Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo menyatakan pengesahan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau tax amnesty bukan sebagai upaya pengampunan terhadap koruptor atau pemutihan atas pencucian uang. Terlebih, katanya, sasaran undang-undang ini adalah para pengusaha yang menempatkan hartanya di luar negeri, terutama di negara yang disebut sebagai negara surga pajak.

Keberadaan undang-undang itu, kata Jokowi, merupakan wujud konkret pemerintah untuk menyelesaikan masalah perpajakan. Undang-undang tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk rakyat, bukan demi kepentingan perusahaan atau orang per orang atau kelompok.

Karena itu, setelah pengesahan undang-undang itu, Jokowi  mengajak para pengusaha membawa uangnya ke Indonesia, yang selama ini disimpan di luar negeri. Apalagi, para pengusaha mendapatkan uang itu dengan berusaha, mencari makan, dan meraup keuntungan di Indonesia. Karena itu, ketika sudah diberi keuntungan, sebaiknya jangan lagi menyimpan dana-dana di luar negeri.

“Undang-undang tax amnesty adalah payung hukum untuk membawa kembali dana yang disimpan di luar negeri ke Indonesia. Itu untuk membangun negeri kita,” kata Jokowi di Jakarta, Jumat (1/7).

Pengesahan undang-undang tersebut pada akhir Juni 2016 menuai kontroversi. Ada tiga partai—Partai Demokrat, PDI Perjuangan, dan Partai Keadilan Sejahtera—yang  memberikan catatan atas pengesahan undang-undang itu. Keberatan ketiga partai ini terutama karena denda tebusan atas dana repatriasi terlalu kecil.

Itu sebabnya, beberapa waktu lalu, politikus PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka menolak dan keberatan atas pengesahan undang-undang tax amnesty. Apalagi, target penerimaan pajak dengan berlakunya undang-undang tersebut hanya Rp 165 triliun. Padahal, dana para pengusaha yang diparkir di luar negeri disebut mencapai sekitar Rp 11 ribu triliun.

Jika jumlah itu dipotong pajak sebesar 30%, jumlahnya mencapai sekitar Rp 3.500 triliun. Target itu, kata Rieke, menjadi sangat kecil.

Hal serupa disampaikan Setyo Budiantoro, peneliti senior dari Perkumpulan Prakarsa. Dengan tarif tebusan yang rendah, melalui undang-undang tax amnesty, pemerintah berharap dana endapan akan balik ke Indonesia. Celakanya, pada saat yang sama, pemerintah hanya menargetkan penerimaan pajak dari dana endapan tersebut Rp 165 triliun.

Hanya dengan menunggu tujuh bulan lagi, pemerintah mestinya bisa meraup dana yang lebih besar dengan adanya era keterbukaan keuangan global. Potensi pendapatan pajak dengan era keterbukaan justru menjadi terganjal dengan adanya undang-undang tax amnesty. Potensi pendapatan pajak dengan era keterbukaan keuangan global dengan memberlakukan pajak penghasilan 30% tanpa denda 2% mencapai sekitar Rp 3.400 triliun. Jumlah ini berpuluh kali lipat dibanding perkiraan pendapatan dari pengampunan pajak.

Jika merujuk pada pernyataan Jokowi di awal, pertanyaan pentingnya adalah benarkah undang-undang itu demi rakyat.

Yang pasti, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Rumah Rakyat Indonesia (RRI) menilai, Undang-Undang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan setiap warga negara punya kedudukan hukum yang sama. Karena itu, kedua lembaga swadaya masyarakat itu akan melakukan judicial review terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir Juli nanti.

Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, buruh dan masyarakat kecil tetap wajib bayar pajak tanpa celah pengampunan sedikit pun, tapi pengusaha atau pemodal dan orang kaya berhak selebar-lebarnya mendapat pengampunan pajak. “Di samping itu, pemerintah telah mengabaikan asas hukum tentang keterbukaan dan keadilan. Undang-Undang Pengampunan Pajak justru menutup rapat-rapat data pajak pemodal dan orang kaya, termasuk asal sumber dana yang mereka miliki,” ujar Iqbal, Kamis (30/6).

Bisa jadi, lanjutnya, sumber dana berasal dari dana korupsi, terorisme, perdagangan manusia, penggelapan pajak, manipulasi data neraca keuangan perusahaan demi menghindari pembayaran hak-hak buruh yang lebih baik seperti upah, bonus, tunjangan hari raya, dan lainnya. Semua itu, katanya lagi, jelas melanggar pasal lain di Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebut setiap warga negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak dan pendapatan pajak adalah salah satu instrumennya dengan cara yang tidak boleh bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan. [KRG/PUR]