Koran Sulindo – Metode “diplomasi revolusioner” yang diterapkan Bung Karno sukses mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Inilah kisah sukses menegakkan kedaulatan negara melawan kolonialisme dan imperialisme.
Pembebasan Irian Barat kerap disebut sebagai salah satu perjuangan gemilang dalam sejarah diplomasi Indonesia. Kesuksesan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi itu tak terlepas dari “diplomasi revolusioner” yang diterapkan Presiden Soekarno di masa itu.
Penting dicatat, “diplomasi revolusioner” merupakan metode diplomasi non-konvensional yang terutama mengacu kepada Ketetapan MPRS No.1 tahun 1960 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam Ketetapan MPRS tersebut, antara lain, disebutkan: “Dalam hubungan Republik Indonesia dengan dunia luar, tetap kita memegang teguh kepada jiwa pokok revolusi, yaitu menghimpun segala kekuatan nasional dan internasional untuk menentang dan akhirnya membasmi, menyapu bersih imperialisme dan kolonialisme dimanapun berada dan dalam bentuk apapun jua. Secara khusus kita meletakkan titik berat perjuangan kepada perjuangan memerdekakan Irian Barat, karena di Irian Barat imperialisme menancap di tubuh darah daging kita sendiri.”
Peran Soekarno dalam mulai menentukan kebijakan politik luar negeri Indonesia dimulai sejak masa demokrasi parlementer– meski saat itu jabatan presiden yang disandangnya lebih bernuansa simbolik. Pasalnya, pemerintahan yang dipimpin para tokoh partai politik tak kunjung berhasil mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Padahal, perjuangan diplomasi untuk mengembalikan Irian Barat telah dilakukan pasca pengakuan kedaulatan RI, Desember 1949.
Kabinet yang gonta-ganti beberapa kali, tidak juga berhasil merebut kembali Irian Barat. Padahal soal pengembalian Irian Barat merupakan amanat rakyat Indonesia. Malah, di tahun 1957, Sidang Umum Majelis Umum PBB gagal mengeluarkan resolusi tentang penyesaian masalah Irian Barat. Ini merupakan kegagalan ketiga bagi pemerintah Indonesia.
Kegagalan itu memicu Bung Karno “mengambil-alih” penyelesaian masalah Irian Barat. Sejak itu, strategi diplomasi berubah drastis: menjadi lebih agresif dan militan. Bagi Bung Karno, penguasaan Belanda atas Irian Barat merupakan kelanjutan kolonialisme. Dan, pembebasan Irian Barat tidak semata-mata perjuangan nasional bangsa Indonesia, juga perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme.
Pandangan Bung Karno yang diucapkan dalam pidato-pidatonya itu segera saja menyulut sentimen anti-Belanda di seluruh negeri. Di akhir tahun 1957, pemerintah menyita 38 kapal milik perusahaan-perusahaan perkapalan Belanda, dan semuanya dinasionalisasi. Begitu pula perkebunan-perkebunan besar milik warga Belanda. Seluruh kantor konsulat Belanda di Indonesia, kecuali di Jakarta, ditutup.
Tindakan pemerintah Indonesia itu mengundang reaksi balik dari pemerintah Belanda. Awal tahun 1960, Belanda memutuskan memperkuat pasukannya di Irian Barat, dengan pengiriman kapal induk Karel Doorman dan ribuan tentara. Pemerintah Belanda juga menyatakan bahwa tujuan politik Belanda di Irian Barat adalah memberikan “hak menentukan nasib sendiri” kepada penduduk Irian Barat. Kebijakan politik dan militer Belanda itu merupakan bagian dari tujuan Belanda untuk memisahkan Irian Barat dari Indonesia.
Menanggapi tindakan Belanda itu, di Indonesia selama satu minggu di awal April 1960 dilancarkan kampanye pers menentang niat Belanda mengadakan “pameran armada” di perairan Irian Barat. Tujuan kampanye pers itu adalah memberi peringatan kepada rakyat Indonesia akan bahaya kegiatan-kegiatan Belanda itu yang merupakan intimidasi dan provokasi terhadap indonesia.
Indonesia juga menyampaikan kepada Belanda keprihatinannya yang mendalam (grave concern) dan menyatakan bahwa rencana “pameran armada” itu dianggap oleh rakyat Indonesia sebagai tindakan provokatif dan intimidasi yang tidak membantu penyelesaian masalah Irian Barat dengan jalan damai. Pernyataan keprihatinan demikian disampaikan juga oleh Indonesia, antara lain, kepada Amerika Serikat, Australia dan Inggris, serta negara-negara sahabat lain yang mungkin disinggahi kapal-kapal atau pesawat-pesawat Belanda dalam perjalanannya ke Irian Barat, seperti Persekutuan Tanah Melayu (PTM – sekarang Malaysia), Filipina, dan Thailand.
Bukannya memperhatikan, Belanda malah mengabaikan seruan keprihatinan yang disampaikan Indonesia itu. Pada 31 Mei 1960 kapal induk Karel Doorman, beserta awak dan pasukan sebanyak 1.200 orang, berangkat dari Rotterdam. Kapal-kapal pemburu Groningen dan Limburg, masing-masing membawa 250 personel, juga ikut bergabung. Bersama armada itu telat ikut pula skuardron pesawat pemburu Seahawk, skuardon pesawat antikapal selam Avenger, 2 helikopter Alouette, dan 12 pesawat jet Hunter. Keberangkatan armada perang itu dilepas Menteri Pertahanan Belanda, Visser. Armada itu tiba di Hollandia (sekarang Jayapura), akhir Juli 1960. Disusul kemudian pengiriman dua batalion infanteri pasukan Belanda.
Tindakan Belanda memperkuat kahadiran militernya di Irian Barat itu menunjukkan dengan jelas sikap Belanda untuk memisahkan wilayah itu dari Indonesia. Perkembang ini telah memperburuk dan meningkatkan ketegangan hubungan antara Indonesia dan Belanda, dan telah pula menimbulkan kegelisahan dan kecemasan di kalangan penduduk serta orang-orang Belanda yang tinggal di Irian Barat. Hingga Juni 1960 sudah 13.000 orang Belanda meninggallkan Irian Barat pergi ke Australia, sedangkan lebih dari 1.000 orang Belanda kembali ke negaranya.
Sedangkan para pejuang kemerdekaan Irian Barat diusir oleh Belanda, karena dianggap berbahaya. Dihadapkan pada situasi demikian, Indonesia memutuskan untuk meningkatkan tindakan-tindakannya dalam perjuangan mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan RI yang ditempuhnya dengan “jalan lain”, yang pada hakikatnya merupakan jalan konfrontasi terhadap Belanda.
Tindakan provokasi dan intimidasi Belanda itu dijawab tegas Bung Karno: memutus hubungan Indonesia dengan Belanda. Keputusan itu diumumkan Bung Karno kepada rakyat Indonesia dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1960, yang berjudul Jalannya Revolusi Kita atau Jarek. Dalam pidatonya itu, Bung Karno menyebut sikap kepala batu Belanda: “…..Sekarang dengarkan Saudara-saudara! Dalam keadaan yang demikian itu, tidak ada gunanya lagi hubungan diplomatik dengan negeri Belanda. Tadi pagi telah saya perintahkank Departemen Luar Negri memutuskan hubungan diplomatik dengan Negeri Belanda.”
Masalah Irian Barat kembali disinggung Bung Karno saat berpidato di Majelis umum PBB, 30 September 1960. Situasi di Irian Barat, kata Bung Karno, merupakan keadaan yang berbahaya dan eksplosif, sehingga bisa menyebabkan ketegangan dan ancaman perdamaian dunia. Kata Bung Karno:
“Di mana terdapat imperialisme dan di mana terdapat penyusunan kekuatan bersenjata yang serentak, maka keadaan memang berbahaya. Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman. Begitulah keadannya di Irian Barat. Begitulah keadaan di seperlima wilayah nasional kami yang pada dewasa ini masih tetap membungkuk di bawah belenggu imperialisme.
Disanalah kami menghadapi imperialisme dan kekuatan bersenjata dari imperialisme. Di perbatasan daerah itu tentara kami berada di darat maupun di lautan. Kedua kekuatan bersenjata itu saling berhadapan, dan dapat saya katakan bahwa hal itu merupakan suatu keadaan yang eksplosif. Belum lama berselang tentara di Irian Barat yang masih muda serta tersesat itu dan yang membela suatu faham yang sudah ketinggalan zaman, diperkuat dengan datangnya kapal induk Karel Doorman dari tanah airnya yang jauh itu. Maka saat itulah keadaan menjadi betul-betul berbahaya”.
Setelah menyatakan bahwa Indonesia selama bertahun-tahun terus berusaha menyelesaikan masalah Irian Barat melalui perundingan, baik secara bilateral maupun melalui PBB. Presiden Soekarno mengatakan lebih lanjut sebagai berikut:
“Harapan lenyap; kesabaran hilang; bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini talah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami. Jika mereka gagal untuk secara cepat menilai arus sejarah, maka kita tidaklah dapat dipersalahkan. Akan tetapi akibat dari pada kegagalan mereka ialah timbulnya ancaman terhadap perdamaian dan sekali lagi, hal ini menyangkut pula Perserikatan Bangsa-bangsa.
Saya katakan dengan segala kesungguhan bahwa keadaan yang berbahaya suatu keadaan yang eksplosif; suatu hal yang merupakan sebab ketegangan dan suatu ancaman bagi perdamaian. Jendral Nasution tidak bertanggung jawab atas hal itu. Indonesia tidak bertanggung jawab atas hal itu, Tidak! Ancaman terhadap perdamaian berasal langsungdari adanya imperialisme dan kolonialisme itulah.”
Dalam pidatonya itu Presiden Soekarno tidak menyebut-nyebut tidak meminta agar PBB membantu penyelesaian masalah Irian Barat. Yang ditekankannya adalah berbahaya dan ancaman bagi perdamaian yang ditimbulkannya, sebagai akibat dari adanya dua kekuatan bersenjata, Indonesia dan Belanda yang saling berhadapan di daerah sekitar Irian Barat.
Pantas dicatat, forum PBB itu dihadiri pemimpin-pemimpin negara-negara besar dan dalam suasana perang dingin. Jadi, pada hakikatnya, merupakan bahasa diplomatik untuk memperingatkan negara-negara besar, terutama Amerika Serikat dan Uni Soviet, bahwa kedua negara itu pasti akan terlibat jika benar-benar konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda terjadi, mengingat strategisnya kawasan dimana sengketa bersenjata itu mungkin berlangsung bagi kepentingan kedua negara adi-daya tersebut.
Trikora dan Pembebasan Irian Barat
Pada 19 Desember 1961, di Yogyakarta, Presiden Soekarno mendeklarasikan Tri Komando Rakyat (Trikora), seruan dan gerakan untuk membebaskan Irian Barat. Trikora berisi tiga hal: 1) Gagalkan pembentukan “negara boneka Papua” buatan Belanda kolonial; 2) Kibarkan sang saka Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia; 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangsa.
“Sambutan atas Trikora luar biasa. Beribu-ribu rakyat secara sukarela meminta agar dikirim ke Irian Barat. Akhirnya hanya lima ratus orang tentara payung yang diterjunkan di sana,” tulis Ganis Harsono, juru bicara Departemen Luar Negeri RI masa itu, dalam buku Cakrawala Politik Era Soekarno.
Sebagai bagian dari kebijakan total konfrontasinay dengan Belanda, Indonesia juga mulai mengirim pasukan-pasukannya untuk melakukan aktivitas-aktivitas penyusupan (inflitasi) melalui laut kedaratan Irian Barat. Kondisi ini menyebabkan hubungan Indonesia-Belanda semakin buruk, bahkan ancaman perang terbuka pun menjadi sesuatu hal yang mungkin terjadi. Baku tembak pasukan kedua Negara dalam insiden Laut Aru menjadi salah satu bukti keseriusan Indonesia atas tuntutannya mengenai Irian Barat. Peristiwa yang terjadi pada 15 Januari 1962 ini menyebabkan Komodor Yos Sudarso gugur dan kapal perang Indonesia “Macan Tutul” tenggelam.
Aksi yang diperlihatkan Indonesia diatas, pada akhirnya telah menyebabkan Amerika Serikat untuk mengubah sikap dengan melibatkan diri secara aktif dalam pencarian solusi penyelesaian masalah Irian Barat. Selain faktor pergantian kepemimpinan Amerika Serikat, dari Presiden Eseinhower ke John F Keneddy, tahun 1961, perubahan sikap negeri Paman Sam ini juga didorong oleh adanya kekhawatiran kedekatan Indonesia yang semakin intens dengan Uni Soviet.
Hubungan Indonesia-Uni Soviet yang mulai membaik setelah Indonesia menyetujui pembukaan misi diplomatik pada masing-masing ibukota negara pada masa kabinet Ali Sastroanidjojo I, menjadi semakin lebih kukuh setelah Presiden Soekarno melawat ke Uni Soviet pada 1956. Kemudian Perdana Menteri Uni Soviet, Nikolai Kruschev, membalas kunjungan tersebut ke Indonesia Februari 1960. Dalam kunjungan tersebut, Kruschev memberikan tambahan bantuan US$ 100 juta dari US$ 250 juta yang dijanjikan ketika Soekarno berkunjung ke Uni Soviet. Selain itu, Desember 1960 negara tirai besi ini juga setuju untuk meberikan pinjaman bunga lunak sebesar US$ 450 juta untuk peralatan perang, seperti pesawat jet pembom, tank dan roket.
Terdesak oleh persiapan perang Indonesia yang cukup serius di atas dan juga tekanan Amerika Serikat, akhirnya Belanda menyetujui untuk mengadakan pertemuan yang dinisiasi oleh Duta Besar AS di PBB, Elsworth Bunker, di New York pada 15 Agustus 1962. Kesediaan Belanda untuk melakukan perundingan ini pada detik-detik akhir telah membatalkan rencana Indonesia untuk melakukan invansi bersenjata melalu Operasi Mandala.
Pada akhir pertemuan tercapailah “Perjanjian New York” yang menjadi awal dari proses penyelesaian secara menyeluruh sengketa Indonesia dan Belanda atas wilayah Irian Barat yang telah berlangsung 1945. Perjanjian tersebut memuat tiga hal pokok: pertama, pelimpahan kekuasaan Belanda ke United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962 ; kedua, peralihan dari UNTEA ke Indonesia pada 1 Mei 1963 ; dan ketiga, pelaksanaan penentuan pendapat atau Act of Free Choice pada 1969.
Penyelesaian sengketa Irian Barat di atas sekali lagi membuktikan keunggulan politik luar negeri yang bebas aktif dan diplomasi revolusioner yang digagas Bung Karno. [Janfri Sihombing/IH]