjadi staf dari seorang anemer yang sedang membangun sebuah rumah sakit di Banjarnegara. Sedikit demi sedikit sukses berhasil diraih. Pada tahap akhir ia telah menjadi Ketua Perusahaan Pengusaha Pengangkutan Truk (P3T) kawasan Priangan Timur meskipun ia tidak pernah mempunyai truk dalam hidupnya.

Pada Mei 1963 terjadi peristiwa kerusuhan rasialis di Tasikmalaya dan wilayah sekitarnya. Toko, rumah, dan aset milik etnis Tionghoa dirusak atau dibakar. Huru-hara itu bermula dari Bandung, kemudian merembet ke kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon, dan Sukabumi.

“Semua bukunya dirusak, kendaraannya dibakar. Papa saya sakit hati merasa ‘saya salah apa’,” ujar Tina.

Kho Ping Hoo sakit hati dan hampir pergi ke China meninggalkan Indonesia.

“Tapi karena anak-anaknya masih kecil, dia mempertimbangkan bahwa kasihan anak-anak kalau harus menempuh perjalanan jauh ke China dengan naik kapal laut.”

Tak jadi migrasi ke kampung leluhurnya di China, Kho Ping Hoo memutuskan pindah ke Solo, Jawa Tengah. “Di Solo ada peristiwa (tahun) 65 yang bakar-bakaran lagi. Ada peristiwa rasialis lagi waktu itu. Papa saya kembali sakit hati, benar-benar sampai berniat pindah ke China, karena selalu diperlakukan tidak baik,” tutur Tina.

Keinginannya tersebut kembali batal dan Kho Ping Hoo memutuskan menetap di Solo berkarir sebagai penulis cerita silat dan mendirikan penerbitan, CV Gema Solo.

Cerita silat legendaris

Saat kebanyakan penulis cerita silat ndonesia menyadur kisah pengarang China pada 1950-an, Kho Ping Hoo menyusun sendiri kisah lakonnya.

Kho Ping Hoo telah menghasilkan setidaknya 400 buku serial cerita silat. Beberapa menjadi legenda cerita silat, seperti Bu Kek Siansu, Pedang Kayu Harum, Pendekar Super Sakti, Badai Laut Selatan, Iblis dan Bidadari, Darah Mengalir di Borobudur, dan Keris Pusaka Nogopasung.

Menurut Bunawan, menantu, proses kreatif Kho Ping Hoo dalam menulis setiap ceritanya sangat mengagumkan. Ketika berada di depan mesin ketik, Kho Ping Hoo yang terbiasa menulis tanpa konsep langsung mengetik dengan sepuluh jari di kertas berkarbon rangkap dua. Satu diberikan kepada penerbit, satu lagi digunakan sebagai arsip.

“Kalau sudah ngetik, beliau cepat sekali dan tidak pernah salah. Suara ketikannya seperti berondongan senapan mesin yang nggak berhenti-henti,” tambah Bunawan, mengungkapkan kesaksiannya.

Meski mampu menggambarkan keadaan China dengan sangat detail di setiap tulisannya, saat itu Kho Ping Hoo belum pernah berkunjung ke negeri China. Untuk bahan referensi, setiap menulis Kho Ping Hoo selalu membuka buku History of China dan peta China di sebelahnya. Penggambaran lokasi, era, dan tahun yang tercantum selalu akurat.

Meskipun mampu menulis banyak buku cerita silat, Kho Ping Hoo bukanlah sosok yang jago silat. Dia bukan guru atau pemain silat seperti yang dipikirkan banyak orang.

Kho Ping Hoo adalah pengagum ajaran Konfusius. Selanjutnya, dia juga mendalami ajaran filsuf India Jiddu Krishnamurti dan ajaran lain. Itulah kenapa dia menyelipkan banyak petuah bijak tentang kehidupan, alam semesta, nasionalisme, dan cinta tanah air yang terinspirasi dari ajaran panutannya, di setiap buku karyanya.

Gerakan dan nama jurus-jurus silat terkenal yang diciptakan murni imajinasi Kho Ping Hoo. Sebab, dia tidak bisa bermain silat. Dia hanya terbiasa melihat ayahnya mengajar silat sejenis kungfu kepada warga di sekitar rumahnya di Sragen. Bahkan, menurut Bunawan sang menantu, di antara gerakan-gerakan silat yang tertulis di cerita tersebut, banyak yang tidak benar. “Jika diperagakan, bisa-bisa malah keseleo,” canda Bunawan.

Nama Asmaraman Sukowati

Mengenai penambahan nama Asmaraman Sukowati di depan nama Kho Ping Hoo, hal itu dilakukan setelah pemerintahan Orde Baru mengeluarkan Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 yang menganjurkan warga keturunan asing mengganti namanya menjadi nama Indonesia. Nama Asmaraman dipilih, menurut Tina, karena Kho Ping Hoo merupakan pria yang menggandrungi cinta atau asmara.

Menurut Kho Ping Hoo, Asmaraman adalah hasil ubah nama, asma samaran. Asma dalam bahasa Jawa berarti nama, sedangkan Sukowati adalah nama lain Sragen, kota kelahirannya. Karena sebelumnya sudah tenar dengan nama Kho Ping Hoo, akhirnya dia tambahkan nama baru itu di depannya, menjadi Asmaraman S. Kho Ping Hoo, di setiap buku karyanya.

Dari pernikahannya dengan Rosita Sukowati (Ong Rose Hwa), Asmaraman S. Kho Ping Hoo dikaruniai 11 anak, 8 perempuan dan 3 laki-laki. Pria penggemar badminton itu meninggal dunia di Tawangmangu dan dimakamkan Solo pada 22 Juli 1994. Selain meninggalkan keluarga besar, Kho Ping Hoo juga meninggalkan satu karya berjudul Hancurnya Kerajaan Tang, lanjutan kisah Pedang Pusaka Thian Hong Kiam yang belum selesai diketik hingga tamat, sehingga tidak diterbitkan.

Asmaraman S. Kho Ping Hoo pendekar cerita silat yang namanya ada di pinggiran daftar sastrawan Indonesia. [KS]