Pedang Pangeran Diponegoro di Museum Bronbeek yg terletak di Arnhem, Belanda - Bronbeek
Pedang Pangeran Diponegoro di Museum Bronbeek yg terletak di Arnhem, Belanda - Bronbeek

PEDANG milik Pangeran Diponegoro ditemukan di sebuah gudang museum di Belanda. Kabar penemuan pedang Pangeran Diponegoro tersebut diungkapkan oleh John Klein Nagelvoort, peneliti dari Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda.

Nagelvoort mengatakan bahwa pedang tersebut sempat tersimpan di Istana Het Loo di Apeldoorn, kota di timur ibukota Belanda, Amsterdam. Namun, senjata tajam tersebut kini menjadi koleksi Museum Bronbeek yg terletak di Arnhem. Nagelvoort mengungkapkan, pemerintah Indonesia belum mengirim permintaan agar pedang Diponegoro dipulangkan ke Indonesia.

Pedang milik Pangeran Diponegoro yg ditemukan di Belanda adalah senjata tajam dengan bilah bermata satu yg melengkung. Sebelumnya, Belanda juga pernah menyimpan peninggalan Diponegoro, seperti keris. Namun, keris Diponegoro sudah dipulangkan ke Indonesia pada 2020.

Nagelvoort menjelaskan, pedang Diponegoro yang ditemukan di Belanda memiliki beberapa ciri unik, di antaranya memiliki bekas dekukan akibat proses penempaan. Bentuk pedang Diponegoro, menurut Klein Nagelvoort, tidak menunjukkan bahwa senjata tajam ini adalah pedang Eropa. Namun, pedang Diponegoro menggunakan gagang milik pedang Angkatan Laut Belanda. Warangka pedang ini juga menggunakan warangka buatan Belanda.

Pedang atau kelewang tersebut berbentuk melengkung, dan digunakan sebagai senjata perang bukan untuk upacara. “Senjata yg dibuat khusus: setengah Jawa, setengah Belanda,” ujar Nagelvoort dikutip dari suratkabar NRC.

Diponegoro yg menjadi pemilik pedang yg dipamerkan di Museum Bronbeek adalah sosok yang memimpin perlawanan besar melawan pemerintahan kolonial Belanda pada 1825-1830 di Jawa. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Merkus baron de Kock kemudian mengakhiri perlawanan Diponegoro. Sang pangeran kemudian ditangkap dan meninggal 25 thn kemudian di pengasingan.

Kepemilikan yang berliku

Berdasarkan keterangan Klein Nagelvoort bersama koleganya Pauljac Verhoeven, pedang Diponegoro memiliki jalan berliku sebelum berakhir di Museum Bronbeek. Merujuk surat pada 1956 yg terarsip di museum tersebut, pedang Diponegoro ditawarkan untuk dijual oleh keturunan Hendrik Merkus de Kock, namun tidak menemukan pembelinya.

Pedang Diponegoro sempat berada di tangan De Kock dan dijadikan koleksi museum Paleis Het Loo di Apeldoorn. Pedang tersebut dipamerkan bersama dengan lukisan besar yg memperlihatkan wajah De Kock. Pedang lalu dipinjamkan ke Museum of the Chancellery oleh seorang keturunan De Kock pada 1974 dan 12 tahun kemudian pinjaman tersebut diubah menjadi hibah.

Menurut catatan, salah seorang anggota keluarga De Kock sempat menawarkan pedang Diponegoro ke Museum Brombeek. Tetapi, pihak museum tidak bisa mengambil senjata tajam tersebut karena tidak memiliki dana yg cukup pada saat itu. Pedang Diponegoro kemudian tampil dalam koleksi Paleis Het Loo sebagai “pedang Hendrik de Kock” pada 1970-an. “Kadang-kadang dinyatakan bahwa pedang itu milik Diponegoro, tetapi itu tidak membuat orang tertarik,” jelas Verhoeven.

Verhoeven menyampaikan, pihaknya sempat mencari informasi mengenai benda-benda milik Diponegoro yang hilang selama perang. Berdasarkan Arsip Nasional di Den Haag terdapat selembar surat yg dikirimkan oleh Letnan Kolonel Joseph Ledel. Ia adalah pimpinan pasukan Belanda yang berkonfrontasi dgn Pangeran Diponegoro pada 26 Juni 1829.

Pangeran Diponegoro saat penangkapan terlukis dengan pedangnya.

Merujuk surat tersebut, panji/pataka, kuda, arsip dan pedang Diponegoro jatuh ke tangan Belanda. Ledel kemudian mengirim ajudannya beserta benda-benda tersebut kepada De Kock. Dengan catatan sejarah tersebut, pedang yang berada di Museum Bronbeek bisa dipastikan berasal dari senjata pribadi Diponegoro.

Pedang milik sang pangeran direbut di medan perang beserta gagang dan warangkanya yang merupakan buatan Belanda. “De Kock pasti sangat bangga telah memenangkan Perang Jawa,” ungkap Klein Nagelvoort.

“Sebagai prajurit De Kock menyimpan lambang lawan utamanya sebagai kenang-kenangan kemenangan. Mungkin juga sebagai bentuk penghormatan kepada Diponegoro,” tambahnya.

Menurut dugaan Klein Nagelvoort, Indonesia belum meminta pedang Diponegoro karena tidak mengetahui bahwa benda ini masih ada. “Saya pikir secara pribadi sebagai seorang prajurit, Anda tidak akan meminta kembali senjata Anda jika kehilangannya di medan perang, tetapi dalam kasus ini berbeda,” kata Verhoeven.

“Klaim akan datang dari negara Indonesia dan ini bukan sembarang orang, tetapi seorang tokoh legendaris dalam sejarah negara tersebut. Di tangannya, bagi banyak orang Indonesia, ada jiwa -pusaka- Diponegoro,” jelas Verhoeven.

Pusaka Diponegoro yang sudah dikembalikan

Keris Kiai Nogo Siluman salah satu pusaka milik Pangeran Diponegoro yang telah dikembalikan ke pemerintah RI oleh Belanda. Raja Belanda, Willem Alexander, menyerahkan Keris tersebut ke Presiden RI Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Bogor, 10 Maret 2020.

Pusaka lain yang telah dikembalikan adalah Tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda yang dirampas pasukan Belanda usai Diponegoro disergap di Pegunungan Gowong, daerah Kedu oleh AV Michiels dan pasukannya pada 11 November 1829.

Tombak dan pelana itu kemudian diserahkan kembali ke Indonesia oleh Ratu Juliana pada 1978 sebagai kesepakatan budaya antara dua Negara.

Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro dimiliki Pangeran Diponegoro pada 1815. Tongkat ini disebut sebagai pemberian seorang warga kepada sang pangeran.

Tongkat pusaka sepanjang 153 centimeter yang terbuat dari kayu mahoni itu disebutkan selalu dibawa Diponegoro tiap kali berziarah ke tempat suci.

Namun, sebelum Diponegoro ditangkap Belanda, tongkat ini berada di tangan Pangeran Adipati Notoprojo, salah satu komandan perang Diponegoro yang juga cucu dari Nyi Ageng Serang. Pangeran Adipati kemudian menyerahkan tongkat itu kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda ke-44 Jean Chretien Baud pada 1834.

Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro milik Pangeran Diponegoro yang dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, 5 Februari 2015. (ANTARA FOTO)

Pusaka itu kemudian disimpan keluarga JC Baud di Belanda. Baru pada 2015, keluarga Baud lewat kakak beradik Michiel dan Erica Lucia Baud menyerahkannya kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Baswedan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 2015.