Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto/setkab.go.id
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto/setkab.go.id

PEMERINTAH berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025. Kenaikan PPN ini adalah kelanjutan dari program restrukturisasi perpajakan yang disusun oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) demi memaksimalkan potensi pendapatan negara dari pajak.

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam jalur peredaran dari produsen ke konsumen.

Menurut Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan kenaikan PPN akan berlaku mulai tahun 2025. Ia juga menekankan bahwa program dan kebijakan Presiden Joko Widodo akan berlanjut di era kepemimpinan presiden selanjutnya.

Airlangga menyampaikan, nampaknya masyarakat sudah menentukan pilihan pada capres dan cawapres yang mendukung keberlanjutan yang saat ini unggul dalam hitungan cepat dari berbagai Lembaga.

“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah itu akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN,” tutur Airlangga dalam media briefing, Jumat (8/3).

Ia juga menyebut, setelah presiden terpilih hasil pemilu 2024 ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka pemerintahan saat ini baru akan mulai membahas APBN 2025.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengamanatkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025.

Namun, pemerintah masih bisa menunda kenaikan tarif PPN menjadi 12% dengan pertimbangan tertentu. Merujuk pada Pasal 7 ayat (3), tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi sebesar 15%.

Ini tertuang dalam, Pasal 7 ayat (3) UU tersebut, yang menyebut, berdasarkan pertimbangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

Kenaikan PPN dikhawatirkan akan menimbulkan kenaikan biaya produksi dan konsumsi yang menekan daya beli masyarakat. Kondisi tersebut dapat berpengaruh pada menurunnya penyerapan tenaga kerja. Pendapatan dan konsumsi yang menurun dan menghambat pemulihan ekonomi sehingga menekan pendapatan negara.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad beranggapan, penerapan PPN 12 persen akan memiliki dampak siklus yang panjang.

“Tantangan-tantangan itu harus diatasi pemerintahan baru. Karena kita perlu akselerasi pertumbuhan ekonomi, serta menjaga konsistensi prioritas pembangunan nasional,” kata Tauhid.

Menurut Tauhid, pemerintah baru harus menunda kenaikan PPN menjadi 12 persen. Pemerintah baru juga diharapkan dapat mengurangi efek dari komoditas pangan bergejolak (volatile food) terhadap inflasi. [DES]