SETIAP tanggal 14 Desember diperingati sebagai Hari Sejarah Nasional. Tanggal tersebut bertepatan dengan momen pada tahun 1957 yaitu dimulainya Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta.
Seminar tersebut adalah pertemuan besar yang membahas tentang penyusunan sejarah nasional Indonesia yang sebelumnya dituliskan secara sepihak oleh kolonial Belanda secara bias.
Pada masa itu sejarah nasional Indonesia versi kolonial masih mendominasi literasi masyarakat. Tentunya literasi tersebut mengambil sudut pandang bangsa penjajah terhadap rakyat Indonesia dan sejarah perjuangannya. Maka banyak tokoh yang menginginkan adanya sejarah yang berwatak nasionalis dengan menempatkan rakyat Indonesia sebagai sentral.
Salah satu pemikiran yang mengemuka pada seminar tahun 1957 adalah pendapat Mohammad Yamin mengenai filsafat sejarah Indonesia. Yamin yang sebelumnya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1955 mengemukakan bahwa subyek filsafat sejarah Indonesia adalah bangsa dengan semangat nasionalisme Indonesia.
Yamin dalam seminar itu menyebut, bahwa penulisan sejarah Indonesia yang baru seharusnya bercorak nasional, yang berdasarkan hasil penafsiran dari aneka kejadian pada masa silam. Nasionalisme Indonesia merupakan rasa patriotisme terhadap persatuan bangsa, persatuan Tanah Air, dan kebulatan-kebulatan pada saat memperkuat atau membina pembentukan bangsa (nation building) Indonesia.
Moh. Yamin juga menggunakan istilah tafsiran sintesis, yaitu interpretasi masyarakat Indonesia pada masa lalu dengan memakai pisau analisis hukum, ekonomi, teologis, tata negara, geografis, dan rohani.
Menurut Yamin berbagai analisis tersebut dapat dioperasikan secara serentak atau individual guna mengurai berbagai realitas dalam masyarakat untuk memperoleh gambaran sejarah Indonesia yang bulat sempurna tanpa retak atau terpecah-belah.
Pertentangan Yamin dan Sudjatmoko
Namun pendapat Moh. Yamin tentang filosofi sejarah ditentang keras oleh tokoh yang berasal dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) yaitu Sudjatmoko. Sudjatmoko yang datang menggantikan Moh. Hatta merasa keberatan dengan gagasan Yamin. Ia secara terang-terangan menggugat konsepsi filsafat sejarah nasional Yamin.
“Dengan mengajukan masalah suatu filsafah sejarah nasional, sebenarnya kita telah meninggalkan bidang ilmu sejarah sebagai ilmu, dan telah menginjak suatu lapangan lain, yaitu lapangan ideologi, lapangan penggunaan sejarah untuk keperluan politik yang akhirnya bisa menjurus ke arah demagogi,” sanggah Sudjatmoko.
Sudjatmoko menginginkan ilmu sejarah harus bebas nilai dan tidak boleh hanya menjadi abdi dari suatu ideologi termasuk nasionalisme.
Sudjatmoko yang memiliki kedekatan dengan Sjarhir memang punya ketertarikan dengan pemikiran sejarah bangsa barat dan ia pun sempat tinggal di Amerika Serikat untuk bertugas atas perintah Sjahrir.
Ia mengembangkan teori dalam bidang sejarah Indonesia mengenai sudut pandang Indonesiasentris, maupun Eropasentris. Sudjatmoko juga memandang objek penelitian sejarah Indonesia harus berpangkal pada masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia harus menjadi frame of reference dari penyelidikan.
Sudjatmoko berpendapat bahwa suasana bebas itu merupakan syarat yang mutlak untuk penyelidikan sejarah dan tidak dapat digantungkan kepada suatu filsafat sejarah tertentu.
Teori sejarah bebas nilai Sudjatmoko sangat bertentangan denga pemikiran Moh. Yamin yang mengutamakan semangat nasionalisme dalam membedah sejarah bangsa dan rakyat Indonesia. Perdebatan ini pula yang terus memuncak hingga pemerintahan Sukarno digulingkan berganti ke rezim Suharto.
Setelah Orde Baru berkuasa, karya dan pemikiran sejarah Sudjatmoko banyak digunakan dalam menyusun literasi sejarah Indonesia. Sudjatmoko kemudian diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat (1968-1971). Kemudian sejak tahun 1972 Sudjatmoko menjabat sebagai anggota dewan direktur Ford Foundation hingga tahun 1984. [DES]