Candi Borobudur dibangun di era Wangsa Syailendra, penguasa Kerajaan Mataram Kuno di wilayah Jawa pada waktu itu, yang merupakan penganut agama Buddha Mahayana.
Candi Borobudur dibangun sebagai tempat persembahyangan yang juga menggambarkan perjalanan sang Buddha, sekaligus menjadi simbol hubungan antara raja dan rakyatnya. Bangunan Borobudur berpola Mandala yang mencerminkan alam semesta dalam kepercayaan Buddha.
Para sejarawan memperkirakan candi ini dibangun pada abad ke-8 hingga 9. Perkiraan itu berdasar pada analisis paleografis terhadap tulisan yang terpahat di atas relief Karmawibangga—relief yang menggambarkan sebab akibat perbuatan baik di kaki Candi Borobudur—dibandingkan dengan tulisan pada prasasti lain yang telah diketahui penanggalannya.
Balai Konservasi Borobudur mencatat bahwa susunan bangunan Candi Borobudur terdiri dari sembilan teras berundak dan sebuah stupa induk di puncaknya. Sembilan teras itu terdiri dari enam teras berdenah persegi dan tiga teras berdenah lingkaran.
Sejarawan Belanda J.G. de Casparis dalam disertasinya yang diterbitkan pada 1950 memperkirakan pendiri Candi Borobudur adalah Smaratungga yang memerintah pada tahun 782-812 pada masa Dinasti Syailendra. Gunadharma disebut sebagai arsitek utama Candi Borobudur.
Pembangunan Borobudur memakan waktu hingga setengah abad dan baru selesai pada masa putrinya, yakni Ratu Pramudawardhani.
Bangunan suci ini disebut oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakertagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit tahun 1365, Prapanca menyebutkan adanya “Wihara di Budur”.
Guru Besar dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Gede Mugi Raharja menuliskan dalam makalahnya bahwa arsitektur Candi Borobudur merupakan perpaduan antara filosofi Buddha dengan budaya Nusantara.
Bentuk arsitekturnya yang setengah bola tersusun atas tiga tingkatan, yakni Kamadhatu yang dipenuhi relief manusia dipenuhi hawa-nafsu, kemudian Rupadhatu yang menggambarkan manusia memerangi hawa nafsunya namun masih terikat dengan unsur duniawi.
Sedangkan pada tingkat ketiga, Arupadhatu, tidak lagi dihiasi dengan relief-relief sebagai wujud tidak terikat dengan unsur duniawi.
Ditinggalkan usai letusan dahsyat Gunung Merapi
Dikutip dari kajian Balai Konservasi Borobudur, Candi Borobudur kemungkinan sudah tidak terpelihara sejak abad ke-10 Masehi, ketika pusat Kerajaan Mataram Kuno dipindah ke arah timur oleh Pu Sindok. dari Jawa di tengah ke arah timur akibat letusan gunung Merapi yang maha dahsyat.
Berbagai literatur menyebut bahwa candi ini baru diketahui kembali keberadaannya oleh Thomas Stamford Raffles pada 1814, yang saat itu menjabat sebagai gubernur jenderal di Jawa, pada masa kependudukan Inggris.
Publikasi UNESCO berjudul The Restoration of Borobudur menjabarkan bahwa Raffles mengutus HC Cornelius, untuk meneliti informasi tersebut. Namun yang dia temukan adalah sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar.
Cornelius merekrut 200 orang warga desa sekitar untuk menebangi pohon dan menyingkirkan semak-semak. Penggalian itu berlangsung selama dua bulan, tetapi beberapa bagian tidak bisa digali karena berpotensi runtuh.
Sejak 1817 hingga seterusnya penggalian skala kecil dilakukan, tetapi hasilnya tidak pernah tercatat.
Baru pada 1834, bangunan candi terlihat setelah residen di wilayah Kedu pada saat itu, CL Hartmann membersihkan secara menyeluruh.
Akan tetapi, sejarawan Peter Carey memiliki pandangan berbeda terkait siapa yang pertama kali menemukan kembali Candi Borobudur setelah berabad-abad monumen suci umat Buddha itu tidak diketahui keberadaannya.
Menurut Carey, keberadaan Candi Borobudur diketahui oleh VOC pada abad ke-17 melalui seorang insinyur militer VOC asal Prussia bernama Carl Friedrich Reimer.
Pada penghujung 1780-an, Reimer ditugaskan untuk mensurvei seluruh benteng VOC di Nusantara dan menemukan bahwa ada candi di lokasi Borobudur berada. Temuan itu dia tampilkan pada peta yang dibuatnya.
Pada saat itu Borobudur diselimuti oleh tumbuhan, pohon, penuh dengan abu vulkanik dari erupsi Merapi. Menurut Carey, penemuan Raffles sendiri berlandaskan pada temuan VOC yang lebih dulu.
Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi—beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini kini tersimpan di Museum Nasional Bangkok
Restorasi pertama
Pemerintah kolonial membentuk komite khusus untuk menyusun rencana restorasi fisik Candi Borobudur pada 1900. Kemudian pada 1905, pemerintah Belanda menunjuk Theodor van Erp untuk menjalankan proyek restorasi itu.
Van Erp memulai pekerjaannya pada Agustus 1907. Dia memulai dengan mengumpulkan batu-batu yang terpisah sebanyak mungkin, menggali di sekitar candi, hingga menemukan banyak batu ornamen yang berserak.
Pemugaran/restorasi meliputi pembenahan stupa induk dan stupa teras, pembenahan dinding-dinding lorong, pembenahan selasar dan rampung pada 1911.
Pemugaran pertama oleh Van Erp hanya membenahi dan meratakan lantai, belum menyentuh kemiringan dinding karena terlalu banyak infiltrasi air yang masuk.
Pemugaran kedua yang lebih menyeluruh dilakukan oleh Pemerintah Indonesia didukung UNESCO pada 1973 hingga 1983. Pada saat itu dilakukan pembongkaran total batu-batu pada bagian Rupadhatu sekaligus memasang struktur penguat sebagai dasar dinding lorong. Borobudur tampak lengkap seperti semula saat dibangun wangsa Syailendra sekian abad yang lalu.
Borobudur menjadi candi Buddha terbesar yang masih terpelihara di dunia. Sejak selesai dipugar pada 1983 Candi Borobudur ditetapkan sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 1991.
Borobudur kini
Sampai sekarang Candi Borobudur masih dipakai sebagi tempat persembahyangan umat Buddha, acara-acara keagamaan yang besar selalu dipusatkan di Borobudur.
Candi Borobudur mempunyai panjang 121,66 meter, lebar 121,38 meter, dan tinggi 35,40 meter. Candi ini terletak di Magelang, Jawa Tengah, jaraknya kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Borobudur menjadi daya tarik utama bagi wistawan yang berkunjung ke wilayah tersebut.
Borobudur menjadi catatan jejak peradaban dan monumen kebanggaan bangsa Indonesia. Pesona Borobudur juga menjadi bagian terpenting dari dunia pariwisata di Jawa tengah dan Yogyakarta. [KS]