Penonton film Indonesia di salah satu bioskop yang ada di Makassar, Sulawesi Selatan.

Koran Sulindo – Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djony Syafruddin mengeluhkan adanya film-film Indonesia yang ditayangkan di bioskop sebenarnya kurang layak diputar. ”Formatnya memang film. Tapi, setelah ditonton, kualitas cerita dan alur dramatiknya sekelas film televisi alias FTV atau semacam sinetron lepas. Ini kan merusak pasar film itu sendiri. Nanti penonton malas datang ke bioskop, karena filmnya enggak bermutu!” kata Djony di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Padahal, di daerah-daerah, film Indonesia atau film nasional sangat disukai. Dan, itu menjadi kekuatan bagi GPBSI untuk meminta pengelola bioskop-bioskop di daerah-daerah untuk memprioritaskan film Indonesia. “Saya sebagai anak bangsa dan pengaggum Bung Karno selalu berpegang pada anjuran Bapak Bangsa Indonesia itu agar kebudayaan nasional harus dikedepankan. Tapi, kalau terus-menerus disodori film yang kurang layak, apa jadinya ke depan?” ujar mantan aktivis 1966 ini.

Padahal lagi, ketika usaha perfilman—termasuk bioskop—dikeluarkan dari Daftar Negatif Investasi (DNI), arus kebudayaan luar melalui film akan datang dengan gencar ke negeri ini. ”Katakanlah Korea, mereka akan membangun bioskop di Indonesia dan mereka akan memprioritaskan film-film produksi negara mereka, berkonten budaya Korea juga tentunya,” ungkap Djony.

Ia mengingatkan, serbuan musik Korea yang dikenal sebagai K-Pop ke Indonesia saja begitu besar pengaruhnya ke generasi muda, apalagi bila ditambah serbuan film. “Ini tantangan saya sebagai Ketua GPBSI untuk mengajak pengusaha bioskop di daerah memprioritaskan film nasional. Tapi, ya, itu tadi, kalau kurang layak, penonton lama-lama tidak ada,” katanya.

Itu sebabnya, Djony mengatakan, dirinya selalu meminta produser film untuk membuat film-film nasional yang berkualitas agar menarik banyak penonton ke bioskop. “Buatlah film-film yang mengandung unsur-unsur seni dan budaya Indonesia. Kita kan kaya dengan khasanah cerita rakyat dan tradisi yang unik. Itu bukan saja disukai bangsa sendiri, tapi juga disukai bangsa lain. Selain itu, film kan sangat menggambarkan wajah suatu bangsa yang sebenarnya,” tutur Djony. [DPS]