SETIAP tanggal 25 November selalu diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Baik pendidik hingga siswa-siswi ramai merayakan. Semua instansi pemerintahan pusat hingga daerah akan mengunggah kata-kata puitis untuk sang ‘pahlawan tanpa tanda jasa’.
Namun, tak bisa dipungkiri bertahun-tahun merayakan Hari Guru Nasional hanya sekadar seremonial semu. Tidak ada perubahan yang pasti untuk memajukan kesejahteraan, kualitas dan kuantitas guru sebagai tenaga pendidik. Namun semua orang tahu bahwa mereka sering tak dapat apresiasi besar.
Pahlawan tanpa tanda jasa merupakan kata indah yang selalu disematkan setiap orang kepada para guru. Namun tidak seindah slogan itu, kehidupan guru sangat jauh dari kata sejahtera, sering dianggap sebelah mata padahal mereka adala garda utama terdepan untuk pintu menuju revolusi keilmuan. Beban yang berat tidak sebanding dengan perjuangan yang mereka lakukan.
Dari banyaknya segala keterbatasan, masalah-masalah lain tak kunjung selesai. Kesenjangan pendidikan guru daerah terpencil hingga guru-guru di kota besar tak pernah selesai. Bahkan menurut data guru-guru PNS mayoritas hanya tersebar di pulau Jawa. Sedangkan daerah pelosok seperti Kalimantan Barat dan Papua Barat memiliki jumlah guru paling sedikit di Indonesia.
Begitu pula peraturan sertifikasi yang dipandang sangat tak adil. Beban yang sama namun apresiasi berbeda jauh. Memang, sertifikasi diadakan oleh pemerintah untuk mendukung upaya peningkatan kualitas dan kinerja guru, namun akhirnya tak merata.
Berdasarkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, hanya guru bersertifikasi yang dapat memperoleh tunjangan profesi oleh pemerintah.
Sertifikasi kemudian dianggap sebagai peluang untuk hidup sejahtera terwujud. Sertifikasi juga dianggap sebagai bentuk dari kualitas dan keprofesionalan seorang guru, jika demikian mengapa tidak sejak dikeluarkannya ijazah saja sertifikasi juga ikut ada, bukannya taji seorang guru sudah memang harus ada sejak posisi tali toga berpindah?
Pemerintah tampak tak serius menyelesaikan masalah pemerataan pendidikan di Indonesia. Sudah 77 kali merayakan Hari Guru Nasional namun tampaknya hanya sebatas seremonial semu tak ada progres berarti. Disisi lain guru honorer semakin meningkat, harapan diangkat menjadi PNS hanya sebatas asa. Berjuang kuliah susah payah, setelah lulus membagikan ilmu setiap hari namun akhirnya harus menerima keadaan bahwa gaji tak sampai Rp500 ribu sebulan, itupun jika didapat tepat waktu.
Bukan hanya soal pendapatan rendah, soal kompetensi guru honorer pun masih dinilai kurang. Mereka sering kali tidak diberikan tempat untuk pelatihan lanjut padahal mereka dituntut untuk profesional seperti guru bersertifikat lainnya. Beban yang sama namun tidak didukung lebih lanjut. Berdasarkan data dari Kemendikbud, jumlah guru honorer atau yang belum berstatus sebagai PNS saat ini mencapai 1,6 juta jiwa.
Protes Guru atas RUU Sisdiknas
Munculnya Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menuai banyak kecaman dari berbagai organisasi pendidikan seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Pro kontra terus berdatangan dari setiap sisi bahkan akibat gelombang protes tersebut DPR RI sepakat tidak memasukan RUU Sisdiknas dalam program legislasi nasional sebagai RUU prioritas di tahun 2023.
Berbagai sebab adanya gelombang protes itu karena dalam RUU Sisdiknas hilangnya tunjangan profesi guru, tidak memuat madrasah, hingga minimnya pelibatan publik ataupun tenaga pendidikan dalam pembuatannya. RUU Sisdiknas juga dianggap seperti Omnibus Law yang menggantikan 3 UU, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Bahkan ketua PGRI Unifah Rosyidi bertemu dengan Presiden Jokowi untuk membahas hal ini, secara langsung ia meminta agar tunjangan profesi guru tidak dihapuskan dari peraturan perundang-undangan. Unifah beranggapan bahwa tunjangan profesi guru merupakan bentuk penghormatan untuk guru dari negara. Dalam siaran persnya PGRI juga mengatakan bahwa penghapusan tunjangan profesi guru adalah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merendahkan. Bagi PGRI, tunjangan profesi bukan sekedar persoalan uang, tetapi sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru. Guru merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara.
Namun, pihak Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menyatakan bahwa dugaan penghapusan tunjangan profesi guru tidak benar. Direktur GTK Iwan Syahrir menuturkan bahwa RUU tersebut ada untuk kesejahteraan para guru di Indonesia. Menurutnya, dalam RUU Sisdiknas diatur bahwa semua guru baik yang berstatus PNS ataupun tidak, akan tetap mendapatkan tunjangan profesi sampai pensiun asalkan masih memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ia juga menyebutkan dengan hadirnya RUU Sisdiknas guru-guru yang belum mendapatkan sertifikasi namun juga mengajar akan segera mendapatkan upah yang layak tanpa menunggu proses panjang dari sertifikasi. Bahkan guru yang belum PNS dan sertifikasi mendapatkan bantuan operasional untuk membantu para guru tersebut mendapatkan gaji yang sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.
Sekarang para pahlawan tanpa jasa hanya bisa menunggu, mereka hanya bisa bergantung pada setiap kebijakan pemerintah. Jangan ada lagi guru yang dibayar dengan upah yang tak layak bahkan terlambat. Kesejahteraan dan kualitas guru merupakan penilaian dasar dari sebuah negara yang dikatakan maju. [NS]